KUMPULAN RESUME KB1 DAN KB 2 MODUL 8 PPG PAI



KB 1 : ILMU DALAM ISLAM

A.    HAKIKAT ILMU DALAM ISLAM 

1.      Pengertian ilmu
Istilah ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Arab ‘alima, ya’malu,‘ilman yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam Bahasa Inggris istilah ilmu berasal dari kata science, yang berasal dari Bahasa Latin scienta dari bentuk kata kerja scire, yang berarti mempelajari dan mengetahui. Kata ilmu ini pada akhirnya mengelalami penyempitan makna, karena tidak semua yang dipelajari dan diketahui disebut ilmu. Secara istilah ilmu adalah rangkaian aktivitas rasional yang dilaksanakan dengan prosedur ilmiah dan metodologi tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kata 'ilm (ilmu pengetahuan) menurut al-Ghazali adalah bentuk kata yang ambiguis (musytarak: mempunyai banyak arti) yang meliputi penglihatan dan perasaan. ilmu pengetahuan adalah mengetahui (al-ma'rifah). Maka ilmu pengetahuan adalah ilustrasi akal (tashwîr) yang valid tentang hakekat sesuatu,yang terlepas dari unsur aksiden  dengan segala  demensi, kualitas, kuantitas, substansi dan zatnya.

2.      Perbedaan Ilmu dan Pengetahuan
Ilmu dibedakan dengan pengetahuan. Pengetahuan lebih bersifat umum. Ia merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu yang belum teruji secara ilmiah. Jadi, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama menjelajah daerah yang bersifat transendental yang berada di luar pengalaman manusia.  

3.      Hakikat Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dalam Islam bukan merupakan sesuatu di luar af’al Allah, sehingga tidak ada pengetahuan yang tidak diurai dari sumber yang satu itu. Seluruh jenis pengetahuan makhluk adalah setitik air dari samudera pengetahuan Allah.
Ketika al-Ghazali menjelaskan tentang tiga demensi pengenalan (ma'rifah) manusia kepada Allah dari sudut perbuatanNya (al-af'al), sifat (al-sifat) dan dzatNya  (al-dzat), ia mengatakan bahwa seluruh pengetahuan manusia (dalam bentuk science) itu diambil dari samudera al-af'al.

B.     SUMBER ILMU DALAM ISLAM 

1.    Perdebatan Sumber Ilmu 
Dalam epistemologi modern sumber pengetahuan dibedakan atas empat hal yaitu: empiris, rasionalitas, Intuisi dan Otoritas. Sebagai agama yang rasional Islam tentu mengakui adanya keempat sumber pengetahuan yang diakui oleh epistemologi modern. Maka dalam Islam pengetahuan empiris, rasional, intuitif dan otoritatif diabsahkan sebagai sumber pengetahuan. Sumber-sumber pengetahuan tersebut itu dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan. Tidak seperti empirisme yang menafikan pengetahuan rasional, atau rasionalisme yang menafikan pengetahuan empiris.

2.    Ragam Sumber Pengetahuan

a.       Pengetahuan Empiris
Islam mengakui adanya empiris sebagai sumber penegtahuan tetapi ia bukan satu-satunya dan dalam batas-batas tertentu. Al-Ghazali misalnya, selalu membagi alam dalam dua kategori besar yaitu alam al-mulki wa al-syahâdah (semesta) dan alam  al-malakût wal-Jabarût (metafisika). Adapun yang menjadi obyek bagi pengetahuan empiris adalah alam semesta.

b.      Pengetahuan Rasional
Descartes, bapak rasionalisme continental, berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya memakai metode dedukatif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Ia yakin bahwa semua kebeneran itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan.

Jika akal praktis berfungsi untuk menyempurnakan penampilan lahir manusia maka akal teoritis lebihberfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang bersifat immaterial dan ghaib.Akal kedua ini berhubungan dengan pengetahuan yang abstrak dan universal.Ia mempunyai empat tingkatan evolutif yaitu: 1) Al-'Aql al-Hayulaniy (Akal Material), 2) Al-'Aql bi al-Malakah (Akal Habitual), 3) Al-'Aql bi al-Fi'il (Akal Aktual), 4) Al-Aql al-Mustafâd (Akal perolehan).

c.       Pengetahuan Intuitif (Ladunni)
Apa yang dimaksud dengan intuisi dalam Islam sangat berbeda dengan wacana Barat, baik di bidang psikologi maupun filsafat. Intuisi di Barat merupakan bentuk perkembangan lebih lanjut dari intelektual dan masih dalam kawasan rasional. Intuisi difahami oleh ilmuan dan filosof Barat sebagai bentuk pemunculan ide-ide terpendam di bawah sadar. 

Di dalam wacana Islam intuisi merupakan bentuk pencapaian ilmu hudluriy yang didapatkan seseorang dengan cara pasif baik itu secara langsung dari Allah atau melalui perantara. Perantara di sini dapat berupa malaikat (Akal Aktif), bisa juga melalui Lauh Mahfuzh (Jiwa Universal) ataupun al-Qalam atau Nur Muhammad (Akal Universal). Adapun pengaktifan jiwa manusia yang di sulut oleh syetan tidak termasuk dalam definisi intuisi yang dikehendaki di dalam bahasan ini.   
   
C.      STRUKTUR ILMU DALAM ISLAM 

1.         Struktur Ilmu dalam pandangan para Filosof Muslim
Para filosof muslim membedakan ilmu, kepada ilmu yang berguna dan yang tak berguna. Kategori ilmu yang berguna mereka memasukkan ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, fisika, kimia, geografi, logika, etika, bersama disiplin-disiplin yang khusus mengenai ilmu keagamaan. Ilmu sihir, alkemi dan numerologi (ilmu nujum dengan menggunakan bilangan) dimasukkan ke dalam golongan cabang-cabang ilmu yang tidak berguna.

2.         Struktur Ilmu Menurut al-Ghazali
Adapun pemikiran al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan berdasarkan pada bentuk kewajiban yang dibebankan kepada muslim dalam dua kategori, yakni:  fardlu 'ain yang dibebankan kepada masing-masing individu untuk mempelajarinya dan kategori fardlu kifayah yang dibebankan kepada komunitas muslim. Jika telah ada yang menegakkan meski hanya seorang saja, maka gugurlah kewajiban penduduk daerah tersebut. Ilmu fardlu kifayah ini terbagi atas dua bagian yaitu:

a.    Ilmu Syari'ah
Ilmu Syari'ah ini terbagi atas empat bentuk yaitu: pokok (ushul), cabang (furu’), pendahuluan (muqaddimah), dan penutup (mutammimah).
b.    Ilmu Umum (Non Syari'ah)
Adapun yang termasuk dalam kategori ilmu non syari'ah adalah seluruh ilmu umum (science). Berdasarkan sifatnya ilmu ini terbagi atas tiga bentuk yaitu:
1)        Ilmu umum yang terpuji (mahmûd) seperti ilmu kedokteran, matematika, perindustrian dan politik. 
2)        Ilmu umum yang tercela (madzmûmah) seperti ilmu sihir, mantera-mantera, tenung dan sulap. 
3)        Ilmu umum yang netral (mubah) seperti syair (puisi) yang tidak jorok, sejarah dan sebagainya.

KB 2 : HAKIKAT MANUSIA DAN DAYA DAYA RUHANI

A.    HAKIKAT MANUSIA

1.    Ruh sebagai Hakikat Manusia

Manusia terdiri atas dua bagian yaitu badan dan jiwa. Keduanya merupakan hal yang sama sekali berbeda. Badan adalah materi gelap yang kasar, tersusun, bersifat tanah, tidak berfungsi keadaannya kecuali dengan ruh. Manusia disatu sisi, jasmani, berasal dari alam khalq dan dari sisi lain, Ruhanainya dari alam amr. Adapun hakikat manusia adalah ruhani. Dalam rangkaian eksistensialnya meskipun kelihatannya jasmanilah yang lebih awal, sesungguhnya ia adalah akhir. Sedangkan ruhani itu memang kelihatannya terakhir (masa nafkh al-rûh pen.), tetapi ia adalah yang awal.

Penjelasan al-Ghazali, yang membagi ruh dalam dua makna yakni makna hakiki dan lahiriyah, kelihatannya mewakili keragaman penjelasan yang diberikan oleh para ulama ini. Sesungguhnya menurut al-Ghazali, ruh yang merupakan hakikat manusia adalah substansi tunggal yang tepisah dari materi. Ia adalah sinar murni (adwa mujarradah) yang rasional dan bukan teresterial. Sebutan ruh atau  al-qalb dalam bahasa kita merupakan keadaan substansi itu.

Masih menurut al-Ghazali, ruh itu tidak akan rusak, tidak akan hancur dan tidak mati kecuali sekedar berpisah dengan badan dan yang menunggu kembali kepada Allah pada hari Kiamat sebagaimana dijelaskan oleh syariat. Jadi al-rûh al-nâtiq itu tidak berjisim, bukan aksiden (‘arad), tetapi ia adalah substansi (jauhar) yang tetap (tsâbit), kekal (dâ`im), tidak rusak, tidak campur, tidak hancur, tidak mati. Karena itu Allah menyandarkan ruh ini sesekali pada amr-Nya (Qs.   al-Isra`: 85) dan sesekali pada keagungannya (Qs. al-Hajr/15: 29  alTahrîm/66: 12).  Bunyi Qs. al-Hajr/15: 29.

2.    Ragam Jiwa Manusia

Ruh adalah bersifat substantif, tunggal (al-jauhary al-mufrad) yang menerangi, yang menyerap, pelaku, penggerak, penyempurna segenap perangkat dan jasmani.  Ruh yang oleh para filosof muslim disebut jiwa rasional, inilah yang merupakan jiwa hikiki, namun demikian ternyata dalam diri manusia masih terdapat jiwa-jiwa yang lain yang berkaitan dan menjadi alat bagi jiwa hakiki ini. Ragam jiwa itu selanjutnya oleh para filosof Muslim seperti al-Ghazali (450-505/ 1058-1111), mengikuti al-Farabi (w. 339/ 870-950) dan Ibn Sina (370429/ 980-1037), dibedakan menjadi tiga yaitu:
a.    Jiwa vegetatif (al-nafs al-tabî’iy) Jiwa vegetatif merupakan penyempurna pertama badan yang merupakan potensi dan memiliki perangkat  untuk makanan/ nutrisi, tumbuhan, dan reproduksi.
b.    Jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah) Jiwa Hayawaniyah penyempurna pertama bagi jasmani yang merupakan potensi dan memiliki perangkat untuk yang menyerap segala obyek parsial (juz`iyat) dan menggerakkan badan dengan kehendak (irâdah).
c.    Jiwa rasional (al-nafs al-nâtiqah) Jiwa rasional adalah jiwa hakiki manusia. Ia adalah substansi (jauhar) tunggal, sempurna, dan hidup dengan sendirinya.

B.     DAYA-DAYA RUHANI

1.         Ragam Daya Ruhani

Dari penjelasan para sufi, diketahui bahwa potensi dan daya ruhani sangat variatif. Menjadi sangat naïf jika selama ini yang diberdayakan, diadabkan dalam kehidupan nyata hanya sampai pada pemberdayaan aspek rasional bahkan fisik saja. Menjadi manusia berkualitas adalah bagaimana mengoptimalisasikan lima daya ruhani tersebut secara gradual dan simultan. Hanya orang-orang sufi hakikilah yang sanggup mengortimalkan seluruh daya ini.

Analisis tentang daya-daya ruhani oleh para syekh tarikat tampaknya lebih utuh lagi. Syekh Ahmad Khatib Sambas, misalnya, menjelaskan bahwa manusia itu terdiri atas sepuluh unsur halus (latâ`if) di mana lima latâ`if termasuk alam khalqi dan lima berikutnya termasuk alam amr. Yang termasuk alam amr adalah al-qalb, al-rûh, al-sirr, al-khafiy dan al-akhfâ. 
 
2.         Daya Ruhani Utama

Lebih detail mengenai daya-daya ruhani dapat dijelaskan sebagai berikut: 
a.     Al-Nafs
Al-nafs dengan dua makna sebagai berikut: pertama, al-nafs adalah makna menyeluruh bagi daya marah/ agresifitas (al-ghadab) dan daya keinginan (syahwat) dalam diri manusia. Adapun makna kedua, al-nafs adalah sesuatu yang halus
b.    Al-Syahwat
Nafsu syahwat adalah segala keinginan yang berkaitan dengan seksualitas, makanan, materi, kedudukan/ jabatan dan prestise.
c.     Al-Ghadab
Nafsu ghadab (daya marah) adalah daya agresivitas yang berfungsi sebagai penjamin keamanan, sehingga setiap individu dapat tetap survive.
d.    Al-Aql
Dua makna dasar dijelaskan al-Ghazali ketika menjelaskan al- ’aql dalam Ihyâ`, yaitu pertama, al-‘aql adalah ilmu tentang hakikat persoalan-persoalan. Maka akal dalam konteks ini adalah gambaran dari sifat ilmu yang tempatnya di dalam hati. Adapun makna kedua, alaql adalah yang menyerap ilmu pengetahuan. Dia ini adalah al-qalb yakni sesuatu yang halus. Penjelasan lebih lanjut tentang evolusi akal teoritis tersebut adalah sebagai berikut:

1)      Akal Material (Al-'Aql al-Hayulaniy); Perkembangan akal pada fase awal ini masih berupa potensi. 
2)      Akal Habitual (Al-'Aql bi al-Malakah); Dalam al-Qistâs al-Mustaqîm akal ini disebut dengan gharîzah al-'aql (insting akal).  
3)      Akal Aktual (Al-'Aql bi al-Fi'il); Perkembangan akal pada fase ketiga ini telah mampu menggunakan pengetahuan pertama Akal Habitual sebagai premis mayor dalam dialektika untuk memperoleh pengetahuan rasional kedua (al-ma'qûlah al-tsâniyah).
4)      Akal Perolehan (Al-Aql al-Mustafâd); Pada perkembangan fase terakhir ini menurut parea filosof Muslim seperti alFarabi, Ibn Sina, al-Ghazali dan lain-lain, merupakan bentuk pengaktifan akal hingga mampu mencapai level ladunni
5)      Al-Qalb; Sebagaimana al-nafs, al-‘aql dan al-rûh, kata al-qalb oleh al-Ghazali dibedakan atas dua makna yakni: pertama, Daging berbentuk buah sanaubar yang terletak di dada sebelah kiri yaitu daging khusus yang di dalamnya ada lubang, dan di dalam lubang itu ada darah hitam yang merupakan sumber ruh (dalam arti jiwa sensitif) dan tambangnya (pembuluh darah). Adapun makna kedua, Al-qalb adalah sesuatu yang halus, bersifat ketuhanan (rabbâniyah), bersifat ruhani dan berkaitan dengan hati jasmani.

@MENZOUR_ID




LihatTutupKomentar