Ijtihad adalah level tertinggi dalam beragama. Sementara, taqlid adalah level terendah dalam beragama. Di level tertinggi, katanya, ijtihad wajib hukumnya bagi yang mampu berijtihad. “Misalnya, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal yang menghafal ribuan hadits, mengetahui tafsir Al-Qur’an, mengetahui bahasa Arab, mengetahui ijma’ ulama, mengetahui fiqih dan ushul fiqih, dan sebagainya. Orang-orang yang memiliki kompetensi ini wajib hukumnya berijtihad, Sementara, orang yang awam cukup bertaqlid pada kiai dan ustadz. Dengan kata lain, orang awam tidak dibebani repot-repot mencari dalil. Orang awam beragama di level terendah dengan cukup mengikuti apa kata kiai atau ustadz.
Bayangkan kalau orang awam itu tukang becak, penjual sayur di pasar, petani di sawah. Mereka disuruh ribet mencari dalil dengan bolak-balik Al-Qur’an dan as-Sunnah. Tentu mereka akan kesulitan dan berat menerima perintah ijtihad. Selain itu, hasil ijtihadnya tidak dapat dipertanggungjawabkan karena mereka misalnya tidak tahu bahasa Arab, Al-Qur’an dan al-Hadits,” ujarnya.
Ada tiga alasan mengapa ada pilihan-pilihan tersebut. Pertama, manusia memang diciptakan dengan kelas-kelas berbeda. Secara sosiologis, memang manusia tidaklah satu, melainkan berbeda-beda karena itu kita tidak bisa menggeneralisasikan bahwa orang lain sama dengan kita.
Kedua, adanya perintah untuk bertakwa semampu orang Islam. Ittaqullaha mas tatha’tum. Makanya, yang mampu ijtihad silakan Ijtihad. Dan yang tidak mampu ijtihad silakan ittiba’. Jika tidak mampu ittiba’, silakan taqlid. Ketiga, tidak ada pembebanan (taklif) di luar kemampuan manusia. Seorang anak kecil umur dua tahun tidak bisa dibebani membawa beras satu karung. Itu taklifu ma la yuthaqu (membebani di luar kemampuan manusia). Dengan model beragama ini, agama Islam terasa mudah diterima oleh umat. Inilah dimensi rahmatan lil alamin-nya agama Islam.