A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Lahirnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah pasca reformasi 1998 dimaksudkan untuk merubah paradigma Pemerintahan Daerah yang bercorak sentralistik menjadi pemerintahan yang bercorak desentralisasi.[3] Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tersebut juga merupakan peletak batu pertama azas otonomi daerah untuk pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Akan tetapi kerena masih mengandung beberapa kelemahan dan perlu disesuaikan dengan pelaksanaan ide pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan juga karena adanya perubahan UUD 1945, maka undang-undang itu direvisi dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 32 tahun 2004) sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 tahun 1999.
Dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004, maka pelaksanaan pemerintahan di Daerah dilaksanakan dengan cara desentralisasi, sehingga Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka mensejahterakan masyarakat di daerahnya. Perubahan ini tidak hanya di bidang Pemerintahan Daerah, tetapi juga di bidang pertanahan, sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.[4]
Secara konseptual UU No. 32 tahun 2004 sebagai pengganti dari UU No. 22 tahun 1999 mencita-citakan otonomi yang seluas-luasnya, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Namun cita-cita tersebut, belum didukung “political will” pemerintah. Hal ini tergambar melalui peraturan perundang-undangan yang dibuat tumpang tindih, sebagaimana terlihat dalam pembagian/pelimpahan urusan di bidang pertanahan, hal ini bila terjadi terus menerus, dapat dipastikan jalannya otonomi akan semakin lambat, ketergantungan Daerah pada Pemerintah Pusat akan tidak terhindari, sehingga Daerah akan terus-menerus tak ubahnya seperti “Ayam ras”. Padahal Pemerintah Daerah seharus menjadi “ayam kampung”, yakni mencari makan dan minum sendiri untuk memenuhi tuntutan kehidupannya. Sehingga kreativitas daerah untuk membangun kepastian hukum dan keadilan menuju kemakmuran dapat terwujud.[5]
Perubahan pola penyelenggaraan pemerintahan, dengan ekspresi desentralisasi, sesungguhnya telah mulai diatur Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 yang menyebutkan “pertanahan adalah kewenangan pemerintahan kabupaten/kota”. Namun dalam perkembangannya terjadi perubahan fundamental, sebagaimana terlihat pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan: baik pemerintah provinsi maupun pemerintah Kabupaten/kota hanya memiliki kewenangan di bidang pelayanan pertanahan sebagai urusan wajib. Pasal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Pasal 2 ayat (4) menyebutkan adanya 31(tiga puluh satu) urusan wajib yang diserahkan kepada Daerah, salah satu diantaranya adalah urusan pertanahan.[6]
Pendelegasian wewenang melalui corak desentralisasi dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam bidang pertanahan, paling tidak telah memberikan hembusan angin segar kepada Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan sendiri di bidang pertanahan. Berdasarkan iklim desentralisasi tersebut, beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia mendirikan dinas pertanahan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) setempat. Di antaranya: Kabupaten Madiun, Kota Surabaya dan Kabupaten Pati Jawa Tengah.[7]
Namun jika dikaitkan dengan kenyataan yang terjadi dewasa ini, masih kentalnya ekspresi sentralisasi melalui penyelenggaraan dekonsentrasi dan medebewind (pembantuan)[8] di bidang pertanahan. Padahal sejarah mencatat urusan tanah melalui corak sentralisasi termasuk salah satu kewenangan pemerintah yang paling banyak menimbulkan konflik dan sengketa, baik di pedesaan lebih-lebih lagi di daerah perkotaan. “Secara historis dapat dikatakan puncak sengketa pertanahan sebenarnya telah terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang Agraria Kolonial 1870 yang dikenal sebagai Agrarische Wet. Di mana sumber utama konflik dan sengketa pertanahan adalah ketidakharmonisan, ketidakselarasan atau ketimpangan dalam srtuktur kepemilikan dan penguasaan tanah. Akibatnya terjadi anomaly dan terjadi krisis dualisme kebijaksanaan).[9]
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu: Sejauh manakah pendelegasian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah di bidang pertanahan?
B. PEMBAHASAN
Pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada pejabatnya di daerah untuk menjalankan roda pemerintahan disebut dengan dekonsentrasi. Hal ini berarti dekonsentrasi tersebut wewenang untuk mengurus persoalan yang terjadi di Daerah dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.[10]
Perubahan konsep administrasi pemerintahan yang lebih memberdayakan partisipasi lokal menyebabkan terjadinya pola pergeseran kekuasaan pemerintahan. Istilah tersebut juga telah memperoleh materi muatannya dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal yang mengatur tentang pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam UUD 1945 tersebut disebutkan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.[11]
Dalam konteks pertanahan, ketentuan ini setidaknya menimbulkan ketidakjelasan apabila kita kaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan sandaran UUPA. Pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut ditentukan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.[12] Dalam pasal tersebut tidak disebutkan tentang kemungkinan penyerahan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kepada pemerintah daerah, tetapi justeru harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mengacu pada hal di atas berdasarkan kewenangan-kewenangan yang terdapat dalam hukum tanah nasional (UUPA), ternyata bahwa pembentukan hukum tanah nasional maupun pelaksanaannya menurut sifat dan pada asasnya merupakan kewenangan pemerintah pusat.[13]
Dalam rangka otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pelimpahan kewenangan dalam otonomi adalah mengenai bidang pemerintahan. Walaupun ketentuan Pasal 11 ayat (2) undang-undang tersebut mencakup kewenangan dibidang pertanahan, tidak berarti mencakup kewenangan di bidang hukum tanah nasional. Oleh karena itu, pertanahan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota dalam Pasal 11, tidak harus dicerna bahwa wewenang bidang tersebut secara utuh berada di kabupaten/kota. Wewenang yang berada di kabupaten/kota mengenai pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.[14]
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kewenangan pemerintah di bidang pertanahan, baik pemerintah pusat maupun daerah. Sebagaimana terdapat dalam Keputusan Presiden (Kepres) No. 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dalam Pasal 1 dan 2, berikut ini akan dipaparkan perinciannya:
A. Kewenangan Pemerintah Pusat di Bidang Pertanahan
Adapun yang menjadi kewenangan dari Pemerintah Pusat dalam bidang pertanahan, sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Kepres No. 34 tahun 2003 meliputi:
Lahirnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah pasca reformasi 1998 dimaksudkan untuk merubah paradigma Pemerintahan Daerah yang bercorak sentralistik menjadi pemerintahan yang bercorak desentralisasi.[3] Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tersebut juga merupakan peletak batu pertama azas otonomi daerah untuk pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Akan tetapi kerena masih mengandung beberapa kelemahan dan perlu disesuaikan dengan pelaksanaan ide pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan juga karena adanya perubahan UUD 1945, maka undang-undang itu direvisi dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 32 tahun 2004) sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 tahun 1999.
Dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004, maka pelaksanaan pemerintahan di Daerah dilaksanakan dengan cara desentralisasi, sehingga Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka mensejahterakan masyarakat di daerahnya. Perubahan ini tidak hanya di bidang Pemerintahan Daerah, tetapi juga di bidang pertanahan, sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.[4]
Secara konseptual UU No. 32 tahun 2004 sebagai pengganti dari UU No. 22 tahun 1999 mencita-citakan otonomi yang seluas-luasnya, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Namun cita-cita tersebut, belum didukung “political will” pemerintah. Hal ini tergambar melalui peraturan perundang-undangan yang dibuat tumpang tindih, sebagaimana terlihat dalam pembagian/pelimpahan urusan di bidang pertanahan, hal ini bila terjadi terus menerus, dapat dipastikan jalannya otonomi akan semakin lambat, ketergantungan Daerah pada Pemerintah Pusat akan tidak terhindari, sehingga Daerah akan terus-menerus tak ubahnya seperti “Ayam ras”. Padahal Pemerintah Daerah seharus menjadi “ayam kampung”, yakni mencari makan dan minum sendiri untuk memenuhi tuntutan kehidupannya. Sehingga kreativitas daerah untuk membangun kepastian hukum dan keadilan menuju kemakmuran dapat terwujud.[5]
Perubahan pola penyelenggaraan pemerintahan, dengan ekspresi desentralisasi, sesungguhnya telah mulai diatur Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 yang menyebutkan “pertanahan adalah kewenangan pemerintahan kabupaten/kota”. Namun dalam perkembangannya terjadi perubahan fundamental, sebagaimana terlihat pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan: baik pemerintah provinsi maupun pemerintah Kabupaten/kota hanya memiliki kewenangan di bidang pelayanan pertanahan sebagai urusan wajib. Pasal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Pasal 2 ayat (4) menyebutkan adanya 31(tiga puluh satu) urusan wajib yang diserahkan kepada Daerah, salah satu diantaranya adalah urusan pertanahan.[6]
Pendelegasian wewenang melalui corak desentralisasi dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam bidang pertanahan, paling tidak telah memberikan hembusan angin segar kepada Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan sendiri di bidang pertanahan. Berdasarkan iklim desentralisasi tersebut, beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia mendirikan dinas pertanahan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) setempat. Di antaranya: Kabupaten Madiun, Kota Surabaya dan Kabupaten Pati Jawa Tengah.[7]
Namun jika dikaitkan dengan kenyataan yang terjadi dewasa ini, masih kentalnya ekspresi sentralisasi melalui penyelenggaraan dekonsentrasi dan medebewind (pembantuan)[8] di bidang pertanahan. Padahal sejarah mencatat urusan tanah melalui corak sentralisasi termasuk salah satu kewenangan pemerintah yang paling banyak menimbulkan konflik dan sengketa, baik di pedesaan lebih-lebih lagi di daerah perkotaan. “Secara historis dapat dikatakan puncak sengketa pertanahan sebenarnya telah terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang Agraria Kolonial 1870 yang dikenal sebagai Agrarische Wet. Di mana sumber utama konflik dan sengketa pertanahan adalah ketidakharmonisan, ketidakselarasan atau ketimpangan dalam srtuktur kepemilikan dan penguasaan tanah. Akibatnya terjadi anomaly dan terjadi krisis dualisme kebijaksanaan).[9]
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu: Sejauh manakah pendelegasian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah di bidang pertanahan?
B. PEMBAHASAN
Pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada pejabatnya di daerah untuk menjalankan roda pemerintahan disebut dengan dekonsentrasi. Hal ini berarti dekonsentrasi tersebut wewenang untuk mengurus persoalan yang terjadi di Daerah dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.[10]
Perubahan konsep administrasi pemerintahan yang lebih memberdayakan partisipasi lokal menyebabkan terjadinya pola pergeseran kekuasaan pemerintahan. Istilah tersebut juga telah memperoleh materi muatannya dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal yang mengatur tentang pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam UUD 1945 tersebut disebutkan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.[11]
Dalam konteks pertanahan, ketentuan ini setidaknya menimbulkan ketidakjelasan apabila kita kaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan sandaran UUPA. Pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut ditentukan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.[12] Dalam pasal tersebut tidak disebutkan tentang kemungkinan penyerahan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kepada pemerintah daerah, tetapi justeru harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mengacu pada hal di atas berdasarkan kewenangan-kewenangan yang terdapat dalam hukum tanah nasional (UUPA), ternyata bahwa pembentukan hukum tanah nasional maupun pelaksanaannya menurut sifat dan pada asasnya merupakan kewenangan pemerintah pusat.[13]
Dalam rangka otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pelimpahan kewenangan dalam otonomi adalah mengenai bidang pemerintahan. Walaupun ketentuan Pasal 11 ayat (2) undang-undang tersebut mencakup kewenangan dibidang pertanahan, tidak berarti mencakup kewenangan di bidang hukum tanah nasional. Oleh karena itu, pertanahan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota dalam Pasal 11, tidak harus dicerna bahwa wewenang bidang tersebut secara utuh berada di kabupaten/kota. Wewenang yang berada di kabupaten/kota mengenai pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.[14]
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kewenangan pemerintah di bidang pertanahan, baik pemerintah pusat maupun daerah. Sebagaimana terdapat dalam Keputusan Presiden (Kepres) No. 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dalam Pasal 1 dan 2, berikut ini akan dipaparkan perinciannya:
A. Kewenangan Pemerintah Pusat di Bidang Pertanahan
Adapun yang menjadi kewenangan dari Pemerintah Pusat dalam bidang pertanahan, sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Kepres No. 34 tahun 2003 meliputi:
- Penyusunan basis data tanah-tanah asset Negara/Pemerintah/ Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia;
- Penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan dan pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan, yang dihubungkan dalam e-government, e-commerce, dan e-paymen;
- Pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah
- Pembangunan dan pengembangan, pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan melalui tanah melalui system informasi geografis, dengan mengutamakan penetapan sawah beririgasi, dalam rangkan memelihara ketahanan pangan nasional.
B. Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan
Adapun kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimanan termuat dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan menyebutkan tentang bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan tersebut antara lain:
Adapun kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimanan termuat dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan menyebutkan tentang bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan tersebut antara lain:
- Pemberian izin lokasi.yang meliputi: (a). izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modal; (b). perusahaan adalah perseorangan atau badan hokum yang telah memperoleh izin untuk melakukan penanaman modal di Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku; dan (c). penanaman modal adalah yang menggunakan maupun tidak menggunakan fasilitas penanaman asing maupun penanaman modal dalam negeri.
- Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk pembangunan.Pengadaan tanah adalah kegiatan untuk memperoleh tanah baik dengan cara memberikan ganti kerugian maupun tanpa memberikan ganti kerugian (secara sukarela).
- Penyelesain sengketa tanah garapan. Sengketa tanah garapan adalah pertikaian ataupun perbedaan kepentingan dari dua pihak atau lebih atas tanah garapan. Tanah garapan yaitu tanah/sebidang tanah yang sudah atau yang belum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan atau dimanfaatkan oleh pihak lain, baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan dengan atau tanpa jangka waktu tertentu.
- Penyelesaian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. Ganti kerugian disini yang dimaksud adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dalam bentuk uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian tersebut atau bentuk lain.
- Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee yang menjadi tanah obyek lendreform.
- Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hokum adat tertentu.
- Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. Tanah kosong adalah tanah yang di kuasai hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai tanah, hak pengelolaan, atau tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau sebagainya, yang belum dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya atau Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku.
- Pemberian izin membuka tanah.Diartikan sebagai izin yang diberikan kepada seseorang untuk mengambil manfaat dan mempergunakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
- Perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota. Hal ini diartikan merupakan pelaksanaan dan penetapan letak tepat rencana kegiatan yang telah jelas anggarannya baik dari pemerintah, swasta maupun perorangan yang akan membutuhkan tanah di wilayah Kabupaten/Kota tersebut berdasarkan data informasi pola penatagunaan tanah yang sesuai dengan kawasan rencana tata ruang wilayah. Adapun pola penatagunaan tanah adalah informasi mengenai keadaan penguasaan, pemilikan, pengguanaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan kawasan yang disiapkan oleh kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.[15] Sedangkan untuk kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi, dilaksanakan oleh pemerintah provinsi yang bersangkutan.
Dengan adanya dua kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan akibat dikeluarkannya Kepres No. 34 Tahun 2003, berarti terdapat dualisme hokum di bidang pertanahan yakni kewenangan Pemerintah Pusat dan kewenangan Pemerintah Daerah. Pada satu sisi Pemerintah Pusat berwenang pada inventarisasi dan pengelolaan tanah di seluruh Indonesia, termasuk system kepemilikan dan penguasaan tanah bagi para individu melalui pemetaan kadasteral dan pendaftaran tanah juga pelaksanaan lendreform yang diatur langsung oleh pemerintah pusat serta dipertahankannya Negara Indonesia sebagai Negara agraris dengan pengembangan pengelolaan pertanian melalui sawah irigasi.[16] Adapun kewenangan pemerintah daerah menyangkut semua bidang pertanahan di daerah yang terkait dengan pengembangan, pengelolaan tanah dan penyelesaian permasalahan di bidang pertanahan di daerah.[17]
UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti dari UU No. 22 tahun 1999, menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang antara lain pelayanan pertanahan.[18] Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA bahwa: hak menguasai dari negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind (pembantuan).[19]
Sejak perubahan politik hukum pemerintah daerah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 UUD 1945, dari sentralisasi ke sistem desentralisasi, banyak perubahan fundamental ketatanegaraan yang harus disinkronisasikan, baik perundang-undangan maupun kelembagaan. Namun pada kenyataannya perundang-undangan dan kelembagaan belum berkorelasi satu sama lain, sehingga terkesan “otonomi setengah hati”, bila hal ini dibiarkan berlarut-larut, akan berdampak kepada ketidakpastian hukum yang pada akhirnya jauh dari rasa keadilan dan kesejahteraan rakyat.[20]
Selanjutnya untuk melihat bidang pertanahan sebagai urusan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, diatur pada Pasal 10, 13 dan 14 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 10 ayat (1,3) UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur: pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan, kecuali politik luar negeri, pertahanan; keamanan, yustisi; moneter dan fiskal nasional dan agama. Selanjutnya Pasal 2 PP Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Mengatur Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas pemerintahan secara nasional, regional dan sektoral. Demikian pula PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan peraturan pelaksana Pasal 19 UUPA[21]. Menyatakan Pejabat yang berwenang menetapkan dan menertibkan sertifikat tanah adalah Kepala Kantor Pertanahan.[22]
Berkaitan dengan pembagaian urausan pemerintah, dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian urusan Pemerintahan, di sana dicantumkan bahwa pembagian urusan Pemerintah (baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota), meliputi:
UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti dari UU No. 22 tahun 1999, menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang antara lain pelayanan pertanahan.[18] Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA bahwa: hak menguasai dari negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind (pembantuan).[19]
Sejak perubahan politik hukum pemerintah daerah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 UUD 1945, dari sentralisasi ke sistem desentralisasi, banyak perubahan fundamental ketatanegaraan yang harus disinkronisasikan, baik perundang-undangan maupun kelembagaan. Namun pada kenyataannya perundang-undangan dan kelembagaan belum berkorelasi satu sama lain, sehingga terkesan “otonomi setengah hati”, bila hal ini dibiarkan berlarut-larut, akan berdampak kepada ketidakpastian hukum yang pada akhirnya jauh dari rasa keadilan dan kesejahteraan rakyat.[20]
Selanjutnya untuk melihat bidang pertanahan sebagai urusan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, diatur pada Pasal 10, 13 dan 14 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 10 ayat (1,3) UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur: pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan, kecuali politik luar negeri, pertahanan; keamanan, yustisi; moneter dan fiskal nasional dan agama. Selanjutnya Pasal 2 PP Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Mengatur Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas pemerintahan secara nasional, regional dan sektoral. Demikian pula PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan peraturan pelaksana Pasal 19 UUPA[21]. Menyatakan Pejabat yang berwenang menetapkan dan menertibkan sertifikat tanah adalah Kepala Kantor Pertanahan.[22]
Berkaitan dengan pembagaian urausan pemerintah, dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian urusan Pemerintahan, di sana dicantumkan bahwa pembagian urusan Pemerintah (baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota), meliputi:
- Izin Lokasi
- Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
- Penyelesaian sengketa tanah garapan
- Penyelesaian Masalah Ganti Rugi dan santunan tanah untuk pembangunan
- Penetapan tanah ulayat.
- Penetapan Subyek dan obyek Redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
- Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong
- Izin membuka tanah
- Perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota
Apabila diperhatikan dari 9 (sembilan) jenis tugas antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten di atas, maka tergambar bahwa ekspresi sentralisasi masih terlalu dominan, karena pemerintah pusat masih menjadi pionir, yang kurang memberi ruang gerak yang dapat menumbuhkan kemandirian dan kreatifitas daerah sebagai daerah otonom.[23] Hal ini dapat dilihat dari kenyataan yang dinyatakan dalam PP No. 38 tahun 2007 tersebut, dimana pemerintah pusat masih berkeinginan mengeluarkan izin-lokasi, hak ulayat dan masih menganut pola ganti rugi belum berorientasi “ganti untung” yang dapat mengantispasi konflik dan sengketa tanah. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi. Izin Lokasi adalah kewenangan Pemerintah daerah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) berbunyi:
Surat Keputusan pemberian Izin Lokasi ditandatangani oleh Bupati/Walikota atau, untuk Daerah khusus ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah setelah diadakan rapat koordinasi antar instansi terkait, yang dipimpin oleh Bupati/Walikota, khusus ibukota Jakarta, oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap olehnya.
Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi tersebut menunjukkan ekspresi desentralisasi, dimana izin lokasi adalah kewenangan Bupati/Walikota, namun khusus untuk Ibukota Jakarta kewenangan Gubernur. Namun ironisnya PP 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah, dimana pemerintah pusat juga diberikan kewenangan penerbitan izin lokasi.
Dalam Perspektif otonomi dengan ekspresi desentralisasi, pemberian izin lokasi oleh pemerintah pusat dapat dikategorikan “terlalu berlebihan, mencampuri urusan rumah tangga daerah, tidak memandirikan daerah”. Yang lebih fatal dari itu semua menyebabkan konflik dan sengketa lahan semakin berpotensi”. Idealnya tugas pemerintah pusat khusus untuk hal-hal yang bersifat vital dan strategis saja. seperti: pembuatan kebijakan, standar, norma, yang memberikan aturan main dalam hubungan subyek hukum dengan tanah.
Era otonomi daerah adalah peluang bagi pembaharuan agraria, karena melalui otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya secara lebih leluasa sesuai dengan keinginan daerah masing-masing. Namun tetap dalam kerangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[24]
Surat Keputusan pemberian Izin Lokasi ditandatangani oleh Bupati/Walikota atau, untuk Daerah khusus ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah setelah diadakan rapat koordinasi antar instansi terkait, yang dipimpin oleh Bupati/Walikota, khusus ibukota Jakarta, oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap olehnya.
Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi tersebut menunjukkan ekspresi desentralisasi, dimana izin lokasi adalah kewenangan Bupati/Walikota, namun khusus untuk Ibukota Jakarta kewenangan Gubernur. Namun ironisnya PP 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah, dimana pemerintah pusat juga diberikan kewenangan penerbitan izin lokasi.
Dalam Perspektif otonomi dengan ekspresi desentralisasi, pemberian izin lokasi oleh pemerintah pusat dapat dikategorikan “terlalu berlebihan, mencampuri urusan rumah tangga daerah, tidak memandirikan daerah”. Yang lebih fatal dari itu semua menyebabkan konflik dan sengketa lahan semakin berpotensi”. Idealnya tugas pemerintah pusat khusus untuk hal-hal yang bersifat vital dan strategis saja. seperti: pembuatan kebijakan, standar, norma, yang memberikan aturan main dalam hubungan subyek hukum dengan tanah.
Era otonomi daerah adalah peluang bagi pembaharuan agraria, karena melalui otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya secara lebih leluasa sesuai dengan keinginan daerah masing-masing. Namun tetap dalam kerangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[24]
C. PENUTUP
Pada dasarnya Kewenangan Pemerintah dalam bidang urusan tanah merupakan urusan wajib Pemerintah Daerah. Namun pada kenyataannya mencermati realitas yang terjadi dalam konteks otonomi daerah, Pemerintah Pusat masih terkesan setengah-setengah dalam mendelegasikan kewenangan yang berkaitan dengan masalah pertanahan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya kecendrungan atau dominasi kewenangan yang digariskan peraturan perundang-undangan kepada Pemerintah Pusat dalam masalah pertananhan. Kenyataan tersebut tentu akan berimplikasi kepada tidak tercapainya cita-cita reformasi khususnya dalam hal kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus permasalahan yang terjadi di daerah.
Pada dasarnya Kewenangan Pemerintah dalam bidang urusan tanah merupakan urusan wajib Pemerintah Daerah. Namun pada kenyataannya mencermati realitas yang terjadi dalam konteks otonomi daerah, Pemerintah Pusat masih terkesan setengah-setengah dalam mendelegasikan kewenangan yang berkaitan dengan masalah pertanahan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya kecendrungan atau dominasi kewenangan yang digariskan peraturan perundang-undangan kepada Pemerintah Pusat dalam masalah pertananhan. Kenyataan tersebut tentu akan berimplikasi kepada tidak tercapainya cita-cita reformasi khususnya dalam hal kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus permasalahan yang terjadi di daerah.
[1] Makalah ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Pemerintah Daerah pada Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND) Padang.
[2] Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND) Padang.
[3] Dalam system ketatanegaraan Indonesia, ditemukan adanya dua cara yang dapat menghubungkan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Cara pertama disebut sentralisasi, yang mana segala urusan, fungsi, tugas, dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi. Cara kedua dikenal dengan desentralisasi, dimana urusan, tugas, dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada daerah. (Bagir Manan, Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 19.)
[4] Widyarini I.W., Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dalam Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat Vol. 4 No. 2 April 2007, (Semarang: Fakultas Hukum UNTAG, 2007), hlm. 139
[5] Elita Rahmi, Tarik Menarik antara Desentralisasi dan Sentralisasi Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Urusan Pertanahan, dalam Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, (Jambi: Fakultas Hukum UNJA, 2009), hlm.138
[6] Ibid., hlm. 138-139
[7] Suriansyah Murhaini, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang Pertanahan, (Surabaya: Laks Bang Justitia Group, 2009), hlm. 2, sebagaimana dikutip Elita Rahmi, Ibid., hlm. 139
[8] Secara teori menurut Bagir Manan, Medebewind adalah bagian dari desentralisasi tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dengan tugas pembantuan, karena dalam tugas pembantuan terkandung unsure otonomi. (Bagir Manan, Op.Cit., hlm. 180)
[9] B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung Tbk., 2004), hlm. 2. Sebagaimana dikutip oleh Elita Rahmi dari Surjadi Soedirja, Mencari Akar Sengketa Pertanahan, dalam Majalah Blumbhakti, Edisi 21 Tahun 2000, hlm 12, Ibid., hlm. 139-130
[10] Desentralisasi yang dianut dalam konsep Negara kesatuan pada akhirnya juga mempengaruhi hubungan antara pemerintah dan daerah, khusunya yang berkaitan dengan distribusi kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu, adanya satuan pemerintah yang berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain adalah untuk mencegah dominasi pemerintah yang lebih tinggi. (Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian tentang Hubungan antara Pusat dan Daerah, (Yogyakarta: Kerjasama PKHKD FH UNSOED dengan UII Press, 2006), hlm. 77-78)
[11] UUD 1945 Pasal 18 ayat (5)
[12] Mencermati Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut Efendi Perangin, mengatakan Negara sebagai penguasa tertinggi dalam organisasi kekuasaan, berhak mengatur peruntukannya, penggunaan, persediaan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. (Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Cet. V, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 216).
[13] Dari sikap ini jelaslah bahwa wewenang agraria dalam system UUPA adalah pada pemerintahan sentral dan pemerintahan daerah tidak boleh melakukan tindakan kewenangan agrarian jika tidak ditunjuk atau didelegasi wewenang kepada daerah-daerah otonom. (A.P. Perlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agrararia, (Bandung: Bandar Maju, 1998), hlm. 44.)
[14] Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009), hal. 40
[15] Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 85-86, dalam Widyarini I.W., Op.Cit., hlm 142
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Lebih lanjut jika dilihat, bahwa dalam Pasal UU No. 34 Tahun 2004 Pasal 13, di sana dibunyikan berkaitan dengan beberapa kewenanga wajib dan pilihan dari pemerintah Provinsi, salah satunya masalah pelayanan pertanahan termasuk lintas Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam pasal 14 berkaitan dengan kewenangan wajib dan pilihan dari Pemerintah Kabupaten/Kota, yang salah satu dari kewenangan tersebut adalah masalah pelayanan pertanahan.
[19] Penjelasan lebih komplit dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 UUPA.
[20] Elita Rahmi, Op.Cit., hlm. 145
[21] Dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa: untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
[22] Elita Rahmi, Op.Cit.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 148
[2] Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND) Padang.
[3] Dalam system ketatanegaraan Indonesia, ditemukan adanya dua cara yang dapat menghubungkan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Cara pertama disebut sentralisasi, yang mana segala urusan, fungsi, tugas, dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi. Cara kedua dikenal dengan desentralisasi, dimana urusan, tugas, dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada daerah. (Bagir Manan, Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 19.)
[4] Widyarini I.W., Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dalam Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat Vol. 4 No. 2 April 2007, (Semarang: Fakultas Hukum UNTAG, 2007), hlm. 139
[5] Elita Rahmi, Tarik Menarik antara Desentralisasi dan Sentralisasi Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Urusan Pertanahan, dalam Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, (Jambi: Fakultas Hukum UNJA, 2009), hlm.138
[6] Ibid., hlm. 138-139
[7] Suriansyah Murhaini, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang Pertanahan, (Surabaya: Laks Bang Justitia Group, 2009), hlm. 2, sebagaimana dikutip Elita Rahmi, Ibid., hlm. 139
[8] Secara teori menurut Bagir Manan, Medebewind adalah bagian dari desentralisasi tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dengan tugas pembantuan, karena dalam tugas pembantuan terkandung unsure otonomi. (Bagir Manan, Op.Cit., hlm. 180)
[9] B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung Tbk., 2004), hlm. 2. Sebagaimana dikutip oleh Elita Rahmi dari Surjadi Soedirja, Mencari Akar Sengketa Pertanahan, dalam Majalah Blumbhakti, Edisi 21 Tahun 2000, hlm 12, Ibid., hlm. 139-130
[10] Desentralisasi yang dianut dalam konsep Negara kesatuan pada akhirnya juga mempengaruhi hubungan antara pemerintah dan daerah, khusunya yang berkaitan dengan distribusi kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu, adanya satuan pemerintah yang berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain adalah untuk mencegah dominasi pemerintah yang lebih tinggi. (Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian tentang Hubungan antara Pusat dan Daerah, (Yogyakarta: Kerjasama PKHKD FH UNSOED dengan UII Press, 2006), hlm. 77-78)
[11] UUD 1945 Pasal 18 ayat (5)
[12] Mencermati Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut Efendi Perangin, mengatakan Negara sebagai penguasa tertinggi dalam organisasi kekuasaan, berhak mengatur peruntukannya, penggunaan, persediaan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. (Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Cet. V, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 216).
[13] Dari sikap ini jelaslah bahwa wewenang agraria dalam system UUPA adalah pada pemerintahan sentral dan pemerintahan daerah tidak boleh melakukan tindakan kewenangan agrarian jika tidak ditunjuk atau didelegasi wewenang kepada daerah-daerah otonom. (A.P. Perlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agrararia, (Bandung: Bandar Maju, 1998), hlm. 44.)
[14] Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009), hal. 40
[15] Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 85-86, dalam Widyarini I.W., Op.Cit., hlm 142
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Lebih lanjut jika dilihat, bahwa dalam Pasal UU No. 34 Tahun 2004 Pasal 13, di sana dibunyikan berkaitan dengan beberapa kewenanga wajib dan pilihan dari pemerintah Provinsi, salah satunya masalah pelayanan pertanahan termasuk lintas Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam pasal 14 berkaitan dengan kewenangan wajib dan pilihan dari Pemerintah Kabupaten/Kota, yang salah satu dari kewenangan tersebut adalah masalah pelayanan pertanahan.
[19] Penjelasan lebih komplit dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 UUPA.
[20] Elita Rahmi, Op.Cit., hlm. 145
[21] Dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa: untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
[22] Elita Rahmi, Op.Cit.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 148
DAFRTAR PUSTAKA
Fauzan, Muhammad, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian tentang Hubungan antara Pusat dan Daerah, Yogyakarta: Kerjasama PKHKD FH UNSOED dengan UII Press, 2006.
Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Jakarta, Rajawali Pers, 2009.
Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat Vol. 4 No. 2 April 2007, Semarang: Fakultas Hukum UNTAG, 2007.
Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, Jambi: Fakultas Hukum UNJA, 2009.
Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Manan, Bagir, Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
Perangin, Effendi, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Cet. V, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994.
Perlindungan, A.P., Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agrararia, Bandung: Bandar Maju, 1998.
Sihombing, B.F., Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta: PT Toko Gunung Agung Tbk., 2004.
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Fauzan, Muhammad, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian tentang Hubungan antara Pusat dan Daerah, Yogyakarta: Kerjasama PKHKD FH UNSOED dengan UII Press, 2006.
Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Jakarta, Rajawali Pers, 2009.
Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat Vol. 4 No. 2 April 2007, Semarang: Fakultas Hukum UNTAG, 2007.
Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, Jambi: Fakultas Hukum UNJA, 2009.
Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Manan, Bagir, Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
Perangin, Effendi, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Cet. V, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994.
Perlindungan, A.P., Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agrararia, Bandung: Bandar Maju, 1998.
Sihombing, B.F., Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta: PT Toko Gunung Agung Tbk., 2004.
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
http://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/problematika-penegak-hukum-dalam.html
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.