MODUL 10 KB 2 PPG PAI : TEORI KOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN




TEORI KOGNITIF DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJRAN

A.   Pengertian Belajar Menurut Teori Kognitif 

Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.

Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.  Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagibagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya.

Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarkhi belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan lebih rinci beberapa pandangan mereka.
 
B.   Teori Perkembangan Jean Piaget (1896-1980) 

Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahanperubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.

Collin, dkk (2012) menggambarkan pemikiran Piaget sebagai berikut: 




Bagaimana seseorang memperoleh kecakapan intelektual, pada umumnya akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai pengalaman atau persoalan. Bila seseorang dalam kondisi sekarang dapat mengatasi situasi baru, keseimbangan mereka tidak akan terganggu. Jika tidak, ia harus melakukan adaptasi dengan lingkungannya. 

Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif yang ada sekarang, sementara akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat dipahami. Dengan kata lain, apabila individu menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur kognitif yang telah dipunyainya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang sudah dimilikinya yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi.

Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik kognitif atau suatu ketidakimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Proses ini akan mempengaruhi strutur kognitif. Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasimerupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.

Sebagai contoh, seorang anak sudah memahami prinsip pengurangan. Ketika mempelajari prinsip pembagian, maka terjadi proses pengintegrasian antara prinsip pengurangan yang sudah dikuasainya dengan prinsip pembagian (informasi baru). Inilah yang disebut proses asimilasi. Jika anak tersebut diberikan soal-soal pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Artinya, anak tersebut sudah dapat mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip pembagian dalam situasi yang baru dan spesifik.

Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses penyeimbangan. Proses penyeimbangan yaitu menyeimbangkan antara lingkungan luar dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya. Proses inilah yang disebut ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya tampak pada caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis, dan sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam struktur kognitif. Sebagaimana dijelaskan di atas, proses asimilasi dan akomodasi mempengaruhi struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu.

Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu; 

1.  Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun) 

Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang sederhana. Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi langkah. Kemampuan yang dimilikinya antara lain: 
a.   Melihat dirinya sendiri sebagai mahkluk yang berbeda dengan obyek di sekitarnya. 
b.   Mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara.
c.   Suka memperhatikan sesuatu lebih lama.
d.   Mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.
e.   Memperhatikan obyek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah tempatnya. 

2.  Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun) 

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu preoperasional dan intuitif.  Preoperasional (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi kesalahan dalam memahami obyek. Karakteristik tahap ini adalah: 
a.   Self counter nya sangat menonjol. 
b.   Dapat mengklasifikasikan obyek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok.
c.   Tidak mampu memusatkan perhatian pada obyek-obyek yang berbeda. 
d.   Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria, termasuk kriteria yang benar.
e.   Dapat  menyusun  benda-benda  secara  berderet,  tetapi  tidak  dapat  menjelaskan perbedaan antara deretan.
  
3.  Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun)

anak telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstraks. Dalam menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia ini anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman yang luas. Karakteristik tahap ini adalah: 
a.  Anak dapat membentuk kelas-kelas atau kategori obyek, tetapi kurang disadarinya. 
b.  Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih kompleks.
c.  Anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide.
d.  Anak mampu memperoleh prinsip-prinsip secara benar. Dia mengerti terhadap sejumlah obyek yang teratur dan cara mengelompokkannya. Anak kekekalan masa pada usia 5 tahun, kekekalan berat pada usia 6 tahun, dan kekekalan volume pada usia 7 tahun. Anak memahami bahwa jumlah obyek adalah tetap sama meskipun obyek itu dikelompokkan dengan cara yang berbeda.
 
4.  Tahap operasional konkrit (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan bendabenda yang bersifat konkrit. Operation adalah suatu tipe tindakan untuk memanipulasi obyek atau gambaran yang ada di dalam dirinya. Karenanya kegiatan ini memerlukan proses transformasi informasi ke dalam dirinya sehingga tindakannya lebih efektif. Anak sudah tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena anak sudah dapat berpikir dengan menggunakan model “kemungkinan” dalam melakukan kegiatan tertentu.

Ia dapat menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya. Anak mampu menangani sistem klasifikasi. Namun sungguhpun anak telah dapat melakukan pengklasifikasian, pengelompokan dan pengaturan masalah (ordering problems) ia tidak sepenuhnya menyadari adanya prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Namun taraf berpikirnya sudah dapat dikatakan maju. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif. Untuk menghindari keterbatasan berpikir anak perlu diberi gambaran konkrit, sehingga ia mampu menelaah persoalan. Sungguhpun demikian anak usia 7-12 tahun masih memiliki masalah mengenai berpikir abstrak.
 
5.  Tahap Operasional formal (umur 11/12-18 tahun). 

Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. Model berpikir ilmiah dengan tipe hipothetico-deductive dan inductive sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa. Pada tahap ini kondisi berpikir anak sudah dapat: 
a.  Bekerja secara efektif dan sistematis.
b.  Menganalisis  secara  kombinasi.  Dengan  demikian  telah  diberikan  dua kemungkinan penyebabnya, misalnya C1 dan C2 menghasilkan R, anak dapat merumuskan beberapa kemungkinan.
1)  Berpikir secara proporsional, yakni menentukan macam-macam proporsional tentang C1, C2, dan R misalnya. 
2)  Menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi. Pada tahap ini mula-mula Piaget percaya bahwa sebagian remaja mencapai formal operations paling lambat pada usia 15 tahun.

Tetapi berdasarkan penelitian maupun studi selanjutnya menemukan bahwa banyak siswa bahkan mahasiswa walaupun usianya telah melampaui, belum dapat melakukan formal-operations. Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu akan berbeda dengan proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap preoperasiaonal, dan akan berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional konkrit, bahkan dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional formal. 

Empat tahap perkembangan Piaget (Collin, 2012) ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.  Pada tahap sensorimotor, anak belajar tentang dunia melalui sentuhan dan indera lainnya
b.  Anak mulai mengatur objek secara logis pada tahapan pra-operasional
c.  Dalam tahap operasional kongkrit, Kuantitas/ isi dipengaruhi oleh bentuk yang berbeda
d.  Penalaran verbal dan pemikiran hipotetis anak berkembang pada tahap operasi formal Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya.

Guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif para muridnya agar dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajarannya sesuai dengan tahap-tahap tersebut. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan tidak sesuai dengan kemampuan dan karakteristik siswa tidak akan ada maknanya bagi siswa.

C.   Teori Belajar Menurut Jerome Bruner (1915-2016) 

Jerome Bruner adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam studi perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai berikut: 
1.  Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu rangsangan.
2.  Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realis. 
3.  Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri.
4.  Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya. 
5.  Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang lain.
6.  Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi. Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang.

Dengan teorinya yang disebut free discovery learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Jika Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif. 

Menurut Brunerperkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan symbolic. 
a. Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.
b. Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui gambargambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
c. Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak, berarti ia tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar. 

Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut. Gagasannya mengenai kurikulum spiral (a spiral curriculum) sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro, menunjukkan cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan meteri secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci. Pendekatan penataan materi dari umum ke rinci yang dikemukakannya dalam model kurikulum spiral merupakan bentuk penyesuaian antara materi yang dipelajari dengan tahap perkembangan kognitif orang yang belajar. 

Demikian juga model pemahaman konsep dari Bruner (dalam Degeng, 1989), menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu. Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep sudah ada sebelumnya. Sedangkan dalam pembentukan konsep adalah sebaliknya, yaitu tindakan untuk membentuk kategori-kategori baru. Jadi merupakan tindakan penemuan konsep.

Menurut Bruner, kegiatan mengkategori memiliki dua komponen yaitu; (1) tindakan pembentukan konsep, dan (2) tindakan pemahaman konsep. Artinya, langkah pertama adalah pembentukan konsep, kemudian baru pemahaman konsep. Perbedaan antara keduanya adalah: 
1) Tujuan dan tekanan dari kedua bentuk perilaku mengkategori ini berbeda.
2) Langkah-langkah dari kedua proses berpikir tidak sama.
3) Kedua proses mental membutuhkan strategi mengajar yang berbeda. Bruner memandang bahwa suatu konsep memiliki 5 unsur, dan seseorang dikatakan memahami suatu konsep apabila ia mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi; (a). Nama. (b). Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif. (c). Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak. (d). Rentangan karakteristik (e). Kaidah.

Menurut Bruner, pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah lebih banyak menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang mengembang-kan kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif sangat penting bagi mereka yang menggeluti bidang matematika, biologi, fisika, dan sebagainya, sebab setiap disiplin mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (discovery learning).

Brunner meyakini bahwa proses belajar akan berjalan dengan optimal apabila siswa diberikan kesempatan untuk mengungkapkan konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagaimana bagan di atas, Brunner meyakini bahwa perkembangan bahasa memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kognitif anak. Pemikiran Bruner (Collin, 2012) yang digambarkan sebagai berikut:    




D.   Teori Belajar Bermakna David Ausubel (1918-2008) 

Teori-teori belajar yang ada selama ini masih banyak menekankan pada belajar asosiatif atau belajar menghafal. Belajar demikian tidak banyak bermakna bagi siswa. Belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif.  Struktur kognitif merupakan struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual.

Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Yang paling awal mengemukakan konsepsi ini adalah Ausubel. Dikatakan bahwa pengetahuan diorganisasi dalam ingatan seseorang dalam struktur hirarkhis. Ini berarti bahwa pengetahuan yang lebih umum, inklusif, dan abstrak membawahi pengetahuan yang lebih spesifik dan konkrit. Demikian juga pengetahuan yang lebih umum dan abstrak yang diperoleh lebih dulu oleh seseorang, akan dapat memudahkan perolehan pengetahuan baru yang lebih rinci.

Gagasannya mengenai cara mengurutkan materi pelajaran dari umum ke khusus, dari keseluruhan ke rinci yang sering disebut sebagai subsumptive sequence menjadikan belajar lebih bermakna bagi siswa. Advance organizers yang juga dikembangkan oleh Ausubel merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam merancang pembelajaran. Penggunaan advance organizers sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mempelajari informasi baru, karena merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar tentang apa yang dipelajari, dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam struktur kognitif siswa.

Jika ditata dengan baik, advance organizers akan memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran yang baru, serta hubungannya dengan materi yang telah dipelajarinya.  Berdasarkan pada konsepsi organisasi kognitif seperti yang dikemukakan oleh Ausubel tersebut, dikembangkanlah oleh para pakar teori kognitif suatu model yang lebih eksplisit yang disebut dengan skemata. Sebagai struktur organisasional, skemata berfungsi untuk mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah, atau sebagai tempat untuk mengkaitkan pengetahuan baru.

Atau dapat dikatakan bahwa skemata memiliki funsi ganda, yaitu:
1.   Sebagai  skema  yang  menggambarkan  atau  merepresentasikan  organisasi pengetahuan. Seseorang yang ahli dalam suatu bidang tertentu akan dapat digambarkan dalam skemata yang dimilikinya.
2.   Sebagai kerangka atau tempat untuk mengkaitkan atau mencantolkan pengetahuan baru.

Skemata memiliki fungsi asimilatif. Artinya, bahwa skemata berfungsi untuk  mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam hirarkhi pengetahuan, yang secara progresif lebih rinci dan spesifik dalam struktur kognitif seseorang. Inilah proses belajar yang paling dasar yaitu mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam skemata yang tersusun secara hirarkis. Struktur kognitif yang dimiliki individu menjadi faktor utama yang mempengaruhi kebermaknaan dari perolehan pengetahuan baru.

Dengan kata lain, skemata yang telah dimiliki oleh seseorang menjadi penentu utama terhadap pengetahuan apa yang akan dipelajari oleh orang tersebut. Oleh sebab itu maka diperlukan adanya upaya untuk mengorganisasi isi atau materi pelajaran serta penataan kondisi pembelajaran agar dapat memudahkan proses asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif orang yang belajar. Mendasarkan pada konsepsi di atas, Mayer (dalam Degeng, 1993) menggunakan pengurutan asimilatif untuk mengorganisasi pembelajaran, yaitu mulai dengan menyajikan informasi-informasi yang sangat umum dan inklusif menuju ke informasi informasi yang hkusus dan spesifik.

Penyajian informasi pada tingkat umum dapat berperan sebagai kerangka isi bagi informasi-informasi yang lebih rinci.  Reigeluth dan Stein (1983) mengatakan bahwa skemata dapat dimodifikasi oleh pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga menghasilkan makna baru. Anderson (1980) dan Tennyson (1989) mengatakan bahwa pengetahuan yang telah dimiliki individu selanjutnya berfungsi sebagai dasar pengetahuan bagi masing-masing individu. Semakin besar jumlah dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang, makin besar pula peluang yang dimiliki untuk memilih. Demikian pula, semakin baik cara penataan pengetahuan di dalam dasar pengetahuan, makin mudah pengetahuan tersebut ditelusuri dan dimunculkan kembali pada saat diperlukan. 

E.   Hierarki Belajar menurut Gagne (1916-2002)

Menurut Gagne (dalam Dahar, 2011, hlm. 67), belajar konsep merupakan suatu bagian dari suatu hierarki delapan bentuk belajar. Dalam hierarki ini, setiap tingkat belajar bergantung pada tingkat-tingkat sebelumnya. Hierarki belajar Gagne disajikan pada tabel berikut:


 
F.   Hasil Belajar menurut Gagne

Gagne mengemukakan lima macam hasil belajar, tigadi antaranya bersifat kognitif, satu bersifat afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorik (Dahar, 2011, hlm. 118). Menurut Gagne (dalam Dahar, 2011, hlm. 118) penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar disebut dengan kemampuan. Ada lima kemampuan yang ditinjau dari segi-segi yang diharapkan dari suatu pengajaran atau instruksi, kemampuan itu perlu dibedakan karena kemampuan itu memungkinkan berbagai macam penampilan manusida dan juga karena kondisi-kondisi untuk memperoleh berbagai kemampuan itu berbeda. Kemampuan-kemampuan tersebut yaitu keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, informasi verbal, dan keterampilan motorik. 

1.  Keterampilan intelektual

Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya dengan penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Aktivitas belajar keterampilan intelektual ini sudah dimulai sejak  tingkat pertama sekolah dasar (sekolah taman kanak-kanak) dan dilanjutkan sesuai dengan perhatian dan kemampuan intelektual seseorang.  Selama bersekolah, banyak sekali jumlah keterampilan intelektual yang dipelajari oleh seseorang. Keterampilan intelektual ini untuk bidang studi apapun dapat digolongkan berdasarkan kompleksitasnya. Belajar mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang dengan cara yang disarankan Gagne.

Untuk memecahkan masalah, siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi yaitu aturanaturan kompleks. Demikian pula diperlukan aturan dan konsep yang terdefinisi. Untuk memperoleh atuan-aturan ini, siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkret dan untuk mempelajari konsep-konsep konkret ini siswa harus menguasai diskriminasi.
a.  Diskriminasi merupakan suatu kemampuan untuk mengadakan respons yang berbeda terhadap stimulus-stimulus yang berbeda dalam satu atau lebih dimensi fisik.
b.  Konsep konkret menunjukkan suatu sifat objek atau atribut objek (warna, bentuk, dan lain-lain). Konsep-konsep ini disebut konkret sebab penampilan manusia yang dibutuhkan konsep ini ialah suatu objek yang konkret.
c.  Konsep terdefinisi, apabila seseorang dapat mendemonstrasikan arti kelas tertentu tentang objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan.
d.  Aturan. Seseorang telah belajar suatu aturan apabila penampilannya mempunyai semacam “keteraturan” dalam berbagai situasi khusus.
e.  Aturan-aturan kompleks merupakan gabungan kompleks aturan-aturan yang sederhana. Aturan kompleks atau aturan tinggi ditemukan untuk memecahkan suatu masalah praktis atau sekelompok masalah.

2.  Strategi kognitif

Suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir disebut sebagai strategi kognitif. Strategi kognitif dikelompokkan sesuai dengan fungsinya, dan pengelompokkan yang disarankan oleh Weinstein dan Mayer(dalam Dahar, 2011, hlm. 122) adalah sebagai berikut:
a.  Strategi menghafal. Siswa melakukan latihan mereka sendiri tentang materi yang dipelajari. Dalam bentuk yang paling sederhana, seperti mengulangi nama-nama dalam suatu urutan (nama pahlawan, tahun pecahnya perang dunia, dan lain-lain).
b.  Strategi elaborasi. Siswa mengasosiasikan hal-hal yang akan dipelajari dengan bahan-bahan lain yang tersedia.
c.  Strategi pengaturan. Menyusun materi yang akan dipelajari ke dalam suatu kerangka teratur merupakan teknik dasar strategi ini. 
d.  Strategi metakognitif. Meliputi kemampuan siswa untuk menentukan tujuan belajar, memperkirakan keberhasilan pencapaian tujuan itu, dan memilih alternatifalternatif untuk mencapai tujuan itu.
e.  Strategi afektif. Teknik ini digunakan para siswa untuk memusatkan dan mempertahankan perhatian untuk mengendalikan kemarahan dan menggunakan waktu secara efektif. 

3.  Sikap

Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadian-kejadian, atau makhluk hidup lainnya. Sekelompok sikap yang penting ialah sikap kita terhadap orang lain. Oleh karena itu, Gagne juga memperhatikan bagaimana siswa-siswa memperoleh sikap-sikap sosial tersebut.

4.  Informasi verbal

Informasi verbal juga disebut pengetahuan verbal. Menurut teori, pengetahuan verbal ini disimpan sebagai jaringan proposisi-proposisi. Informasi verbal diperoleh sebagai hasil belajar di sekolah dan juga dari kata-kata yang diucapkan orang, dari membaca, radio, televisi dan media lainnya.

5.   Keterampilan motorik

Keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan fisik, melainkan juga kegiatan motorik yang digabung dengan keterampilan intelektual, misalnya membaca, menulis, memainkan sebuah instrumen musik, atau dalam pelajaran sains menggunakan berbagai macam alat seperti mikriskop, alat-alat listrik, dan lain sebagainya. 

G.   Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran 

Teori kognitif menekankan pada proses perkembangan siswa. Meskipun proses perkembangan siswa mengikuti urutan yang sama, namun kecepatan dan pertumbuhan dalam proses perkembangan itu berbeda. Dalam proses pembelajaran, perbedaan kecepatan perkembangan mempengaruhi kecepatan belajar siswa, oleh sebab itu interaksi dalam bentuk diskusi tidak dapat dihindarkan. Pertukaan gagasan menjadi tanda bagi perkembangan penalaran siswa. Perlu disadari bahwa penalaran bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan secara langsung, namun perkembangannya dapat disimulasikan. 

Piaget memberikan penekanan bahwa setiap tahap perkembangan memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar lebih baik. Menurut piaget, anak bukanlah orang dewasa mini, anak tidak mengetahui sebanyak apa yang diketahui oleh orang dewasa, akan tetapi anak melihat dunia dengan cara yang berbeda dan berinteraksi secara berbeda pula. Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaian dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal.

Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa.

Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut: 
1.  Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu. 
2.  Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3.  Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4.  Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.
5.  Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6.  Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
7.  Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatiakan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan sebagainya. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, proses belajar  menurut Piaget terjadi melalui tahapan asimilasi, akomodasi dan equilibirasi.

Sebagai contoh (www.nblognlife.com) siswa yang telah memahami prinsip pengurangan, ketika siswa tersebut mempelajari prinsip pembagian, maka terjadi proses pengintegrasian antara prinsip pengurangan yang sudah dikuasainya dengan prinsip pembagian (informasi baru). Inilah yang disebut proses asimilasi. Jika siswa tersebut diberikan soal-soal pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Hal ini berarti siswa tersebut sudah dapat mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip pembagian dalam situasi yang baru dan spesifik. 

Dalam learning and teaching information (www.funderstanding.com), dijelaskan bahwa Piaget melihat transisi perkembangan terjadi pada sekitar 18 bulan, 7 tahun dan 11 atau 12 tahun. Hal ini dapat diartikan bahwa sebelum usia ini anak-anak tidak mampu (seberapa cerdaspun mereka) untuk memahami hal-hal dengan cara-cara tertentu.  Pada siswa yang berada di rentang perkembangan preoperasional, untuk mengaplikasikan teori perkembangan Piaget dalam pembelajaran di kelas, University of Arkansas merekomendasikan enam tahap yang perlu diperhatikan dalam perkembangan struktur pre-operasional. Enam tahap tersebut:
a.   Gunakan contoh pendukung dan alat-alat visual jika memungkinkan.
b.   Buat petunjuk pembelajaran yang tidak terlalu panjang, gunakan lebih banyak contoh daripada kata-kata. 
c.   Jangan berharap siswa melihat dunia dari sudut pandang orang lain, karena siswa memiliki sudut pandnag sendiri.
d.   Peka terhadap kemungkinan bahwa siswa mungkin memiliki pemahaman yang berbeda terhadap kata yang sama atau pemahaman yang sama terhadap kata yang berbeda. Siswa juga seringkali mengharapkan orang dewasa untuk memahami katakata yang mereka ucapkan.
e.   Berikan latihan langsung kepada siswa yang berfungsi untuk membantu siswa membangun pemahaman yang lebih kompleks seperti pemahaman bacaan.
f.   Berikan berbagai pengalaman untuk membangun landasan bagi pembelajaran yang lebih kompleks.  Ketiga tokoh aliran kognitif di atas secara umum memililiki pandangan yang  sama yaitu mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.

Menurut Piaget, hanya dengan mengaktifkan siswa secara optimal maka proses asimilasidan akomodasi pengetahuandan pengalaman dapat terjadi dengan baik. Sementara itu, Bruner lebih banyak memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar sendiri melalui aktivitas menemukan (discovery). Cara demikian akan mengarahkan siswa pada bentuk belajar induktif, yang menuntut banyak dilakukan pengulangan. Hal ini tercermin dari model kurikulum spiral yang dikemukakannya.

Berbeda dengan Bruner, Ausubellebih mementingkan strutur disiplin ilmu. Dalam proses belajar lebih banyak menekankan pada cara berfikir deduktif. Hal ini tampak dari konsepsinya mengenai Advance Organizer sebagai kerangka konseptual tentang isi pelajaran yang akan dipelajari siswa.

Penerapan teori kognitif ini contohnya pada pembelajaran mandiri, dimana siswa dapat belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya sendiri dan sesuai dengan kecepatannya sendiri. Sebagaimana yang disampaikan Piaget(Collin, dkk: 2012) dalam teorinya bahwa tujuan utama dalam proses pembelajaran adalah menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang baru”. Selain model pembelajaran mandiri, model diskusi dengan memfokuskan pada perkembangan siswa dan guru sebagai fasilitator untuk membantu siswa berkembang sesuai dengan struktur kognitifnya, juga merupakan contoh penerapan teori kognitif.  


SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM


LihatTutupKomentar