A. Pendahuluan
Hukum perdata merupakan hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu dengan yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat.[1]
Dalam sistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan hukum dibagi menjadi 4 buku atau bagian. Satu diantaranya adalah berisi tentang hukum perorangan (personenrecht),yakni mengatur mengenai pribadi alamiah manusia sebagai subyek hukum dalam hukum. Juga mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kecakapan seseorang dalam hukum, hak-hak (kewajiban-kewajiban) subyektif seseorang serta hal-hal yang mempunyai pengaruh terhadap kedudukan seseorang sebagai subyek hukum.[2]
Dalam makalah ini akan menjelaskan mengenai hukum perorangan dan faktor-faktor yang ada di dalamnya seperti pengerian dan pengakuan subyek hukum, kewenangan, kecakapan, kedewasaan, domisili, pencatatan sipil, serta pengaruh hukumnya terhadap terhaap subyek hukum tersebut.
B. Pembahasan
Hukum perorangan / badan pribadi memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum), tentang umur, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, tempat tinggal (domisili) dan sebagainya.[3]
1. Pengertian Subyek Hukum
Subyek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban. Dalam KUH Perdata ada dua macam subyek hukum yang meliputi:
a. Manusia
b. Badan hukum[4]
Boleh dikatakan setiap manusia, baik warga negara ataupun orang asing dengan tak memandang agama atau kebudayaannya adalah subjek hukum. Sebagai subyek hukum, manusia mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan tindakan hukum. Ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah, membuat wasiat, dan sebagainya.[5]
Menurut Salmond, baik manusia maupun bukan manusia mempunyai kapasitas sebagai sunyek hukum kalau dimungkinkan oleh hukum.[6]
2. Pengakuan Sebagai Subyek Hukum
Manusia sebagai subjek hukum, pembawa hak dan kewajiban terjadi sejak manusia itu lahir, dan berakhir setelah ia meninggal dunia. Bahkan pengakuan manusia sebagai subjek hukum dapat dilakukan sejak manusia masih di dalam kandungan ibunya, asal ia dilahirkan hidup. Hal ini telah disebutkan dalam Pasal 2 KUH Perdata, bahwa:
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah lahir, bila mana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada.” [7]
Indonesia sebagai negara hukum, mangakui manusia pribadi sebagai subyek hukum, pendukung hak dan kewajiban. Di dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa:[8]
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
3. Kewenangan Berhak dan Berbuat
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal. Bahkan, jika perlu untuk kepentingannya, dapat dihitung surut hingga mulai orang itu berada di dalam kandungan, asal saja kemudian ia dilahirkan hidup, hal ini penting sehubungan dengan waris-mewaris yang terjadi pada suatu waktu, di mana orang itu masih berada di dalam kandungan.[9]
Hak dan kewajiban perdata tidak bergantung kepada agama, golongan, kelamin, umur, waganegara ataupun orang asing. Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak bergantung pula kepada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama.[10]
Berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam perdata adalah apabila ia meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak. Pasal 3 BW menyatakan: "Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata".
Akan tetapi, ada beberapa faktor yang mempegaruhi kewenangan berhak seseorang. Yang sifatnya membatasi kewenangan berhak tersebut antara lain adalah: [11]
1. Kewarga-negaraan; misalnya dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa hanya warganegara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik.
2. Tempat tinggal; misalnya dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1960 dan Pasal I Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 (Tambahan Pasal 3a s.d. 3e) jo Pasal 10 ayat (2) UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letaktanahnya.
3. Kedudukan atau jabatan; misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam perkara.
4. Tingkahlaku atau perbuatan; misalnya dalam Pasal 49 dan 53 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan, bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua/wali atau berkelakuan buruk sekali.
4. Akibat Ketidak Cakapan
Setiap penyandang hak dan kewajiban tidak selalu berarti mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Ada beberapa golongan orang yang oleh hukum telah dinyatakan ‘tidak cakap’ atau ‘kurang cakap’ untuk nertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, mereka harus diwakili atau dibantu orang lain untuk melkaukannya.[12]
Mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum ialah:
a. Orang yang masih di bawah umur (belum dewasa)
b. Orang yang di taruh di bawah pengampuan
c. Seorang wanita yang bersuami.[13]
Bagi mereka yang tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, maka dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan diwakili oleh orang lain yang ditunjuk oleh hakim pengadilan, yakni bisa orang tuanya, walinya, atau pengampunya. [14]
5. Pendewasaan dan Akibat Hukumnya
Dalam sistem hukum perdata (BW), mereka yang belum dewasa tetapi harus melakukan perbuatan-perbuatan hukum seorang dewasa, terdapat lembaga hukum pendewasaan (handlichting), - yang diatur pada Pasal-pasal 419 s.d. 432.
Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadap orang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun. Jadi, maksudnya adalah memberikan kedudukan hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang yang belum dewasa. Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapai umur 18 tahun, yang diberikan dengan Keputusan Pengadilan Negeri.
Akan tetapi, lembaga pendewasaan (handlichting) ini sekarang tidak relevan lagi dengan adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (2) yang menentukan bahwa seseorang yang telah mencapai umur 18 tahun adalah dewasa. Ketentuan Undang-undang Perkawinan yang menetapkan umur seorang dewasa 18 tahun itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 2 Desember 1976 No. 477 K/Sip/76 dalam perkara perdata antara Masul Susano alias Tan Kim Tjiang vs Nyonya Tjiang Kim Ho.[15]
6. Domisili dan Keadaan Tak Hadir
Domisili mempunyai arti yang sangat penting dalam menentukan tempat tinggal seseorang, tempat seseorang melakukakn perbuatan hukum, tempat pejabat melaksanakan jabatannya, atau badan hukum untuk melakukan perbuatan hukum. Secara konseptual domiili diartikan sebagi:
“That place where a man has his true, fixed and permanent home and principal establishment, and to which he is absent he has the intention of returning.”[16]
Artinya, sebuah tempat yang dimiliki seseorang secara benar, tetap, dan permanen. Setiap kali ia tidak ada di tempat tersebut, ia mempunyai niat untuk kembali. Sedangkan menurut Sri Soedewi menyebutkka domisili sebagai tempat kediaman, yakni tempat seseorang melakukan perbuatan hukum.
Domisili disebut pula domicile (Latin), atau domiciie (Belanda/ Inggris), merupakan tempat yang sah sebagai tempat kediaman yang tepat bagi seseorang, atau bisa disebut juga tempat tinggal resmi.[17]
Sedangkan perbuatan hukum itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Seperti jual beli, sewa menyew, tukar menukar, hibah, beli sewa dan lain-lain.tujuan dari penentuan domisili ini adalah untuk mempermudah para pihak dalam mengadakan hubungan hukum dengan pihak lain.
Di Indonesia, domisili diatur dalam pasal 17 KUH Perdata sampai dengan Pasal 25. Di sana domisili dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Domisili yang sesungguhnya, dan
b. Domisili yang dipilih.
Domisili yang sesungguhnya adalah tempat melakukan perbuatan hukum yang sesungguhnya. Domisili yang sesungguhnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Domisili sukarela atau yang berdiri sendiri adalah tempat kediaman yang tidak bergantung/ ditentukan oleh hubungannya dengan orang lain.
b. Domisili yang wajib, yaitu tempat kediaman yang ditentukan oleh hubungan yang ada antara seseorang dengan orang lain. Misalnya, antara istri dengan suaminya, antara anak dengan walinya, dan antara curatele dengan curator-nya (pengampunya).
Mengenai domisili sesungguhnya diatur dalam Pasal 20 sampau dengan Pasal 23 KUH Perdata, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 20: Domisili pegawai.
b. Pasal 21: Domisili Istri, Anak di bawah umur, dan curatele.
c. Pasal 22: Domisili Buruh.
d. Pasal 23: Tempat kediaman orang meninggal.[18]
Domicile of choice (domisili yang dipilih) merupakan domisili yang dipilih oleh peraturan perundang-undangan maupun yang ditentukan secara bebeas. Domisili ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Domisili yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu tempat kediaman yang dipilih berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya terdapat dalam hukum acara, waktu melakukan eksekusi, dan orang yang akan mengajukan eksepsi (tangkisan). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi: “seorang suami yang ingin menggugat istrinya, maka ia harus mengajukan gugatan di tempat tinggal istrinya.”
b. Domisili secara bebas, yaitu tempat kediaman yang dipi;ih secara bebas oelh para pihak yang akan mengadakan kontrak atau hubungan hukum.
Keadaan tidak hadir adalah suatu keadaan tida adanya seseorang di tempat kediamannya karena kepergian atau meninggalkan tempat tingganya, baik dengan izin maupun tanpa izin dan tidak diketahui dimana tempat dia berada. [19]
Keadaan tidak hadir yang berlangsung lama dapat menimbulkan persoalan, yaitu dugaan telah meninggal dunia. Dugaan ini tombul apabila pencarian telah dilakukan dengan segala upaya, dengan perantara orang lain, dengan bantuan pejabat negara, atau dengan bantuan media massa, tetapi tidak juga ditemukan keberadaan yang bersangkutan. Berlangsung lama, menurut KUH Perdata, tidak ada kabar beritanya sekurang-kurangnya 5 tahun dan sampai 10 tahun.
Selain itu, keadaan tak hadir ini juga berpengaruh pada:
a. Penyelenggaraan kepentingan yang bersangkutan.
b. Status hukum yang bersangkutan sendiri, atau status hukum anggota keluarga yang ditinggalkan mengenai perkawinan dan perwarisan.
7. Pencatatan Sipil
Catatan sipil, atau dalam bahasa lain disebut the civil registry (Inggris), het maatschappelijk (Belanda), burgerkring beachten (Jeman), mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dikarenakan lembaga ini berperan di dalam kerangka memberikan kepastian hukum tentang kelahiran, perkawinan, pengakuan terhadap anak luar kawin, perceraian, dan kematian.
Catatan sipil diatur di dalam Bab II Buku KUH Perdata Indonesia, yang terdiri atas tiga bagian dan 13 pasal, dan dimulai dari Pasal 4 KUH Perdata Indonesia sampai dengan Pasal 16 KUH Perdata Indonesia. Di sana dijelaskan ada lima jenis register atau catatan sipil, yang meliputi:
a. Daftar kelahiran
b. Daftar pemberitahuan kawin
c. Daftar izin kawin
d. Daftar perkawinan dan perceraian
e. Daftar kematian.
Lembaga yang berwenang mengeluarkan kelima jenis register tersebut adalah Kantor Catatan Sipil Kabupaten/ Kotamadya. Yang diberikan kepada yang bersangkutan hanya salinannya saja, sedangkan aslinya tetap disimpan di Kantor Catatan Sipil.
Adapun tujuan dari Lembaga Catatan Sipil adalah:[20]
a. Agar setiap warga masyarakat dapat memiliki bukti-bukti otentik.
b. Memperlancar aktifitas pemerintah di bidang kependudukan.
c. Memberikan kepastian hukum bagi kedudukan hukum setiap warga masyarakat, misalnya kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan, kematian dan lainnya.
C. Kesimpulan
Dari penjelasan singkat dia atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, di antaranya:
1. Subyek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban. Dapat dikatakan bahwa setiap manusia baik warga negara maupun orang asing adalah pembawa hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum.
2. Meskipun setiap subyek hukum mempunya hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus didukung dengan kecakapan dan kewenangan hukum.
3. Orang yang dianggap tidak cakap oleh hukum adalah orang yang belum dewasa, berada dipengampuan, atau seorang perumpeuan yang bersuami. Mereka baru dapat melakukan perbuatan hukum bila diwakili.
4. Meskipun sudah dianggap cakap oleh hukum, belum tentu orang tersebut memiliki kewenangan hukum. Ini karena kewenangan hukum dibatasi oleh kewarganegaraan, tempat tinggal (domisili), kedudukan atau jabatan, tingkah laku atau perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
HS., Salim dan Erlies Septiana Nurbani, 2014, Perbandingan Hukum Perdata; Comparative Civil Law, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Ishaq, 2014, Pengantar Hukum Indonesia (PHI), Jakarta: RajaGrafindo Persada
Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, 2008, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,
Kusumo, Sudikno Mertu, 2008, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, cet. 4
Marzuki, Peter Mahmud, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. 4
Muhammad, Abdulkadir, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI
Soeroso, 2005, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, cet. 6
Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. 33
Sudarsono, 2009, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta
Syahrani, Riduan, 2006, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT Alumi, Cet. 3
Usman, Rachmadi, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluaraan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika
[1] Sudikno Mertu Kusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2008), cet. 4, hlm. 129
[2] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluaraan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 35
[3] Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT Alumi, 2006), Cet. 3, hlm. 34
[4] Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata; Comparative Civil Law, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 75
[5] C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hlm. 99
[6] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), cet. 4, hlm. 206
[7] Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia (PHI), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 156
[8] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI, 2010), hlm. 24
[9] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2008), Cet. 33, hlm. 14
[10] Riduan Syahrani, Op.Cit., hlm. 45
[11] Riduan Syahrani, Ibid., hlm. 46-47
[12] C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Op.Cit., hlm. 100
[13] C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 85
[14] Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 84
[15] Riduan Syahrani, Op.Cit., hlm. 48
[16] Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani, Op.Cit., hlm. 80-81
[17] Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 103
[18] Salim HS. dan Erlies Septiana Nurbani, Op.Cit., hlm. 93-94
[19] Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 50-51
[20] Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. 6, hlm. 155