MODUL 9 KB 2 PPG PAI : PEMBELAJARAN HOLISTIK, KONTEKSTUAL DAN FUTURISTIK





PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN  HOLISTIK, KONTEKSTUAL,  DAN FUTURISTIK

A.   Pembelajaran Holistik

1.     Konsep Pembelajaran Holistik

Kata “holistik‟ (holistic) berasal dari kata “holisme‟ (holism). Kata “holisme‟ pertama kali digunakan oleh J.C. Smuts pada tahun 1926 dalam tulisannya yang berjudul Holism and Evolution, bahwa asal kata “holisme” diambil dari bahasa Yunani, holos, yang berarti semua atau keseluruhan. Smuts mendefinisikan holisme sebagai sebuah kecenderungan alam untuk membentuk sesuatu yang utuh sehingga sesuatu tersebut lebih besar daripada sekedar gabungan-gabungan bagian hasil evolusi (Nobira: 2012). 

Pembelajaran holistic adalah turunan dari konsep pembelajaran holistik (holistic learning) yang merupakan suatu filsafat Pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yangbaru. Beberapa tokoh perintis pendidikan holistikdi antaranya: Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel, dan Francisco Ferrer.

Pendukungnya yaitu: Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.Secara historis, pembelajaran holistic sebetulnya bukan hal yang baru. Beberapa tokoh klasik perintis pembelajaran holistik, di antaranya: Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer (Widyastono, 2012) Paradigma pembelajaran holistik menurut Anhar (2015:27) menekankan proses pendidikan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.      Tujuan pembelajaran holisti kadalah terbentuknya manusia seutuhnya dan masyarakat seutuhnya. 
b.     Materi pembelajaran holistik mengandung kesatuan pendidikan jasmani-ruhani, mengasah kecerdasan intelektual-spritual-emosional, kesatuan materi pendidikan teoritis-praktis, kesatuan materi pendidikan pribadi-sosialketuhanan. 
c.      Proses pendidikan holistik mengutamakan kesatuan kepentingan anak didik dan masyarakat.
d.     Evaluasi Pendidikan holistik mementingkan tercapainya perkembangan anak didik dalam bidang penguasaan ilmu, sikap, dan keterampilan. 

Paradigma holistik di atas sesuai dengan amanat Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 3, yakni konsep pendidikan yang harus dijalankan adalah bersifat holistik, karena bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mendiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Para penganut Pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar Pendidikan holistik dengan sebutan 3R’s, singkatan dari relationship, responsibility, dan reverence (Rubiyanto dan Dany Haryanto, 2010). Tujuan Pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be).

Dalam arti dapat memproleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya. Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self- actualization) yang ditandai dengan adanya:(1) Kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan (Anhar, 2015:28). 

Pembelajaran holistik sejalan dengan Rencana Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang (RPPNJP) 2005-2025 menyatakan bahwa visi 2025 adalah Menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna) dengan tetap mempertimbangkan integrasi pendidikan dan kebudayaan ke dalam satu kementerian. Makna insan Indonesia cerdas adalah insan yang cerdas komprehensif, yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis.  Cerdas spiritual adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

Inilah distingsi Pendidikan di Indonesia ketika kecerdasan spiritual menjadi kecerdasan utama yang dicapai melalui pendidikan abad 21. Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spiritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, di antaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu;(4) pembelajaran yang bermakna,; dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.

2.     Ciri-Ciri Pembelajaran Holistik

Model pembelajaran holistik sangat menekankan pendekatan pendidikan yang sangat manusiawi dan utuh. Model ini tidak sepihak atau tidak sepotong-sepotong. Pembelajaran tidak didasarkan pada aspek otak saja, atau fisik saja, atau dari rohani saja, karena segala aspek fisik maupun kejiwaan saling berkaitan dan melengkapi. Menurut Rubiyanto (2010:42-43) terdapat sembilan ciri pembelajaran holistikyaitu:
a.      Pembelajaran diarahkan agar siswa menyadari akan keunikan dirinya dengan segala potensinya. Mereka harus diajak untuk berhubungan dengan dirinya yang paling dalam (innerself), sehingga memahami eksistensi, otoritas, tapi sekaligus bergantung sepenuhnya kepada pencipta-Nya.  
b.     Pembelajaran tidak hanya mengembangkan cara berpikir analitis/linier tapi juga intuitif.  
c.      Pembelajaran berkewajiban menumbuh-kembangkan potensi kecerdasan jamak (multiple intelligences).  
d.     Pembelajaran berkewajiban menyadarkan siswa tentang keterkaitannya dengan komunitasnya, sehingga mereka tak boleh mengabaikan tradisi, budaya, kerjasama, hubungan manusiawi, serta pemenuhan kebutuhan yang tepat guna. 
e.      Pembelajaran berkewajiban mengajak siswa untuk menyadari hubungannya dengan bumi dan "masyarakat" non manusia seperti hewan, tumbuhan, dan benda benda tak bernyawa (air, udara, tanah) sehingga mereka emiliki kesadaran ekologis f. Kurikulum berkewajiban memperhatikan hubungan antara berbagai pokok bahasan dalam tingkatan trans-disipliner, sehingga hal itu akan lebih memberi makna kepada siswa.  
f.       Pembelajaran berkewajiban menghantarkan siswa untuk menyeimbangkan antara belajar individual dengan kelompok (kooperatif, kolaboratif, antara isi dengan proses, antara pengetahuan dengan imajinasi, antara rasional dengan intuisi, antara kuantitatif dengan kualitatif.  
g.     Pembelajaran adalah sesuatu yang tumbuh, menemukan, dan memperluas cakrawala.   i. Pembelajaran adalah sebuah proses kreatif dan artistik. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif.

Oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Sedangkan Miller (1991:3) mengungkapkan karakteristik pembelajaran holistik adalah sebagai berikut: 
1)    Pendidikan holistik memelihara perkembangan peserta didik yang terfokus pada intelektual, emosional, sosial, fisik, kreatifitas atau intuitif, estetika dan spiritual emosi 
2)    Menciptakan hubungan yang terbuka dan kolaboratif antara pendidik dan peserta didik 
3)    Mendorong keinginan untuk memperoleh makna dan pemahaman agar dapat menjadi bagian dari dunia dengan melakukan penekanan pada belajar melalui pengalaman hidup dan belajar di luar batas-batas kelas dan lingkungan pendidikan formal sehingga dapat memperluas wawasan. 
4)    Pendekatan ini memberdayakan peserta didik untuk berpikir secara kritis dalam konteks kehidupan mereka . Pendidikan holistik memiliki kapasitas untuk membimbing peserta didik untuk memperluas kepribadian individu serta memiliki kapasitas menciptakan individu untuk berpikir secara berbeda, kreatif dan mencerminkan nilai-nilai yang sudah  tertanam dalam dirinya. Guru diharapkan mampu mendorong peserta didik untuk berkembang menjadi lebih terdidik dan berpartisipasi sebagai anggota masyarakat. 

3.     Strategi Pembelajaran Holistik

Keberhasilan proses pembelajaran tidak hanya dilihat dari hasil belajartetapijugadilihatdariprosesnya. Proses pembelajaran merupakanupaya mengoptimalisasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik untuk mengembangkan diri secara menyeluruh. Jadi, hasilbelajar bergantung pada proses belajar siswa dan mengajar guru. Oleh karenanya guru perlu mengubah strategi pembelajaran dengan menggunakan metode dan pendekatan yang bervariasi dan lebih bersifat eksploraif, menggeser pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered)  menjadi  student centered (berpusat pada siswa) serta mendorong siswa menjadi kreatif.

Pembelajaran holistik (holistic learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemahaman informasi dan mengaitkannya dengan topik-topik lain sehinggga terbangun kerangka pengetahuan. Dalam pembelajaran holistik, diterapkan prinsip bahwa siswa akan belajar lebih efektif jika semua aspek pribadinya (pikiran tubuh dan jiwa) dilibatkan dalam pengamalan siswa. Pembelajarann holistik sejalan dengan tujuan Pendidikan untuk menghasilkan insan Indonesia yang cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis.

Oleh karena itu, rencana pembelajaran dirancang agar peserta didik dapat meraih prestasi setinggi-tingginya.  Mengutip pendapat Ginnis (2008), rencana pembelajaran sedapat mungkin bertujuan agar peserta didik mengasah

a.      Berpikir: peserta didik memproses data secara aktif, logis, lateral, imajinatif, deduktif, dsb. 
b.     Kecerdasan emosional: belajar menagani emosi dan menghubungkan dengan lainnya secara terampil, mengembangkan cirri personal positif seperti kendali diri dan nilai-nilai seperti keadilan. 
c.      Kemandirian: peserta didik menguasai sikap dan kecakapan yang membuat mereka mampu memulai mempertahankan belajar tanpa guru. 
d.     Saling ketergantungan: peserta didik terlibat dalam mutualitas yang merupakan inti dari kerja sama dan basis dari demokrasi. 
e.      Sensasi ganda: peserta didik mendapat pengalaman melalui sejumlah indera bersama-sama dari efek melihat, mendengar dan melakukan. 
f.       Fun: peserta didik memerlukan pengalaman belajar yang bervariasi seperti suasana serius dan ringan, aktif dan pasif, individual dan kelompok, terkontrol dan lepas, bising dan tenang sehingga menimbulkan kesenangan yang nyata. 
g.     Artikulasi: peserta didik membicarakan atau menulis pikiran, seringkali dalam bentuk draft sebagai suatu bagian penting dari proses penciptaan pemahaman personal. Pembelajaran holistik tidak seperti teknik brainstorming atau mind map. Secara fundamental pendidikan holistik akan mengubah cara belajar dan cara menyerap informasi.  

B.    Pembelajaran Kontekstual

1.     Konsep Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan konteks dunia nyata yang dihadapi siswa sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar.Sehingga siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan komponen utama pembelajaran yakni : konstruktivisme (constructivism), menyelidiki (inquiry), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik (authentic assessment).

Makna dari kontruktivisme adalah siswa mengkonstruksi/membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal melalui proses interaksi sosial dan asimilasi-akomodasi. Implikasinya adalah pembelajaran harus dikemas menjadi proses“mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.  Sedangkan Inti dari inquiry atau menyelidiki adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman. Oleh karena itu dalam kegiatan ini siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis Bertanya dalam pembelajaran kontekstual dilakukan baik oleh guru maupun siswa.

Guru bertanya dimaksudkan untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Sedangkan untuk siswa bertanya meupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry.  Penilaian autentik dimaksudkan untuk mengukurdan membuat keputusan tentang pengetahuan dan keterampilan siswa yangn autentik (senyatanya). Agar dapat menilai senyatanya, penilaian autentik dilakukan dengan berbagai cara misalnya penilaian penilaian produk, penilaian kinerja (performance), portofolio, tugas yang relevan dan kontekstual, penilaian diri, penilaian sejawat dan sebagainya.  

2.     Penerapan Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran dikatakan mengunakan pendekatan kontekstual jika materi pembelajaran tidak hanya tekstual melainkan dikaitkan dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari siswa di lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar, dan dunia kerja, dengan melibatkan ketujuh komponen utama seagaimana yang disebutkan di atas  sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa.  Model pembelajaran apa saja sepanjang memenuhi persyaratan tersebut dapat dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual.

Pembelajaran kontekstual dapat diterapakan dalam kelas besar maupun kelas kecil, namun akan lebih mudah organisasinya jika diterapkan dalam kelas kecil. Penerapan pembelajaran kontekstual dalam kurikulum berbasis kompetensi sangat sesuai. Dalam penerapannya pembelajaran kontekstual tidak memerlukan biaya besar dan media khusus. Pembelajaran kontekstual memanfaatkan berbagai sumber dan media pembelajaran yang ada di lingkungan sekitar seperti tukang las, bengkel, tukang reparasi elektronik, barang-barang bekas, koran, majalah, perabot-perabot rumah tangga, pasar, toko, TV, radio, internet, dan sebagainya.

Guru dan buku bukan merupakan sumber dan media sentral, demikian pula guru tidak dipandang sebagai orang yang serba tahu, sehingga guru tidak perlu khawatir menghadapi berbagai pertanyaan siswa yang terkait dengan lingkungan baik tradisional maupun modern. Seperti yang dikemukakan di muka, dalam pembelajaran kontekstual tes hanya merupakan sebagian dari teknik/ instrumen penelitian yang bermacam-macam seperti wawancara, observasi, inventory, skala sikap, penilaian kinerja, portofolio, jurnal siswa, dan sebagainya yang semuanya disinergikan untuk menilai kemampuan siswa yang sebenarnya (autentik).

Penilainya bukan hanya guru saja tetapi juga diri sendiri, teman siswa, pihak lain (teknisi, bengkel, tukang dsb). Saat penilaian diusahakan pada situasi yang autentik misal pada saat diskusi, praktikum, wawancara di bengkel, kegiatan belajarmengajar di kelas dan sebagainya.siswa.  Dalam pembelajaran kontekstual rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sebenarnya lebih bersifat sebagai rencana pribadi dari pada sebagai laporan untuk kepala sekolah atau pengawas seperti yang dilakukan saat ini.

Jadi RPP lebih cenderung berfungsi mengingatkan guru sendiri dalam menyapkan alat-alat/media dan mengendalikan langkah-langkah(skenario) pembelajaran sehingga bentuknya lebih sederhana. Beberapa model pembelajaran yang merupakan aplikasi pembelajaran kontekstual antara lain model pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran kooperatif (cooperative learning), dan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).

C.    Pembelajaran Futuristik 

1.     Konsep Pembelajaran Futuristik 

Sikap yang paling bijaksana menghadapi globalisasi adalah mempersiapkan diri sebaiknya sehingga dapat memanfaatkan peluang yang terbuka di dalamnya. Dalam persiapan itulah sektor pendidikan sangat penting untuk mencetak produk sumber daya manusia Indonesia yang dapat menghadapi arus perubahan zaman. Drucket dan Stewart (dalam Saryono, 2002) mencatat bahwa pada masa ini dan lebih-lebih pada masa depan, keberadaan, kedudukan, peranan pengetahuan menjadi hal yang strategis dan utama. 

Masa depan ditentukan oleh pengetahuan sehingga dunia bergabung dan berpijak kepada pengetahuan. Pengetahuan menjadi modal paling berharga dan paling dibutuhkan. Tanpa modal pengetahuan orang (bahkan bangsa dan negara) akan dipinggirkan dan ditinggalkan, sebaliknya dengan modal pengetahuan yang baik orang, bangsa dan negara dapat menjadi pemenang dalam berbagai aktivitas kehidupan.

Dan modal pengetahuan yang dibutuhkan dan yang cocok pada masa depan dapat diketahui dengan melihat kecenderungan-kecenderungan perubahan pengetahuan yang mengarah ke masa depan.  Sementara dalam aspek siswa, banyak perubahan yang terjadi pada mereka karena perubahan teknologi yang selalu disuguhkan pada mereka setiap hari, dan bahkan setiap saat.

Perubahan-perubahan tersebut menurut John Seely Brown (2005), antara lain adalah sebagai berikut:
a.   Mereka menyukai ada kontrol. Para siswa generasi abad ke-21 tidak menyukai terikat oleh jadwal-jadwal tradisional, dan juga tidak menyukai duduk di dalam kelas untuk belajar, atau duduk di dalam kantor untuk bekerja. Sebaliknya mereka lebih menyukai untuk belajar sendiri dengan menggunakan alat komunikasi yang bisa menjangkau dunia yang tak terbatas. Dengan caranya sendiri, mereka akan memperoleh informasi dari berbagai sumber di dunia. Dengan demikian, mereka harus dikontrol target pencapaian pengetahuannya, proses belajarnya dan hasil yang mereka dapatkan.
b.   Mereka juga menyukai banyak pilihan. Untuk mata pelajaran project, yakni tugas melakukan mini riset, mereka akan menggunakan teknologi untuk memperoleh banyak informasi. Mereka harus diberi kebebasan untuk memilih metode dan teknik-tekniknya, untuk mereka jalani dan pada akhirnya akan mampu menyiapkan laporan, sebagaimana para siswa atau mahasiswa yang melakukannya secara tradisional.
c.   Mereka adalah orang-orang yang menyukai ikatan kelompok dan ikatan sosial, hanya saja mereka membangun group melalui media sosial mereka, dan oleh karenanya kelompok mereka lintas bangsa, negara, budaya dan bahkan agama. Mereka memiliki jejaring internasional yang dinamis, dan jika mereka manfaatkan untuk menjadikan jejaringnya sebagai peer group-nya, maka mereka akan memiliki pengelaman keilmuan yang jauh lebih baik, daripada tutorial atau mentoring dalam satu kelas di sekolah tradisional.
d.   Mereka adalah orang-orang terbuka, melalui tradisi jejaringnya mereka terbelajarkan untuk menjadi terbuka, karena dalam jaringannya semua penganut agama ada dan terkelompokkan, ada yang Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan juga Kong Hu Chu, atau bahkan mungkin ada yang atheis, tapi komunikasi mereka tetap berjalan dan tidak terganggu oleh perbedaan-perbedaan tersebut. 

Oleh karena itu, trend pembelajaran dimungkinkan  dengan siswa yang sudah membawa banyak informasi yang dakses dari luar kelas termasuk dunia maya. Bisa jadi pembelajaran di kelas menjadi arena untuk mengejar informasi sains dan teknologi untuk mereka pelajari, bukan sebagai arena untuk memaparkan informasi sains dan teknologi. Kelas menjadi arena bagi para siswa mencari ilmunya sendiri sesuai dengan apa yang mereka butuhkan untuk mereka pelajari. Guru hanya memfasilitasi dengan perpustkaan kelas, modul, buku teks, serta buku-buku pendukung, dan yang terpenting akses internet, serta menyediakan beberapa PC untuk para siswa yang tidak membawa laptop atau ipad. 

2.     Trend E-Learning dalam Pembelajaran Futuristik

E-learning (pembelajaran berbasis elektronik) akan tetap ada. Seiring dengan kepemilikan komputer yang tumbuh pesat di dunia, e-learning menjadi semakin berkembang dan mudah diakses. Kecepatan koneksi internet semakin meningkat, dan dengan itu, peluang metode pelatihan multimedia yang lebih banyak bermunculan. Dengan peningkatan jaringan seluler yang sangat pesat beberapa tahun terakhir juga peningkatkan dalam telekomunikasi, kini membawa semua fitur mengagumkan dari e- learning ke smartphones (hand phone cerdas) dan peralatan portabel lainnya.

Teknologi seperti media sosial juga senantiasa mengubah pendidikan. Secara umum, belajar itu mahal, membutuhkan waktu yang panjang dan hasilnya bervariasi. E-learning telah dicoba selama bertahun-tahun untuk melengkapi cara belajar kita agar lebih efektif dan terukur. Hasilnya sekarang ada banyak alat yang membantu menciptakan kursus interaktif, menstandarisasi proses belajar dan/atau memasukkan unsur informal kedalam proses belajar formal dan sebaliknya. Beberapa trend e-learning memberikan kita pandangan bagaimana peralatan belajar dan e-learning di masa yang akan datang dibentuk. 

a.   Pembelajaran Berbasis Android 

Pembelajaran berbasis android pada dasarnya bisa disebut sebagai microlearning.  Micro-learning berfokus pada desain aktivitas pembelajaran mikro melalui tahapan mikro dalam lingkungan media digital, yang sudah menjadi realitas keseharian pekerja pengetahuan dewasa ini. Kegiatan ini dapat dimasukkan ke dalam rutinitas seharihari pelajar. Tidak seperti pendekatan e-learning "tradisional", pembelajaran mikro seringkali cenderung mendorong teknologi melalui media pendukung, yang mengurangi beban kognitif pada peserta didik.

Oleh karena itu, pemilihan objek pembelajaran mikro juga kecepatan dan waktu kegiatan pembelajaran mikro sangat penting untuk desain didaktik.  Micro-learning merupakan pergeseran paradigma penting yang menghindari kebutuhan untuk memiliki sesi belajar yang terpisah karena proses pembelajaran tertanam dalam rutinitas sehari-hari pengguna. Itulah yang menjadi alasan micro-learning  sangat cocok untuk menggunakan perangkat mobile berbasis android. 

b.   Pembelajaran Otomatis (Automatic Learning)

Automatic Learning adalah masa depan yang akan datang. Dalam sebuah adegan yang terkenal dari film The Matrix, Neo berbaring di kursi dokter gigi berteknologi tinggi dan terikat pada serangkaian elektroda liar, men-download serangkaian program latihan bela diri ke dalam otaknya. Setelah itu, dia membuka matanya dan mengucapkan katakata yang telah dikutip para geeks sejakitu: "Saya bisa Kung Fu." Jenis pembelajaran otomatis ini mungkin terdengar seperti masa depan distopia bagi banyak orang, tapi ke sanalah kita mengarah.

Dan terlepas dari pertanyaan etis yang mungkin timbul, manfaatnya bisa menjadi substansial pada banyak tingkatan jika digunakan dengan benar. Begini cara kerjanya: Anda memilih tugas yang membutuhkan kinerja tinggi korteks visual Anda,seperti menangkap bola. Kemudian temukan seseorang yang pro dalam menangkap bola, tempatkan dia di mesin fMRI dan rekam apa yang terjadi didalam otaknya saat dia memvisualisasikan menangkap bola. Kemudian Anda mendapatkan program tangkap-bola Anda, dan siap untuk belajar. Langkah selanjutnya: posisikan diri Anda ke mesin fMRI, dan kencangkan untuk menginduksi citra menangkap-bola profesional yang sudah Anda rekam sebelumnya ke otak Anda dengan menggunakan neuro feedback. Anda bahkan tidak perlu memperhatikan saat ini terjadi.

Otak Anda, bagaimanapun, menjadi terbiasa dengan pola itu - yang adalah merupakan esensi pembelajaran: otak menjadi terbiasa dengan pola baru. Riset telah menunjukkan bahwa pemutaran pola fMRI ini dapat menyebabkan peningkatan tahan lama dalam tugas yang memerlukan kinerja visual. Secara teori, jenis pembelajaran otomatis adalah hasil potensial dan kemungkinan wajah pembelajaran elearning di masa mendatang.

c.   Blended Learning

Istilah Blended Learning dalam pendidikan tinggi didefinisikan untuk pertama kalinya dalam arti sebenarnya sebagai sistem pembelajaran dalam Handbook of Blended Learning (Bonk & Graham, 2006: 5-6) sebagai yang “yang menggabungkan pengajaran tatap muka dengan instruksi yang dimediasi komputer ”Dalam bab pertama buku ini, Graham mencatat bahwa definisi ini “… mencerminkan gagasan bahwa blended learning adalah kombinasi instruksi dari dua model pengajaran dan pembelajaran yang terpisah secara historis: sistem pembelajaran F2F tradisional dan sistem pembelajaran terdistribusi”.  

SUMBER : PPG.SIAGAPENDIS.COM



LihatTutupKomentar