IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH DAN IBNU ATHO’ILLAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Bagi kalangan intelektual muslim, siapa yang tidak mengenal IbnuQayyin al-Jauziyyah. Karya-karyanya banyak menyentuh kalbu dan akhlak manusia. Ulama yang berasal dari kota damaskus, suriah ini terkenal sebagai salah satu tokoh tasawuf yang banyak menguasai ilmu. Ulama muslim yang bermadzhab hambali ini memang ahli dalam berbagai bidang ilmu diantaranya : ahli Fiqih, ahli Tafsir, Penghafal Qur’an, ahli ilmu Nahwu, ahli ilmu Ushul, ilmu Kalam, dan sekaligus seorang mujtahid.
Inu ‘Atho’illah as-Sakandari tergolong ulama yang produktif, tak kurang dari 20 karya dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf tafsir aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqih.dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah al-Hikam. Kitab ini sudah beberapa kali disarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim bin Ibadar-Rundi, Syaikh Ahmad zarruq, dan Ahmad bin Ajiba.
Nama lengkap adalah syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Atho’illah as-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (mesir) pada 648H/1250M, dan meninggal di kairo pada 1309. Julukan al-Iskandari atau as-Sakandari merujuk pada kota kelahirannya. Syaikh Ibnu ‘atho’illah as-Sakandari hidup di mesir pada masa kekuasaan dinasti Mameluk. Disanalah ia menghabiskan hidupnya denan mengajar fiqih mazhab imam Maliki diberbagai lembaga intelektual antara lain masjid al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang syaikh besar ketiga di lingkungan terdekat sufi syadziliyah.
B.     Ruuumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi singkat Ibnu al-Qayyim?
2.      Bagaimana pemikiran pemikiran Ibnu al-Qayyim?
3.      Bagaimana biografi singkat Ibnu ‘Atho’illah?
4.      Bagaimana pemikiran pemikiran Ibnu ‘Atho’illah?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ibnu al-Qayyim
1.      Biografi Singkat Ibnu al-Qayyim
a.    Nasab
Beliau adalah Abu Adbillah Syamsuddien Muhammad bin Abi Bakr bin Ayub bin Sa`ad bin Huraiz bin Makiy Zainuddien Az-Zar`i Ad-Dimasyqi Al-Hambali, terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.. Beliau seorang Imam besar dan Ulama pilih tanding pembelas sunnah dan pemberantas bid’ah.
b.   Kelahirannya
Buku – buku biografi sepakat bahwa ia lahir 691 H. Shafadi muridnya menyebutkan secara rinci tentang hari dan bulan kelahirannya. Ia lahir pada 7 Shafar 691 H. keterang yang sama disampaikan pula oleh Ibnu Taghri Bardi, Dawudi dan Suyuthi.
c.    Sebab Populernya Dengan Sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Di kalangan para ulama dahulu maupun kontemporer, Imam besar ini popular dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Sebagian ulama menyingkatnya dengan hanya menyebut Ibnu Qayyim. Sebutan terakhir lebih popular di kalangan ulama kontemporer.
Sebab  populernya nama ini adalah karena ayahanda beliau, Imam Syaikh Abu Bakar bin Ayub Az-Zar`i, beberapa lama menjabat sebagai Qayyim‘kepala’ Madrasah Al-Jauziyah di Damaskus. Maka, ayahandanya dikenal dengan sebutan “Qayyim Al-Jauziyah” (Kepala Madrasah Al-Jauziyah). Anak – anak dan keturunannya pun dikenal dengan sebutan tersebut. Maka, salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan “Ibnu Qayyim Al-Jauziyah”. Maka dari itu, ia bukan satu-satunya yang mendapat sebutan ini. Hanya saja, ketika sebutan ini disampaikan secara mutlak, maka beliaulah rahimahullah yang dimaksud, karena sebutan ini nyaris telah menyatu dengan namanya.
d.   Keluarganya
Ia tumbuh di sebuah keluarga yang kental dengan keilmuan, keagamaan, ke-wira`ian dan keshalihan.. Ayahnya  Abu Bakar bin Ayub Az-Zar`i adalah Qayyim (kepala) Madrasah Al-Jauziyah. Beliau seorang syaikh terpandang, wira`i, dan ahli ibadah. Seorang yang ahli di bidang ilmu faraid, dari beliau sang putra, Syamsudin Ibnu Qayyim rahimahullah menimba ilmu faraid ini.
Adiknya, Zainudin Abu Faraj Abdurrahman bin Abi Bakar, berusia dua tahun lebih muda. Kebanyakan guru adiknya sama dengan gurunya, adiknya ini seorang imam yang diikuti. Kepadanya Ibnu Rajab dan beberapa ulama lain berguru, ia wafat pada tahun 769 H.
Keponakannya Imadudin Abul Fida` Isma`il bin Zainudin Abdurrahman, salah seorang ulama yang terpandang, ia memiliki sebagaian besar literature pamannya, Syamsudin Ibnu Qayyim. Wafat tahun 799 H.
e.    Permulaan Menuntu Ilmu
Ibnu Qayyim rahimahullah menuntu ilmu di usia dini, tepatnya sebelum usia tujuh tahun. Itu bisaa diketahui dengan membandingkan tahun kelahirannya (691 H) dan tahun kewafatan sejumlah gurunya seperti Abul Abbas Ahmad Abdurrahman Al-Maqdisi yang popular dengan sebutan Ibnu Syihab Al-`Abir, wafat pada tahun 697 H. Ibnu Qayyim telah meriwayatkan dari Ibnu Syihab beberapa kisah tafsir mimpi dalam Zadul Ma`ad. Kemudian ia berkata; “Beginilah keadaan guru kami dan keahlian beliau dalam ilmu tafsir mimpi. Saya pernah medengar beberapa bagian tentang tafsir mimpi darinya, akan tetapi saya belum berkesempatan membaca di hadapan beliau tentang ilmu ini, dikarenakan ketika itu saya masih kanak-kanak dan beliau keburu wafat, semoga Allah melimpahkan rahmat kepada beliau.”
f.     Perjalanannya Menuntut Ilmu
Perjalannya menuntu ilmu bisaa dilakukan oleh para ulama. Mata siapapun yang membaca biografi seorang ulama hamper dipastikan selalu menemukan penjelasan tentang perjalanannya dalam rangka menuntut ilmu. Anehnya, kami tidak melihat para penulis biografi Ibnu Qayyim menampilkan selain perjalanan hajinya dan kisah perjalanan yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim rahimahullahsendiri dalam Hidayatul Hayara yang mengisahkan perjalanannya ke Mesir. Ia mengatakan; “Saya pernah melakukan diskusi di Mesir dengan seorang tokoh yang dianggap paling hebat ilmu dan kepemimpinannya oleh orang-orang Yahudi.”
Bakr Abu Zaid mengatakan: “Bagaiamanapun, jika perjalanan menuntut Ilmu Ibnu Qayyim tidak dikenal luas, maka ia memiliki alasannya;
Beliau rahimahullah hidup di suatu masa di mana ilmu-ilmu keislaman telah disusun dan disebarluaskan di berbagai penjuru dunia. Damaskus pada masa itu termasuk salah satu kawasan yang dikenal kaya dengan ilmu pengetahuan. Damaskus merupakan kiblat dan persinggahan perjalanan para ulama. Ia menjadi impian semua penuntut ilmu dan orang – orang yang ingin memuaskan dahaga ilmu.
Maka tidak mengherankan jika perjalanan menuntut ilmu Ibnu Qayyim rahimahullahtidak popular. Bagaiamana mungkin ia pergi menuntut ilmu sedangkan kondisi Damaskus di bidang ilmu pengetahuan seperti itu ? Terlebih, Syaikhul Islam wal Muslimin, sang lautan ilmu yang tidak pernah kering, yakni Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Taimiyah rahimahullah justru dating ke kota tersebut. Manusia yang paling beruntung adalah yang didatangi rizkinya di depan piintu rumahnya.
g.    Perpustakaannya
Karena Ibnu Qayyim rahimahullah sangat mencintai ilmu, maka hal itu melahirkan kecintaannya kepada buku-buku, tidak mengherankan jika para penulis biografinya secara khusus menyebutkan buku-buku yang ia miliki dan kegemarannya membaca buku. Ia memiliki banyak buku yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Ia sangat mencintai… dan banyak memiliki buku. Ia memiliki buku-buku yang tidak dimiliki oleh orang lain”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ia memiliki sangat banyak buku, tidak mudah bagi orang lain untuk memiliki buku-buku karya ulama salaf maupu khalaf satu persen dari yang beliau miliki.”
Shiddiq Khan Qanuji berkata, “Ia sangat menggemari buku-buku, sehingga memiliki literature yang jumlahnya tak terhitung.”
Mengenai bagaimana nasib buku-bukunya itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Ia sangat menggemari buku sehingga memiliki literature yang tak terhitung banyaknya. Akhirnya anak-anaknya menjual buku-buku tersebut setelah ia wafat, dalam jangka waktu yang sangat panjang, kecuali buku-buku yang mereka pilih untuk mereka simpang sendiri.”
Ibnu Imad mengatakan bahwa sebagian dari buku-buku tersebut disimpan oleh keponakannya, Imaddudin. Ibnu Imad berkata tentang biografi Imaddudin, “Ia seorang tokoh yang terpandang dan memiliki banyak buku sangat berharga, yaitu buku-buku milik pamannya, Syamsudin Ibnu Qayyim rahimahullah. Ia tidak pelit untuk meminjamkan buku-bukunya.”
h.   Keilmuannya
Ibnu Qayyim belajar dan menguasai hampir seluruh ilmu syariat dan ilmu alat, seperti Tauhid, Ilmu Kalam, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh, Faraid, Bahasa, Nahwu dan sebagainya.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Ia mendalami madzhab Hambali hingga menguasai dan berfatwa. Ia menguasai berbagai cabang ilmu keislaman. Penguasaannya dalam bidang ilmu Tafsir tidak tertandingi seorangpun, di bidang Ushul Fiqh, ia adalah pakarnya, di bidang Hadits baik menyangkut makna, fiqih, maupun cara pengambilan kesimpulan yang rumit darinya (istinbath), ia juga tak terkalahkan. Ia sangat menguasai Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, Bahasa Arab, Ilmu Kalam, Nahwu dan sebagainya. Ia juga mendalami Ilmu Tasawuf, mengerti ucapan, isyarat, dan seluk-beluk para ahli tasawuf. Di seluruh bidang ini ia memiliki penguasaan ilmu yang sangat luas.
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Ia memiliki perhatian terhadap hadits, baik terkait dengan matan maupun perawinya, ia juga bnyak bergelut dan menguasai Ilmu Fiqih, Nahwu, Ushuluddin dan Uhsul Fiqh.”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ia mendengar hadits, banyak bergelut dengan ilmu dan menguasai berbagai bidang ilmu, terutama Ilmu Tafsir, Hadits serta Ushuluddin dan Ushul Fiqh.”
Ibnu Taghri Burdi berkata, “Ia sangat menonjol dalam berbagai bidang ilmu, diantarannya: Ilmu Tafsir, Ilmu Nahwu, Ilmu Hadits, Ilmu Ushul dan Ilmu Furu`.”
i.      Akhlaknya
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “… Bacaanya bagus, akhlaknya pun demikian, sikapnya kepada orang lain pun sangat simpatik, tidak pernah iri, menyakiti, mencela atau mendengki seorang pun.”
Secara umum, integritas, urusan, dan keadaannya jarang diperbincangkan. Ia seorang yang baik dan berakhlak mulia.
j.     Pekerjaannya
Pekerjaannya berdasarkan kesimpulan kami dari beberapa buku biografi adalah:
1)       Sebagai Imam di Al-Jauziyah
2)       Mengajar di Madrasah Shadriyah dan beberapa tempat lain.
3)       Memberikan Fatwa
4)       Menulis
k.   Madzhabnya
Ibnu Qayyim rahimahullah dalam berbagai biografi mengenainya, disebut sebagai bermadzhab Hanbali, sebagaimana para guru dan muridnya. Namun yang ia lakukan adalah mengikuti pendapat yang didukung oleh dalil seraya membuang fanatisme madzhab yang tercela. Bagaiamana mungkin ia fanatik kepada suatu madzhab sedangkan ia membenci taqlid dan selalu mengingatkan dan menghimbau orang-orang yang bertaqlid untuk mempelajari ilmu. Ia berbicara panjang lebar tentang hokum Ijtihad dan Taqlid di dalam bukunya I`lamul Muwaqqi`in dalam lebih dari seratus halaman.
Sikap Ibnu Qayyim rahimahullah dalam persoalan ini tidak seperti orang-orang yang berlebihan sehingga merendahkan kedudukan para ulama empat madzhab, seperti para penganut Madzhab Zhahiri ekstrim dan orang-orang yang satu pandangan dengan mereka, di mana mereka menyikapi bid`ah taqlid dan bid`ah merendahkan ulama salaf. Ringkasnya, manhaj Ibnu Qayyim adalah mencari dalil dengan tetap menghormati para imam madzhab.
Beliau rahimahullah berkata dalam I`lamul Muwaqqi`in dalam pembahasan Hiyal, “Yang kedua; Mengenali keutamaan, kedudukan, dan hak para ulama. Keutamaan ilmu dan nasihat mereka karena Allah dan Rasul-Nya tidaklah mengharuskan menerima apapun yang mereka katakana. Kesalahan fatwa mereka dalam persoalan yang mereka tidak tahu bagaiamana sabda Rasul mengenainnya, sehingga berpendapat sebatas ilmu mereka sedangkan pendapat yang benar bertentangan dengannya, maka hal ini tidak mengharuskan kita mencampakkan ucapan mereka begitu saja secara keseluruhan, terlebih lagi merendahkan dan mecela mereka. Kedua sikap ini berlebihan, menyimpang dari jalan yang lurus. Jalan yang lurus adalah kita tidak mengatakan mereka berdosa, tapi juga tidak mengatakan mereka ma`shum.”

2.      Pemikiran dan Pandangan Ibnu al-Qayyim
a.    Pemikiran tentang pendidikan akhlak
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah sering terdengar sebagai ulama alim yang membahas fiqih, aqidah, kebersihan jiwa, tafsir nahwu, maupun bahasa. Namun jika diteliti secara lebih cermat dan seksama dalam buku-buku karangannya, maka akan ditemukan beberapa pandangan dan petunjuk tentang pendidikan akhlak.
Dalam sebuah sumber penelitian yang dilakukan bahwa dasar pendidikan akhlak menurut Ibnu Qayyim dalam pendidikan islam formal adalah penafsiran tarbiyah dalam surat Ali Imron ayat 79 yaitu pendidikan manusia dengan ilmu. Dalam hal ini dapat diartikan berilmu dan mengamalkan ilmunyadengan cara mengajar untuk mengembangkan ilmunyasupaya sempurna dan memperhatikan anak didiknya. tujuannya yakni untuk merealisasikan penghambaannya kepada Allah dengan sempurna dan cara yang paling baik. metodenya adalah pembersihan diridengan langkah-langkah pengosongan, menghiasi diri, mengaktifkan, dan menyertakan anak dalam berbuat kebaikan, memberi gambaran yang baik tentang akhlak terpuji, menunjjukan pula yang buruk karna akhlak tercela. Materinya adalah pokok-pokok akhlak penanggung jawab dalam pendidikan keluarga adalah orang tua, dan mereka yang bertanggung jawab atas perawatan dan pendidikan anak.

b.   Pemikiran tentang pendidikan islam
 Menurut Ibnu Qayyim, makna tarbiyah terlihat dari komentar beliau tentang kata rabbani yang ditafsirka dengan makna tarbiyah. Kata rabbani ditafsirkan dengan makna yang seperti itu dikarnakan ia adalah pecahan dari kata kerja (fi’il) Rabba-Yarubbu- rabban yang artinya adalah seorang pendidik (perawat), yaitu orang yang merawat ilmunya sendiri agar menjadi sempurna, sebagaimana orang yang mempunyai harta yang merawat hartanya sendiri agar bertambah,  dan merawat manusia dengan ilmu tersbut sebagaimana seorang bapak-bapak merawat anaknya (Ibnu Qayyim, Miftahu darus saadah jilid I : 125-126). Berdasar pada makna tarbiyah secara etimologi tersebut, Ibnu Qayyim mendefinisikan sebagai suatu usaha dalam mendidik manusia dengan ilmu yang dilakukanpendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama taa kepada Allah, berbudi pekerti mulia, berilmu tinggi dan kesehatan jasmani dan rohani. Pendidikan menurut belia terdiri dari empat unsur, yaitu pertama menjaga dan memelihara fitrah anak, menuju jalan Allah (Ibnu qayyim, tuhfah al-maulud bi al-ahkamil maulud: 39), kedua, mengembangkan seluruh potensi menuju kewsempurnaan, ketiga, mendidik akhlak, keempat, mendidik jasmani dan rohanisekaligus. Jika diperhatikan secara seksama, maka terbiyah secara terminologi menurut Ibnu Qayyim memiliki persamaan dengan pengertian tarbiyah secara etimologi dan tidak jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh sebagian pendapat para pakar pendidikan islam, termasuk oleh al-Ghazali.
c.    Penafsiran Qalb
Qalb dalam bahasa Arab adalah merupakan bentuk masdar dari kata Qalaba yang berarti membalikan, Merubah, Mengganti. Kata kerja intransitif dari qalaba adalah taqalaba yang beararti membolak-balik, berganti-ganti, berubah. Dengan qalb inilah ditentukan kualitas baik dan burukya manusia. Sebagaimana disabdakan oleh rasulullah SAW : “Dalam tubuh manusia ada segumpal daging jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia buruk maka buruklah seluruh tubuh. Segumpal daging itu ialah hati” (H.R. Muslim).
Salah satu mufasir yang cukup banyak mengkaji dunia sufistik khususnya tentang qalb, adalah Ibnu al-Qayyim al-jauziyah. Ada beberapa penafsiran Ibnu Qayyim dalam kitab at-Tafsir al-Qayyim, diantara berbagai penafsirannya, hampir semua ayat-ayat qalb, dimaknai sebagai suatu alat untuk menghubungkan diri seorang hamba dengan tuhannya. Contohnya ketika menafsirkan qalbun salim, beliau memaknai sebagai hati yang bersih dari segala bentuk kesyirikan terhadap Allah SWT, sedangkan Qalbun  marid ditafsirkan sebagai hati yang mementingkan selain daripaa-Nya. Menurutnya kecintaaan pada dunia dibolehkan asal tidak mengurangi kedekatan deng Alloh SWT. kontribusi dari penafsirannya tersebut dapat memberikan nilai-nilai akhlak yang terpuji baik kepada Allah SWT maupun sesama manusia. Dalam hal ini ayat-ayat Qalb penafsiran Ibnu qayyim berbasis pada bagaimana menejemen hati seseorang.


B.     Ibnu ‘Atho’Illah

1.    Biografi Singkat Ibnu ‘Atho’illah
a.      Biografi
Syeikh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.
Sejak kecil, Ibnu ‘Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu ‘Atha’illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku Ibnu ‘Atha’illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini.
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”,… dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.
Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf.
b.      Masa Pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.
c.       Masa Kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”. Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.
d.      Masa Ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.



2.    Pemikiran Pemikiran Ibnu ‘Atho’illah
a.      Pemikiran Ibnu Atho’illah
Perkembangan pemikiran Ibnu Atho’illah dapat diketahui dari  karya tulisannya al-Hikam. Kitab al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atho’illah pada khususnya dalam paradigma tasawuf. Diantara para tokoh sufi yang lain, seperti al=Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen Annuri, don para tokoh yang lainnya. Kedudukan pemikiran Ibnu Atho;\’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi, tetapi seimbang dengan unsur-unsur pengalaman ibadat dan suluk, artinya diantara syariat, tharikat dan hakikat ditempuh dengan cara methiodis. Kenyataan ini terbukti dalam karya-karya tulis dan warisan sepiritualnya dan selain dia seorang ahli hukum yang bermazhab maliki dan sebagai penganut theologi asy’ariyah, juga ia memiliki posisi sebagai dalam tharikat sydziliyah.
Ibnu ‘Atho’ilah telah memahami ajaran konsep tasawuf yang banyak mengandung dari ajaran syadziliyah, yang mana ajaran tasawuf tersebut diringkas menjadi 5 bagian, yaitu :
1)      Secara lahir dan batin melakukan taqwa kepada Allah SWT.
2)      Berkata dan berbuat sesuai dengan as Sunnah
3)      Dalam penciptaan dan pengaturan menolak kekuasaan makhluk
4)      Baik dalam keadaan sedikit maupun banyak ridha kepada Allah SWT
5)      Baik dalam keadaan senang maupun susah selalu ingat kepada Allah SWT
Selain kelima konsep tasawuf diatas Ibnu Atho’illah memiliki ajaran pokok dalam tasawuf antara lain :
1)      Peniadaan kehendak dibalik kehendak tuhan
2)      Pengaturan manusia dibanding kehendak tuhan
3)      Pengaturan manusia dibanding pengaturan Allah SWT
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adala seorang ulama yang sangat dikenal dan dihargai dikalangan muslimin. Ibnu Qayyim mengajak kaum muslimin mengajak kembali kepada madzhab salafi yakni orang-orang yang telah mengaji langsung kepada Rasulullah. Merekalah yang dikatakan sebagai ulama pewaris nabi.
Dengan banyaknya ilmu yang dimiliki oleh Ibnu Qayyim, beliaupun ikut andil melahirkan ulama-ulama terkemuka dan memiliki kedudukan istimewa yang menjadi murid-muridnya diantaranya adalah : alhafiz Imamuddin Ibnu katsir, al-Hafiz abdurrahman al-Faraj Ibnu Rajjab al-Hambali, dan Ibnu Abd al-Huda penulis kitab al- Sharim al-Manki fi ar-Radd ‘ala as-Subki.
2.      Ibnu ‘Atho’illah as-Sakandari
Ibnu ‘Atho’illah adalah salah satu tokoh sufi yang memadukan antara ilmu fikih dengan ilmu tasawuf, dan beliau dikenal dengan sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju tuhan. Biografi dan karya-karya Ibnu ‘Atho’illah sudah jelas bahwa ia seorang ahli hukum mazhab maliki. Ia juga seorang sufi aliran syadziliyyah, oleh sebab itu ia dijuluki sebagai ahli hikmah, yang melahirkan dari salah satu dari pemikirannya adalah  kitab al-Hikam.
Corak pemikiran ibnu ‘Atho’illah dalam kitab tasawuf sangat berbeda dengan tokoh sufi lainnya, ia menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat. Selain itu Ibnu ‘Atho’illah juga sebagai guru ketigadalam tharekat syadziliyyahmaka beliau memiliki pandangan tasawuf pada khususnya tentang ma’rifat berdasarkan pandangan tharekat syadziliyah.












DAFTAR PUSTAKA
As Sakandari, Ibnu ‘Atho’Illah. Kitab Hikam Petauh Agung Sang Guru. (khatulistiwa press, Jakarta), 2012.
Mansur, H.M. Laily. Ajaran Dan Teladan Para Sufi (Raja Grafindo Persada, Jakarta), 1996.
http:embunfrombanjarmasin.wordpress.com/biografi-syekh-ibnu-athailah/
Hasan bin Ali Hasan al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, Terjemahan Muzaidi Hasbullah, Jakarta: al-Kautsar, 2001
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Fawaid: Menuju Pribadi Takwa, Terjemah Munirul Abidin, Jakarta: al-Kautsar, 2008
LihatTutupKomentar