TEORI ISTINBATH DALAM FIQIH



BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Istinbath
1. Pengertian Istinbath
Istinbath” berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”. [1] Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi hukum islam, arti istinbath menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Karena itu, pemahaman, penggalian,
dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.
Upaya istinbath tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Menurut ‘Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,[2] melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbath, yakni melalui kaidah- kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath atau ijtihad
adalah sebagai berikut :
a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat- ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum.
b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.
c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma’.
d. Meiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbath hukum.
e. Mengetahui ilmu logika, agar dapt mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.
f. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qur’an dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dll.[3]
2. Kontruksi Hukum dengan Analisa Tata Bahasa
Maksud analisa tata bahasa adalah memahami bahasa teks yang tampak. Teks ini bisa diucapkan, ditulis, dan dipahami pengertiannya. [4] Sasaran kajian teks ini adalah ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang termaktub dalam kitab-kitab hadis. Teks tersebut ditulis dalm bahasa Arab, sehingga penalarannya juga menggunakan kajian bahasa Arab.
Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian. Ungkapan “barangsiapa” berarti menunjuk kepada siapapun, jenis kelamin apapun, generasi manapun tanpa pembatasan. Sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para pakar studi hukum islam sepakat bahwa pernyataan hukum yang khusus
bersifat final dan pasti sehingga menutup pengertian yang lain. Namun demikian, pernyataan hukum yang khusus ini ada yang bersifat mutlak tanpa pembatasan dan ada pula yang dibatasi. [5] Suatu pernyataan dianggap mutlaq jika tidak ada pembatasan sama sekali yang mempersempit keluasan pengertiannya. Sebaliknya pernyataan dianggap terbatas karena ada pembatasan yang mempersempit pengertiannya. Dalam al-Qur’an, banyak terjadi pengulangan kata, baik yang mutlak maupun maupun terbatas.
Para studi hukum Isam membuat rumusan mengenai hal ini. Jika kata yang diulangi bermakna mutlak semua, maka maknanya juga mutlak dan sebaliknya. Akan tetapi jika pengulangan itu membuat kata yang mutlak dan terbatas dalam tempat yang berlainan, maka terdapat dua kemungkinan makna, Pertama, kata yang mutlak diberi pembatasan sesuai kata yang terbatas. Kedua, kata yang mutlak tidak dibatasi sebagaimana kata yang terbatas, jika masing-masing berbeda dalam hukum dan sebabnya. Selain mutlak dan terbatas, pernyataan hukum yang khusus juga disertai perintah dan larangan. Perintah adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah. Larangan adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya. [6] Perintah menuntut pelaksanaan, bukan perdebatan. Begitu pula, larangan mengharuskan untuk ditinggalkan. Ketaatan terhadap perintah dan larangan Allah mendapatkan pahala dan sebaliknya penentangannya akan mendapatkan dosa.
3. Kontruksi Hukum dengan Analisa Makna
Pernyataan hukum tentu mengandung makna yang dapat dikontruksikan. Ada empat teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa makna terjemah (‘ibarah nash), analisa pengembangan makna (dilalah al-nash), analisa kata kunci dari suatu pernyataan (isyarah al-nash), dan analisa relevansi makna (iqtidla’ al-nash).
Untuk menerapkan keempat teknik analisa tersebut, dapat dikemukakan contoh penggalan ayat 23 surat al-Nisa’ yang bisa diterjemahkan: ........................................
“Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian dan putri-putri kalian….”. Ternyata, terjemahan ini tidak bisa dipahami, sehingga muncul pertanyaan, “Dalam hal apakah, orang laki-laki diharamkan atas ibunya dan putrinya?’. Agar bisa dipahami perlu tambahan kata yang relevan pada penggalan ayat diatas. Relevansinya didasarkan pada ayat sebelum dan sesudahnya, sehingga kata yang relevan sebagai tambahan adalah “menikahi”. Inilah kontruksi hukum dengan analisa relevansi makna. (istidla’ al- nash). Penting dicatat bahwa tambahan ini bukan berarti menambahi ayat Al-Qur’an, apalagi merubahnya, melainkan memudahkan pemahaman saja. Karena penggalan ayat tersebut bisa dipahami jika terjemahnya berbunyi : “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu dan putri-putri kalian….”.
Terjemah penggalan ayat tersebut memberikan dua pengertian yaitu orang laki-laki dilarang menikahi ibunya dan putri kandungnya. Pengertian sederhana ini merupakan hasil analisa makna terjemah (‘ibarah al-nash). Jika makna ini diperluas lagi, maka muncul banyak kesimpulan hukum. Perluasan makna ini merupakan analisa pengembangan makna (dilalah al-nash). Kata kunci dari penggalan ayat tersebut adalah “diharamkan atas kalian”. Ketika keharaman itu disertai dengan kata kunci “atas kalian” maka hal itu akan menunjukkan bahaya dan kerusakan bila hukum haram itu dilakukan. Pemahaman ini adalah hasil dari analisa kata kunci “(isyarah al-nash).
B. Teori Istidlal .
Pengertian Istidlal
Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata Istadalla yang berarti: minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi memberikan arti istidlal secara umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta.[7] Dalam proses pencarian, al-Qur’an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi alternatif kedua, Ijma’ menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Apabila keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan, Maslahah Mursalah, dll. Dengan demikian, teori istidlal merupakan pencarian dalil-dalil diluar keempat dalil tersebut.
Menurut bahasa, kata dalil mengandung beberapa makna yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti dan saksi. Menurut kebiasaan para pakar studi hukum islam diartikan dengan “sesuatu yang mengandung petunjuk (dalalah) atau bimbingan (irsyad).” Definisi tentang dalil yang lebih mengarah pada landasan hukum yang dikemukakan oleh ‘Abd al-Wahhab Khallaf yaitu “sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis.” Jadi dalil merupakan landasan bagi para pakar studi hukum islam dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan bisa bersifat qath’i (pasti) atau zhanni (tidak pasti). .
Macam-macamn
Dalil Dilihat dari segi keberadaannya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil hukum keberadaannya terdapat dalam teks suci yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang disebut dengan dalil naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang keberadaannya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis pemikiran yang disebut dengan dalil ‘Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama menempatkan sebelas dalil
sebagai landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Al- Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, sad al-dzari’ah, ‘urf (tradisi), syar’u man qablana (syariah sebelum masa nabi Muhammad SAW), dan madzhab al-shahabi (pendapat sahabat Nabi).
  1. Al-Qur’an Secara bahasa, al-Qur’an dari kata qara’a yang berarti “bacaan” atau “apa yang tertulis padanya” Al-Qur’an didefinisikan sebagai berikut: “ Kalam Allah, mengandung mukjizat dan diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad SAW, dalam bahasa yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri an-Nas”. Kaum muslim sepakat menerima Al-Qur’an sebagai dalil atau sumber hukum yang paling asasi.
  2. Sunnah Menurut bahasa, sunnah berarti “jalan yang biasa dilaui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”. Secara istilah, sunnah adalah segala yang diriwayatkan Nabi baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan sifatya yang berkaitan dengan hukum.
  3. Ijma’ Menurut bahasa, Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus. Ijma’ terbagi menjadi dua bentuk yaitu Ijma’ sharih dan Ijma’ sukuti. Ijma’ sharih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid tentang hukum masalah dan tersebar luas, sementara sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang lainnya, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.
  4. Qiyas Arti Qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Qiyas memiliki empat rukun yaitu Ashl (wadah hukum yang diterapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid ashl), dan hukm al-asl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
  5. Istihsan Dari segi bahasa, Istihasan berarti “menganggap atau memandang baik pada sesuatu”. Dari segi istilah, istihsan ialah meninggalkan Qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat darinya, karena terdapat dalil atau alasan yang menghendakinya. Sedangkan pendapat para ulama berbeda-beda dalam mengartikan istihsan. Istihsan dilakukan antara lain jika terjadi konflik kepentingan, yaitu kepentingan yang ruang lingkupnya lebih sempit, jika ketentuan hukum pada dalil khusus dilaksanakan secara apa adanya, dengan kepentingan yang ruang lingkupnya lebih jelas, yang didukung oleh ketentuan hukum pada dalil yang umum sifatnya.
  6. Istishlah Istilah lain dari istishlah adalah Maslahah Mursalah. Dari segi bahasa, istishlah berarti baik. Istishlah didefinisikan sebagi upaya penetapan hukum
    yang didasarkan atas kemaslahatan atau kebaikan. Maslahah terbagi tiga yaitu; yang diterima syara’, yang ditolak oleh syara’ dan yang diperselisihkan oleh ulama muslim karena tidak ada dalil, baik yang menerima maupun yang menolaknya. [8] Penggunaan Istishlah harus memenuhi persyaratan yaitu bukan diukur dengan dugaan semata, sifatnya umum bukan perorangan , tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang lain, serta diamalkan dalam kondisi yang memerlukan. Menetapkan ketentuan hukum dengan berdasarkan maslahah mursalah, merupakan bidang yang amat subur untuk mengembangkan hukum islam, khususnya dalam muamalah kemasyarakatan.
  7. Istishhab Dari segi bahasa, istishhab berarti “minta bersahabat” atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”. Definisi istishhab ialah melestarikan suatu ketentuan hukum yang telah ada pada masa lampau, hingga ada dalil yang mengubahnya. Ada dua macam istishhab: Pertama, melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai kebolehan atau bebas-asal, pada saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya. Missal, segala macam makanan dan minuman, yang tidak terdapat dalil syara’ tentang keharamannya adalah mubah atau halal. Kedua, melngsungkan berlakunya hukum syara’ berdasarkan suatu dalil, dan tidak ada dalil lain yang mengubahnya. Misal, jika seseorang telah berwudhu, kemudian ragu-ragu apakah wudhunya telah batal atau belum, maka ia dihukumi belum batal atas dasar keadaan wudhu sebelumnya yang diyakininya. Maka Istishhab hanya menjadi hujah untuk melangsungkan hukum tidak menetapkan hukum baru yag sebelumnya belum ada.
  8. 'Urf Menurut bahasa, ‘Urf berarti “yang kenal”. Definisi ‘Urf ialah “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”. Lebih lengkapnya ‘Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan, atau kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu. ‘Urf dibagi menjadi 2 macam yaitu ‘urf shahih dan ‘urf fasid. ‘Urf shahih adalah tradisi yang tidak berlawanan dengan dalil syara’ serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. ‘Urf fasid adalah tradisi yang berlawanan dengan syara’ atau menghalalkan
    yang haram dan menggugurkan kewajiban.
  9. Sadd al-Dzari’ah Secara bahasa, sad berarti “penutup” dzariah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu” atau “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan”. Menurut pakar studi hukum Islam, dzariah berarti sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan. Dengan demikian, Sadd al-Dzariah berarti menutup segala sesuatu yang menjadi sarana kepada yang diharamkan atau yang dihalalkan.
  10. Madzhab Shahabi Mazhab Shahabi adalah pendapat para sahabat Nabi tentang suatu kasus yang dikutip oleh para ulama, baik berupa fatwa atau ketetapan hukum. Sementara itu, al-Qur’an dan Sunnah tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut serta tidak ditemukan kesepakatan para sahabat yang menetapkan para sahabat tersebut. Maka dalam hal ini terdapat empat pendapat ulama. Pertama, pendapat sahabat tidak dapat dijadikan dalil hukum. Kedua, pendapat shabat Nabi dapat dijadikan dalil hukum dan didahulukan dari Qiyas. Ketiga, madzhab sahabat dapat dijadikan dalil hukum bila dikuatkan dengan Qiyas. Keempat, madzhab sahabat dapat dijadikan dalil hukum bila bertentangan dengan Qiyas. Pertentangan menunjukkan bahwa pendapat tersebut bukan bersumber dari Qiyas, melainkan dari Sunnah.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash Al- Qur’an atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Ada empat teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa makna terjemah, analisa pengembangan makna, analisa kata kunci dari suatu pernyataan, dan analisa relevansi makna. Istidlal adalah mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta. Dalam proses pencarian, al- Qur’an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi yang kedua, Ijma’ menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Dilihat dari segi keberadaannya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil hukum keberadaannya terdapat dalam teks suci yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang disebut dengan dalil naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang keberadaannya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis pemikiran yang disebut dengan dalil ‘Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama menempatkan sebelas dalil sebagai landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, sad al- dzari’ah, ‘urf, syar’u man qablana, dan madzhab al-shahabi.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Haidar dan Syafiq Basri. 1996. Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan Anggota IKAPI
Effendi Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Haq Hamka, 1998. Falsafah Ushul Fikih. Ujung
Pandang: Yayasan al-Ahkam
Rusli Nasrun. 1997. Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011. Studi Hukum Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press
http://fush.uin-suska.ac.id/attachments/073_Mahmuzar.pdf pada tanggal 18 Maret 2012
[1]Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm.25
[2] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 110-118
[3] Ibid, Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan,….hlm. 29
[4] Hamka Haq, Falsafah Ushul Fikih, (Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1998) hlm. 203. [5] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 205
[6] Ibid, 187 [7] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), hlm. 50
[8] Dikutip dari http://fush.uin-suska.ac.id/ attachments/073_Mahmuzar.pdf pada tanggal 18 Maret 2012
LihatTutupKomentar