BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Membahas tentnag hukum tentu akan kita temukan banyak sekali hukum-hukum yang didalamnya mengatur secara khusus hal-hal yang berkaitan dengan hukum tersebut, seperti adanya KUHP yang mengatur tentang hukum pidana. Dalam keseharian kita sebagai seorang muslim tentunya terdapat hukum-hukum yang mengatur tata cara kita dalam menjalankan suatu amaliyah.
Dalam agama islam sendiri terdapat beberapa ilmu yang didalamnya juga mempunyai aturan-aturan khusus terkait bidang tersebut. Dalam ilmu tajwid misalnya, hukum-hukumnya adalah mengenai tata cara membaca al-quran. Tak terkecuali dengan ilmu ushul fiqh.
Berdasarkan hal tersebut pemakalah bermaksud untuk memaparkan maksud atau arti hukum (al-hakam) dalam konteks ilmu ushul fiqh. Dengan harapan dapat memberikan pemahaman kepada para pembaca khususnya kepada pemakalah sendiri untuk memahami arti khusus al-hakam dalam ushul fiqh.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud Mahkum Alaih?
2. Apa pengertian Taqlif?
3. Apa yang di maksud Ahliyah
4. Apa pengertian Hakim (pembuat hukum/Allah SWT)?
a) Pengertian hakim sebelum dan setelah nabi Muhammad menjadi rasul
b) Tahsin dan Taqbih
c) Kemampuan akal mengetahui Syariat
C. TUJUAN
Memberi pemahaman terhadap pembaca khususnya penulis dan Mahasiswa tentang:
1. Pengertian Mahkum Alaih
2. Taqlif
3. Ahliyah
4. Pengertian Hakim (pembuat hukum/Allah SWT)
a. Pengertian hakim sebelum dan setelah nabi Muhammad menjadi rasul
b. Tahsin dan Taqbih
c. Kemampuan akal mengetahui Syariat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MAHKUM ALAIH
Para ulama ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab allah SWT yang disebut dengan mukallaf.
Secara etimologi mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih ( subjek hukum ). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah allah maupun dengan larangannya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus ditanggung jawabkan apabila dia mengerjakan perintah Allah maka dia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[1]
B. TAKLIF
Taklif, berarti “pembebanan” atau pemugaran. Dalam kata lain taklif adalah pembebanan atau tuntutan kepada manusia untuk dipenuhinya. Sedangkan, orang yang diberi beban atau tugas untuk melakukan sesuatu perbuatan syari’at disebut mukallaf. Ia adalah subyek hukum yang oleh ilmu Ushul Fiqh disebut mahkum ‘alaih, di mana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah dan firmannya.
Menurut al-Gazali, taklif adalah kepatuhan atau ketaatan dalam melaksanakan sesuatu perbuatan. Dalam hal ini tidak mungkin dilakukan oleh siapapun kecuali ada kesengajaan, dimana kesengajaan ini diisyaratkan mengetahui apa yang dimaksudkan. Sehingga dalam pembahasan taklif (pembebanan tugas yang harus dipatuhi), dasar utama mukallaf adalah orang yang berakal.[2]
Seorang manusia belum dikenakan taklif(pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama’ ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, maka mereka di anggap tidak bias memahami taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa, tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal).hal ini sejalan dengan sabda rasulullah:
رُفِعَ الْقَلَمَ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنِ الناَئِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِضَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
Di angkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R. Al-Bukhari Abu Daud, al-tirmidzi, al-Nasa’I, ibn majah, dan al-daraquthni dari aisyah dan ali bin abi thalib)[3]
Taklif akan gugur dari mahkum alaih dari sisi pelaksanaannya secara langsung pada kondisi berikut:
a. Jika mahkum alaih belum baligh
b. Jika gila total sehingga seluruh akalnya hilang
C. AHLIYAH
Dari segi etimologi ahliyah berarti “kecakapan manangani suatu urusan”. Misalnya, seseorang di katakana ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti ia mempunyai kemampuan pribadi untuk itu.
Secara terminology, para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyah dengan:
صفَةٌ يُقَدِّرُهاَ الشَّارِعُ فِى الشَّحْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلاًّ صاَلِحاً لِخِطاَبٍ تَشْرِيْعِيٍّ
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang di jadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Maksudnya, Ahliyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain. Oleh sebab itu, jual belinya sah, hibahnya sah, dan telah cakap untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Sifat kecakapan bertindak hukum itu dating kepada seseorang secara evolusi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya;tiadak sekaligus.
Para ulama’ membagi ahliyah kepada dua bntuk, yaitu ahliyah al-wujud dan ahliyah al-ada’.
1. Aliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang telah di anggap sempura untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang di tuntut syara’ maka ia di anggap telah memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia di beri pahala. Apabila ia melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa. Karena itu, ia telah cakap untuk menerima hak-hak dan kewajiban.
2. Ahliyah al-wujud adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak dan menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, apabila seseorang menghibahkan hartanya pada orang yang memiliki ahliyah al-wujud, maka yang di sebut terakhir ini telah cakap menerima hibah tersebut. Apabila harta bendanya di rusak orang lain, maka ia dianggap cakap untuk menerima ganti rugi. Demikian juga halnya dalam masalah harta warisan , ia dianggap cakap untuk menerima harta waris dari keluarganya yang meninggal dunia. Para ulama’ ushul fiqh juga membagi ahliyah al-wujud kepada dua bagian yaitu:
a. Ahliyah al-wujud al-naqishah yaitu ketika seorang itu masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin di anggap memiliki ahliyah al-wujud yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya.
b. Ahliyah al-wujud al-kamilah yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang gila.
Dalam status ahliyah al-wujud (sempurna atau tidak), seseorang tidak di bebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat rohani), maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.[5]
D. AL-HAKIM (PEMBUAT HUKUM/ALLAH SWT)
Secara Etimologi, al-hakim berarti Pembuat hukum, yang menetapkan, dan yang memunculkan sumber hukum. Sedangkan menurut terminologi berarti pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang yang wajib diikuti oleh setiap mukallaf. Diantara kaum muslimin tidak ada perbedaan pendapat bahwa sumber hukum syara’ bagi perbuatan mukallaf adalah Allah SWT. Dan dari pemahamn inilah para ahli ushul bersepakat membuat sebuah teori yaitu لا حكم إلا الله Tiada hukum kecuali yang bersumber dari allah.[6]
Tentang Kedudukan Allah sebagai satu-satunya Pembuat Hukum dalam pandangan islam tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat islam. Masalahnya adalah bahwa Allah debagai pembuat hukum berada dalam alam yang berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat mengenal melalui perantara yang ditetapkan Allah itu, dalam hal ini adalah Rasul. Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.[7]
1. Hakim Sebelum Nabi Muhammad SAW. Diangkat sebagai Rasul
Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Muhammad sebagai Rasul. Sebagian ulama ushul Fiqh dari golongan Ahlussunnah wal Jamaah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara akal tidak dapat mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT. dan yang menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT. Namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT. Dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum datangnya syara’.
Di kalangan para ulama Ushul Fiqh, persoalan yang cukup rumit tersebut dikenal dengan istilah “At-tahsin wa al-taqbih”, yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk.
2. Hakim setelah Diangkatnya Muhammad sebagai Rasul
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa hakim adalah syariat yang turun dari Allah SWT. Yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Apa yang telah dihalalkan oleh Allah hukumnya adalah halal, begitu pula apa yang diharamkannya hukumnya haram. Juga disepakati bahwa apa-apa yang dihalalkan itu disebut hasan (baik), di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segala sesuatu yang diharamkan Allah disebut qabih (buruk), yang di dalamnya terdapat kemudharatan atau kerusakan bagi manusia.
Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh tentang hasan dan qabih, yaitu:
a. Al-Husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabiat manusia. Sedangkan qabihadalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia.
b. Al-Husnu, diartikan sebagai sifat yang sempurna. Sebaliknya, qabih diartikan sebagai sifat jelek, yakni kekurangan pada diri sendiri seseorang. Kedua pengertian tentang hasan dan qabih tersebut telah disepakati oleh para ulama bahwa hal itu hanya bisa dicapai dengan akal.
c. Al-Husnu, adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, sedangkan qabih, merupakan segala perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh manusia. Hal ini disepakati oleh para ulama dalam hal yang tidak bisa dicapai oleh akal.
d. Al-Husnu, diartikan sebagai pekerjaan yang bila dikerjakan akan mendapat pujian di dunia dan pahala dari Allah SWT. Kelak di akhirat. Sebaliknya qabih adalah perbuatan yang akan mendapat cercaan dari manusia bila dikerjakan.
E. TAHSIN DAN TAQBIH
Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai hasan (baik atau/kebaikan) dan qobih (buruk atau keburukan). Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan baik adalah segala hal yang selaras dengan tujuan pelakunya. Sementara buruk adalah hal-hal yang bertentangan dengan tujuan pelakunya, dengan pertimbangan terpenuhinya kesenangan atau terhindarnya dari kesusahan. Al-Gozali menambahkan satu istilah, ‘abats , yaitu hal-hal yang tidak sejalan dan tidak pula bertentangan dengan tujuan pelakunya.
Dengan definisi seperti ini, perbuatan manusia akan dipersepsikan berbeda berbanding lurus dengan berbedanya pemikiran manusia. Terkadang, satu perbuatan mendatangkan kesenangan bagi seseorang, sedangkan bagi yang lainnya mendatangkan kesengasaraan. Bahkan , akan berbeda dengan perbedaan zaman dan budaya (ahwal) manusia. Sehingga, tidak mungkin ada baik dan buruk yang essensi (dzati).
Ulama lainya mendefinisikan baik dan buruk berdsarkan selaras tidaknya dengan tujuan masyarakat. Yang dimaksud masyarakat adalah mayoritas orang yang akan mendapatkan akibat dari suatu perbuatan. Perbuatan dipertimbangakan dngan saut pertimbanga, kepentingan bersama. Kebaialkan adalah segala sesuatu yang mendatangkan kesenangan atau terhindarnya bahaya bagi mayoritas masyarakat. Sebaliknya keburukan adalah segala hal yang mendaytangkan bahaya atau yang merusak kesenangan mayoritas masyarakat, baik terhadap jiwa ataupun harta mereka.
Berdasarkan definisi ini, hukum (baik dan buruk) daspat ditetapkan secara univerasal . jujur, syukur nikmat, memenuhi janji, dan segsala hal yang mendatangkan manfaat bagi mayoritas masyarakat dianggap sebagai baik. Sementara bohong, kufur, mengingkari janji dan semua yang mendatangkan bahaya bagi mayoritas masyarakat dianggap sebagai buruk.
Pendapat kedua ini dikritisi oleh pengikut Asy’ariyyah. Mereka tidak setuju jika masyarakat dijadikan acuan untuk baik dan buruk. Menurut mereka, setiap manusia bersepakat atas satu kebaikan , ada saja unsur buruk yang dimiliki kebaikan tersebut. Misalnya jujur, perbuatan ini memang baik tetapi jika mnegkibatkan bahaya besar bagi umat jadilah ia perbuatan buruk. Begitu pula setiap manusia bersepakat tentang keburukan, ada saja unsur baik di dalamnya.
Dengan demikian, baik dan buruk yang sejati tidak akan ada. Karenanya mereka berpendapat hanya Sya’ari (Allah dalam kasus yang lain Rasul-Nya) yang dapat menentukan sesuatu itu baik atau pun buruk. Sebagaimana definisi yang dikeukakan Al Syahrastany menurutnya, baik adalah perbuatan yang pelakunya dipuji oleh syara sementara buruk adalah perbuatan yang pelekunya dicela oleh syara.
Al Aniby yang dikutif Wahbah Al Zuhaily, mamaparkan alasandari kaum Asy ‘Ariyyah. Menurut Al Aniby , jika baik dan buruk merupakan sifat esensi dari suatu perbuatan, tentunya perbuatan tersebut selamanaya bernilai baik atau selamanaya sbernilai buruk.karena setiap yang esensi tidak berubah. Padahal, bohong umpamanya , terkadang diangap baik jika dilakukan untuk menjaga diri dari tangan orange yanga dzalim. Begitu pula jujur, dalam kasus tersebut dianggap buruk.[8]
F. KEMAMPUAN AKAL MENGETAHUI SYARIAT
Para ulama terbagi kepada tiga golongan dalam menentukan kemampuan akal untuk menentukan hukum,sebelum turunya syariat:
a. Menurut ahlusunnah wal jamaah,akal tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan hukum,sebelum turunya syari’at akal hanya bisa menetapkan baikj dan buruk melalui perantaraan Al quran dan rosul,serta kitab kitab samawi lainnya.
b. Mu’tazilah berpendapat bahwa akal bisa menentukan baik buruknya suatu pekerjaan sebelum datangya syara’ meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rosul.baik dan buruk itu di tentukan oleh zat nya,sehingga akal bisa menentukan syari’at alasan mereka sebenarnya sama dengan ayat yang di kemukakan oleh ahlusunnah waljamaah.yaitu dalam surat Al-isra ayat 17, hanya mereka mengartikan rosul pada ayat tersebut dengan arti akal, sehingga arti keseluruhan ayat tersebut adalah:’’kami tidak akan mengazab seseorag sampai kami berikan akal padanya’’, menurut kaum mu’tazilahprinsip yang di pakai dalam menentukan sesuatu itu baik atau buruk adalah akal manusia, bukan syara.
Golongan mu’tazilah juga berpendapat bahwa syariat yang di tetapkan kepada manusia adalah sesuatu yang dicapai dengan akal yakni bisa di telusuri bahwa di dalamnya ada unsur manfaat atau mudorat dengan demikian, sesuatu yang baik menurut akal adalah baik menurut syara dan manusia di tuntut untuk mengerjakannya, sebaliknya sesuatu yang jelek menurut akal adalah jelek menurut syara dan manusia di larang mengerjakannya.
Golongan maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat masalah di atas, mereka berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu adakalanya baik atau buruk pada zat nya, syara menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan yang baik pada zatnya dan melarang melaksanakan perbuatan yang jelek pada zat nya, adapun terhadap perkataan dan perbuatan yang kebaikan dan keburukannya tidak pada zatnya syara’ memiliki wewenang untuk menetapkannya.
Maka Allah tidak wajib memerintahkan kepada manusia untuk mengerjakan perkataan ataupun perbuatan yang baik menurut akal dan sebaliknya Allah pun tidak wajib memerintahkan manusia meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal.[9]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara etimologi mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih ( subjek hukum ). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah allah maupun dengan larangannya.
Taklif, berarti “pembebanan” atau pemugaran. Dalam kata lain taklif adalah pembebanan atau tuntutan kepada manusia untuk dipenuhinya. Sedangkan, orang yang diberi beban atau tugas untuk melakukan sesuatu perbuatan syari’at disebut mukallaf.
Ahliyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’
Secara Etimologi, al-hakim berarti Pembuat hukum, yang menetapkan, dan yang memunculkan sumber hukum. Sedangkan menurut terminologi berarti pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang yang wajib diikuti oleh setiap mukallaf. Diantara kaum muslimin tidak ada perbedaan pendapat bahwa sumber hukum syara’ bagi perbuatan mukallaf adalah Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Umam Khairul, ushul fiqih 1, pustaka setia, Bandung: 2000.
susant shanty Taklif dalam pandangan Tauhid.htm
Nasroen Haroen, ushul fiqih 1, logos, Bandung:1999
Atha Bin Halil, ushul fiqih, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor:2008
tarbiyyah AL HAKIM DAN AL HUKMU.htm
Perbankan Syariah PEMBUAT HUKUM (HAKIM ).htm
Alfarabyan's Blog BAB III TAHSIN DAN TAQBIH (POLEMIK TENTANG PENENTUAN BAIK {TAHSIN} DAN BURUK {QOBIH}).htm
[8]Alfarabyan's Blog BAB III TAHSIN DAN TAQBIH (POLEMIK TENTANG PENENTUAN BAIK {TAHSIN} DAN BURUK {QOBIH}).htm diunduh tgl 15-09-2013