1. Kondisi dan Faktor Penyebab Pelaksanaan Belajar Aktif di Sekolah
Pengembangan pendekatan belajar aktif secara serius mulai dilakukan pada tahun 1979 yang dikenal dengan nama Proyek Supervisi Cianjur, Jawa Barat. Proyek ini dilaksanakan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Depdikbud bekerja sama dengan Ditjen Dikdasmen dan sejumlah IKIP Negeri. Proyek ini merupakan perwujudan kerja sama antara Depdikbud dengan Pemerintah Inggris, yang dikelola oleh The British Council. Cikal bakal pengembangan pendekatan belajar ini sebenarnya telah dirintis oleh P3G (Pusat Penataran Pendidikan Guru) dan sekarang menjadi P4TK, yang dimulai dari mata pelajaran IPA sekitar tahun 1970-an. Hasil-hasil Proyek Supervisi Cianjur kemudian diintegrasikan ke dalam pengembangan Kurikulum 1984. Kemudian, hasil-hasil proyek ini direplikasi di 7 kabupaten/kotamadya di Indonesia.
Bersamaan dengan itu, dilakukan pula diseminasi hasil-hasil tersebut melalui penataran yang dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Dasar, Ditjen Dikdasmen. Apa yang dilakukan di tingkat SD membawa dampak pula bagi pengembangan pendekatan belajar aktif di tingkat SMP, SMA, SMK, dan pendidikan nonformal serta madrasah walaupun dengan istilah berbeda dan dilaksanakan dengan sistem dan program yang berbeda pula. Selanjutnya, hasil-hasil pengembangan pendekatan belajar aktif diintegrasikan dalam pengembangan Kurikulum 1994. Pada tahun 1999 Direktorat Sekolah Dasar, Ditjen Dikdasmen, yang didukung narasumber dari Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, bekerja sama dengan UNICEF dan UNESCO memprakarsai rintisan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) serta partisipasi masyarakat. Program ini dikenal dengan nama MBS- PAKEM, bahkan saat ini berkembang dengan istilah PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenagkan). Program yang dimulai pada beberapa kabupaten di 3 provinsi ini segera menyebar ke provinsi-provinsi lain melalui dukungan berbagai NGO dan mendapatkan tanggapan yang positif dari berbagai dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota. Melalui upaya ini implementasi MBS-PAKEM telah masuk ke dalam sistem pendidikan nasional. Dewasa ini secara umum dapatlah dikatakan bahwa upaya pembinaan guru, kepala sekolah, dan pengawas serta pembina di bidang pendidikan daerah dalam melaksanakan belajar aktif lebih luas dilakukan pada tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama serta madrasah. Sejalan dengan penyebaran gagasan- gagasan MBS-PAKEM, Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas telah mengintegrasikan pendekatan belajar aktif ke dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004, yang kemudian dilanjutkan dengan Standar si yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mulai tahun 2006. Di Indonesia pendekatan belajar aktif sebenarnya telah cukup lama diperkenalkan pada pendidikan formal maupun nonformal, baik sekolah maupun madrasah. Secara khusus di tingkat SMP sejak tahun 2001/2002 telah mulai diimplementasikan pendekatan belajar aktif dengan nama Contextual Teaching and Learning (CTL). Di tingkat SMA, SMK, pendidikan nonformal (Program Paket A, B, dan C) dan madrasah walaupun dengan istilah yang berbeda dan belum dikembangkan secara tersistem, namun telah menekankan pula pendekatan belajar aktif.
2. Permasalahan Proses Belajar-Mengajar
Permasalahan yang dihadapi dalam proses belajar-mengajar antara lain adalah: Terbentuknya opini di masyarakat bahwa nilai ujian nasional seolah-olah menggambarkan prestasi belajar secara utuh. Demikian pula kemenangan dalam olimpiade, kontes idol, atau perlombaan olahraga dipandang sebagai cermin prestasi belajar yang utuh. Apakah ukuran-ukuran ini valid dan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi karakter, budaya dan kemajuan bangsa serta memberikan bekal bagi anak-anak kita untuk menghadapi kehidupan di masa depan?
1. Belajar yang terpisah-pisah baik antarmata pelajaran maupun antara satu kompetensi dengan kompetensi lainnya.
2. Proses belajar-mengajar tidak berpusat pada peserta didik.
3. Proses belajar-mengajar yang belum mampu mendorong timbulnya kreativitas peserta didik.
4. Terbatasnya sumber daya yang tersedia.
5. Banyak peserta didik berasal dari keluarga atau orang tua yang masih menunjukkan rendahnya kesadaran mengenai pentingnya pendidikan, sehingga dukungan pada peserta didik masih terbatas.
6. Banyak guru belum terlatih secara baik dalam melaksanakan belajar aktif.
7. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (Calistung) peserta didik di SD dan MI umumnya masih lemah, demikian pula keterampilan berbahasa peserta didik pada jenjang pendidikan menengah tampaknya juga masih banyak masalah.
8. Banyak peserta didik yang watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian serta sistem berpikirnya belum sejalan dengan moral dan norma keindonesiaan.
Guna menanggulangi permasalahan tersebut, salah satunya perlu diterapkan pendekatan belajar aktif. Melalui pendekatan ini diharapkan peserta didik memiliki bekal kemampuan kreatif dan inovatif serta berbudaya yang pada gilirannya menggambarkan karakter bangsa. Melalui upaya ini, kita berusaha menciptakan citra baru tentang satuan pendidikan berprestasi sebagai sekolah yang mampu membuat para peserta didiknya kreatif dan inovatif, berbudaya serta mampu menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan yang kesemuanya itu merupakan pengembangan karakter bangsa yang diinginkan bersama.
Guna meningkatkan kemampaun profesional guru, pengawas, dan para pembina endidikan di semua lini diperlukan pelatihan secara berkesinambungan agar mereka lebih kreatif dan inovatif dalam melaksanakan tugasnya. Khusus bagi guru, pelatihan seperti ini diharapkan mampu mengembangkan beragam kegiatan belajar di masing-masing satuan pendidikannya yang mengaktifkan dan membuat peserta didik kreatif dan inovatif.
Pentingnya Belajar Aktif
Penerapan pendekatan belajar aktif yang ditunjang pelaksanaan manajemen berbasis sekolah memiliki dasar hukum yang bersumber dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perundang-undangan ini selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan berikut ini. Proses belajar-mengajar pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan emandirian sesuai dengan minat, bakat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. (Pasal 19, Ayat 1).
Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. (Pasal 49, butir 1). Pendekatan belajar aktif dewasa ini amat dominan dilaksanakan di berbagai negara maju dan juga diikuti oleh banyak negara berkembang. Anutan pendekatan ini pada dasarnya dipengaruhi oleh aliran Konstruktivisme dalam teori belajar.
Perkembangan teori belajar berdasarkan riset selama hampir 100 tahun secara bertahap mengubah paradigma tentang bagaimana seharusnya guru mengajar dan/atau peserta didik belajar. Rentangan riset itu terutama dimulai dari eksperimen Ivan Pavlov (1849 – 1936) dengan air liur anjing yang diberi stimulus. Kemudian, Jean Piaget (1896 – 1980) mencapai ‘puncak’ riset melalui temuannya tentang perkembangan kemampuan kognitif manusia. Temuan Piaget kemudian diperkaya dengan gagasan Lev Vygotsky (1896 – 1936) tentang perkembangan kognitif anak dalam hubungannya dengan bahasa dalam konteks historis, kultural, dan sosial tempat anak hidup. Temuan teori yang dewasa ini amat populer dan berdampak luas pada skala internasional adalah teori belajar konstruktivisme. Konstruktivisme memantapkan teori-teori belajar sebelumnya dan memberikan pencerahan bagi peralihan dari konsep belajar yang berpusat pada guru (teacher-centred learning) ke arah konsep belajar yang berpusat pada peserta didik (student-centred learning). Orientasi yang berpusat kepada peserta didik pada akhirnya diwujudkan dalam pendekatan belajar aktif (active learning approach). Ini adalah paradigma yang mempengaruhi beragam inovasi pendidikan yang dilakukan di berbagai penjuru dunia sejak awal tahun 1970 hingga sekarang.
Teori-teori belajar yang ditemukan pada akhirnya berkulminasi pada teori konstruktivisme. Teori konstruktivisme pada dasarnya:
Menyesuaikan aplikasi teori dengan cara kerja otak seperti yang dilaporkan oleh temuan riset neurosains.
Mengadopsi hasil riset biologi tentang cara kerja tubuh.
Mengadopsi temuan riset fisika tentang alam semesta yang bersinergi sebagai satu
sistem.
Menyelaraskan aplikasi nilai-nilai dan pandangan historis, kultural, dan sosial, terutama melalui bahasa, dalam penerapan belajar aktif, baik dari hasil riset ilmu- ilmu sosial maupun dari segi konsepsi filsafat, teologi agama, dan humaniora.
Mengadaptasi temuan dan praksis yang relevan dari dunia kerja.
Penerapan teori belajar konstruktivisme secara kumulatif tampil dalam istilah active learning (belajar aktif). Temuan teori lanjutan dan hasil uji coba penerapan dalam proses belajar-mengajar tampil dengan beragam istilah, seperti brain-based learning, multiple intelligences learning approach, cooperative learning, contextual teaching and learning, dan quantum learning. Penerapannya sebenarnya hanya menekankan salah satu aspek, unsur, atau bidang khusus belajar aktif. Hampir semuanya bernaung di bawah paradigma belajar aktif.
Ada 5 teori belajar yang berkembang, yaitu teori behaviorisme, teori kognitivisme,
teori rekonstruktivisme, teori belajar informal dan post-modern , dan teori-teori belajar yang lain. Dari teori behaviorisme dan teori kognitivisme, pendekatan belajar aktif yang dikembangkan menurut teori rekonstruktivisme mengadopsi gagasan-gagasan yang relevan dengan tuntutan dan prasyarat pendekatan belajar aktif ini. Pandangan mengenai anak menurut aliran konstruktivisme dikemukakan pada gambar berikut ini.
C. Pengertian Belajar Aktif
Gagasan-gagasan pokok pendekatan belajar aktif pada prinsipnya mengikuti gagasan inti teori belajar konstruktivisme. Perkembangan dalam terapan melahirkan paradigma baru, yaitu paradigma belajar aktif. Amatilah gambar berikut ini.
Sejumlah gagasan pokok dalam penerapan paradigma belajar aktif dikemukakan berikut ini.
1. Mengkonstruksi Makna
Konstruktivisme menandaskan bahwa manusia mengkonstruksi (membangun) makna dari struktur pengetahuan aktual yang dimiliki. Teori ini membimbing pendekatan dalam mendidik anak. Konstruktivisme menekankan kegiatan belajar yang berkembang melalui dukungan fasilitator. Fasilitator memulai dan mengarahkan peserta didik agar mampu mengkonstruksi makna konsep-konsep yang baru.
Jean Piaget sebagai pelopor teori konstruktivisme memandang bermain sebagai bagian penting dan perlu bagi perkembangan kognitif anak. Ia meneliti dan memberikan landasan ilmiah kepada pandangannya. Sekarang teori konstruktivisme tidak hanya diterapkan di lingkungan pendidikan formal dan perguruan tinggi tetapi juga pada kegiatan belajar pendidikan nonformal dan informal.
Piaget menjelaskan mekanisme internalisasi pengetahuan anak. Ia menyatakan, melalui proses akomodasi (accommodation) dan asimilasi (assimilation), individu mengkonstruksi pengetahuan baru dari pengalamannya. Ketika melakukan asimilasi, individu memasukkan pengalaman baru ke dalam skema (kerangka) yang sudah ada tanpa mengubah skema itu. Jika pengalaman individu bertentangan dengan representasi internal yang sudah ada, ia dapat mengubah persepsi pengalamannya agar cocok dengan representasi internal.
Akomodasi adalah proses membentuk kembali representasi mental tentang dunia luar agar cocok dengan pengalaman baru. Akomodasi adalah mekanisme yang mengubah kegagalan belajar ke arah yang benar.
Misalnya, Thomas Ameriko yang lahir dan besar di Timor Timur merantau ke Pulau Jawa, ke Kota Malang. Di Dili ia sudah memiliki pengalaman naik bus. Ia telah memiliki konsep tentang apa itu bus. Sesudah satu bulan di Malang, tiba-tiba ia melihat kereta api lewat. Ia langsung berteriak, “Eh, itu bus kok bergandeng- gandeng”. Ia melakukan proses asimilasi. Konsep bus ia terapkan terhadap kereta api karena sebelumnya ia tak memiliki konsep tentang apa itu kereta api. Kemudian, temannya menjelaskan, “Bukan, itu bukan bus. Itu yang namanya kereta api”. Ia lalu mengubah konsep kereta api sebagai bus yang bergandeng-gandeng menjadi konsep kereta api yang benar. Ia melakukan proses akomodasi setelah mengalami ‘kegagalan’ belajar.
Contoh yang lain dikemukakan berikut ini. Ketika Eko (nama kreasi) mengikuti kursus pendidikan di Cambridge, Inggris, suatu malam bertiup angin agak kencang. Eko membuka jendela kamar dan melihat ribuan ‘kapas’ beterbangan di luar. Ia menduga, wah, ada truk di mana yang membawa berkarung-karung kapas dan karung-karung itu terbuka sehingga ribuan kapas beterbangan di udara. Pada tahap ini Eko melakukan proses asimilasi dengan pengetahuan tentang kapas yang diperolehnya dari pengalaman di Indonesia. Pada pagi hari esoknya, Eko pergi ke luar dan betapa takjubnya, ia melihat hamparan salju di seluruh halaman gedung. Ia serentak berpendapat, ah ini yang namanya salju. Berarti, ‘kapas-kapas’ beterbangan yang ia lihat tadi malam itu sebenarnya butir-butir salju yang turun ke tanah. Ia lalu melakukan proses akomodasi dan hasilnya adalah mengubah pendapatnya tentang kapas-kapas yang beterbangan ke arah pandangan yang benar tentang salju. Eko belajar melalui pengalaman, dari proses asimilasi pengetahuan sebelumnya yang sesuai dengan konteks Indonesia ke arah pandangan baru berdasarkan pengalaman baru melalui proses akomodasi. Berikut ini dikemukakan sebuah contoh dari percobaan IPA anak-anak SD Kelas IV. Topik yang sedang dipelajari adalah “Melayang, terapung, dan tenggelam”. Sebelum melakukan percobaan tiap kelompok anak membuat hipotesis untuk tiap benda yang hendak dimasukkan ke dalam air, apakah melayang, terapung, atau tenggelam. Ternyata semua hipotesis yang dibuat terbukti benar. Misalnya, batu tenggelam, paku yang diikat dengan potongan kayu kering melayang, dan kertas terapung. Pembenaran hipotesis ini sesuai dengan pengetahuan yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini mereka melakukan asimilasi dengan kerangka pengetahuan (skemata) yang telah diperoleh sebelumnya. Kemudian guru menugaskan anak-anak memasukkan plastisin (dapat juga dipakai lilin malam). Hipotesis yang dibuat bahwa benda itu akan tenggelam ternyata benar. Namun, kemudian guru meminta anak-anak mengubah bentuk plastisin itu dari bentuk gumpalan menjadi bentuk yang pipih, rata, dan lebar. Ketika mereka memasukkannya ke dalam air dalam posisi mendatar (horisontal), ternyata plastisin itu terapung. Anak-anak heran dan tidak tahu mengapa. Guru lalu bertanya mengapa hal ini bisa terjadi, apa penyebabnya. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan, ternyata dari hasil diskusi mereka sampai kepada kesimpulan, bahwa plastisin yang pipih, rata, dan lebar itu mendapatkan tekanan ke atas dari air dan karena permukaan itu lebar jumlah tekanan dari air itu cukup banyak. Akibatnya, plastisin itu terapung. Untuk membuktikan kesimpulan ini, mereka mencoba dengan benda yang lain, seperti mistar (penggaris) plastik dan potongan seng yang dimasukkan dalam posisi mendatar. Setelah yakin, anak-anak mengubah pendapatnya, bahwa banyak benda yang walaupun berat tetapi jika berbentuk pipih, rata, dan lebar dimasukkan ke dalam air akan terapung. Pada tahap ini anak-anak melakukan akomodasi terhadap kerangka pikiran (skemata) yang telah terbentuk sebelumnya. Mereka mengubah pendapatnya setelah mendapatkan pengalaman baru melalui percobaan.
Kegiatan dalam pelatihan:
PROSES INTERNALISASI PENGETAHUAN
Pertanyaan kepada peserta:
Dapatkah Anda memberikan contoh konkret dari
lingkungan Anda mengenai proses internalisasi
pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi
menurut teori Jean Piaget?
2. Pentingnya Latar belakang dan Budaya Peserta Didik
Konstruktivisme sosial memandang setiap peserta didik sebagai individu yang unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik. Peserta didik juga dilihat sebagai individu yang kompleks dan multidimensional. Konstruktivisme sosial tidak hanya mengakui keunikan dan kompeksitas peserta didik tetapi juga benar-benar mendorong, menggunakan, dan memberikan penghargaan kepadanya keunikan dan kompleksitas sebagai bagian integral proses belajar (Wertsch 1997).
Konstruktivisme sosial mendorong peserta didik mencapai versinya sendiri tentang kebenaran, yang dipengaruhi latar belakang dunia fisik, lingkungan budaya, atau pandangannya tentang dunia. Perkembangan historis dan sistem simbol, seperti sistem bahasa, logika, dan matematika, diwarisi peserta didik sebagai warga budaya tertentu dan hal ini dipelajarinya sepanjang hayatnya. Ia juga menekankan pentingnya hakikat interaksi sosial peserta didik dengan warga masyarakat yang terdidik. Tanpa interaksi sosial itu, tak mungkin tercapai makna sosial dari sistem simbol yang penting dan belajar bagaimana menggunakannya. Anak kecil mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui interaksi dengan anak-anak yang lain, orang dewasa, dan dunia fisik. Pentinglah memperhatikan latar belakang dunia fisik dan lingkungan budaya dan sosial peserta didik melalui proses belajar, karena latar belakang ini juga membantu membentuk pengetahuan dan kebenaran yang diciptakan, ditemukan, dan dicapai peserta didik dalam proses belajar (Wertsch, 1997).
3. Tanggunng Jawab Belajar addalah Peseerta didik dan Peserrta Didik mmenjadi
Peserta Didik Pemmbelajar ataau Peserta Didik penggajar Tanggunng jawab beelajar selaluu harus semaakin berganntung kepadda peserta ddidik dan ditekankkan agar peserta didik mengkonsttruksi pengertian atau konsepnyaa sendiri. Untuk ittu, perlu dittempuh pemmberian perran kepada peserta diddik menjadii peserta didik pemmbelajar atau peserta ddidik pengaajar. Jika peeserta didik “mengajar”” teman- temannyya, misalnya sebagai ttutor sebayya, ia akan menjadi ssangat aktiff untuk memperssiapkan dirri agar maampu menggajar temann-temannya,, misalnya melalui usaha meemahami mmateri/kompetensi yangg akan diajarrkan. Dengan demikian, ppeserta didiik tidak hannya mencermminkan dann merefleksiikan apa yang diibaca. Peseerta didik mencari mmakna dan akan menncoba mennemukan regularittas dan ketteraturan ddalam berbaagai peristiiwa dunia, bahkan wwalaupun informassi belum lenngkap (Von Glasersfeldd, 1989)
4. Motivasi Belajar
Motivasi belajar peserta didik amat bergantung kepada rasa percaya diri atau potensi belajarnya (Von Glasersfeld, 1989) dan kemampuan guru mengantar peserta didik mengenali bakat dan potensi dirinya (motivasi ekstrinsik) sehingga tumbuh keyakinan untuk percaya kepada keunikan dirinya dan mampu mengekspresikannya (motivasi intrinsik, Champion Mind). Perasaan kompeten dan kepercayaan kepada potensi memecahkan masalah baru berasal dari pengalaman pertama menguasai masalah di masa lampau dan lebih kuat daripada pengakuan eksternal dan motivasi ekstrinsik mana pun (Prawat and Floden, 1994). Ini berkaitan dengan pandangan Vygotsky (1978) tentang zona perkembangan terdekat (zone of proximal development), di mana anak ditantang untuk sedikit melangkah maju dari tingkat perkembangannya sekarang. Melalui pengalaman sukses enyelesaikan tugas yang menantang, anak memperoleh rasa percaya diri dan motivasi untuk menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Menurut pandangan Rousseau (1762) ... masalah pendidikan yang terbanyak adalah masalah motivasi, karena para guru mencoba mempercepat berbagai hal. Mereka berbicara tentang geografi sebelum anak tahu jalan di sekitar belakang rumahnya. Mereka mengajar sejarah sebelum anak mengerti sesuatu tentang motivasi orang dewasa.... Akan jauh lebih baik, membiarkan pertanyaan-pertanyaan muncul secara alamiah .... Bila seorang anak telah termotivasi sendiri, guru tidak dapat menahan dia belajar. (Dikutip dari The Rise and Fall of Childhood, oleh C. John Sommerville, 1990). Sembilan per sepuluh pendidikan adalah memberi dorongan. (Anatole France 1844- 1924).
5. Peran Pengajar
Guru sebagai fasilitator Menurut pendekatan konstruktivisme sosial, instruktur harus mengadaptasi peran fasilitator dan bukan peran sebagai guru. Lingkungan belajar harus juga didesain untuk mendukung dan menantang peserta didik untuk berpikir (Di Vesta, 1987). Walaupun dituntut membuat peserta didik merasa memiliki masalah dan proses solusinya, tidaklah berarti bahwa aktivitas atau solusi apa pun sudah cukup. Tujuan yang kritis adalah mendukung peserta didik menjadi pemikir yang efektif. Ini bisa dicapai jika guru berperan jamak, seperti menjadi konsultan dan pelatih.
6. Hakikat Proses Belajar
Kegiatan belajar itu aktif; kegiatan belajar adalah proses individual dan proses sosial. Belajar adalah proses aktif peserta didik menemukan fakta, prinsip, dan konsep sendiri. Untuk itu, pentinglah mendorong peserta didik berasumsi (menebak atau berhipotesis) dan berpikir secara intuitif (Brown dkk., 1989; Ackerman, 1996). Dalam kenyataan, realitas bukanlah sesuatu yang dapat ditemukan karena tidak ada sebelumnya. http://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/komponen-kurikulum-pendidikan-islam.html Kukla (2000) membuktikan bahwa realitas dikonstruksi oleh kegiatan individu sendiri dan bahwa orang-orang,
bersama-sama sebagai warga suatu masyarakat, menemukan ciri-ciri realitas (dunia).
Penganut konstruktivisme yang lain setuju dan menekankan bahwa individu membangun makna melalui interaksi satu sama lain dan dengan lingkungan tempat mereka hidup. Dengan demikian, pengetahuan adalah produk manusia dan dikonstruksi secara sosial dan budaya (Ernest, 1991; Prawat and Floden, 1994). McMahon (1997) setuju bahwa belajar adalah suatu proses sosial. Ia menyatakan bahwa belajar bukanlah proses yang hanya terjadi
dalam pikiran individu, bukanlah suatu perkembangan perilaku yang pasif yang dibentuk oleh kekuatan eksternal. Belajar yang bermakna terjadi ketika individu terlibat dalam aktivitas sosial.
Vygotsky (1978) juga menekankan konvergensi elemen-elemen sosial dan praktis dalam belajar. Momen yang amat signifikan dalam lintasan perkembangan intelektual terjadi ketika berbicara (speech) dan kegiatan praktik, dua jalur perkembangan yang sebelumnya sepenuhnya tak saling tergantung (independen), berkonvergensi. Melalui kegiatan praktik peserta didik mengkonstruksi makna dalam dirinya (pada tingkat intrapribadinya), sedangkan berbicara menghubungkan makna ini dengan dunia antarpribadi yang di-share oleh peserta didik dan budayanya.
Kolb memaparkan 6 ciri khas experiential learning:
a. Belajar paling baik dipandang sebagai suatu proses, bukan sebagai hasil belajar (outcomes).
b. Belajar adalah suatu proses berkesinambungan berdasarkan pengalaman.
c. Belajar menuntut resolusi konflik antara dua cara adaptasi terhadap dunia yang bertentangan secara dialektik (diperdebatkan).
d. Belajar adalah suatu proses holistik adaptasi terhadap dunia.
e. Belajar melibatkan transaksi antara pribadi dan lingkungan.
f. Belajar adalah suatu proses menciptakan pengetahuan, yang merupakan hasil transaksi antara pengetahuan sosial dan pengetahuan personal.
D. Prinsip-prinsip Belajar Aktif
Prinsip-prinsip belajar aktif dikemukakan pada gambar berikut ini.
1. Pola Mengajar Duduk, Dengar, Catat dan Hafal tidak Dapat Dipertahankan Hasil penelitian memperlihatkan bahwa metode ceramah yang amat dominan dalam pola mengajar tradisional amat tidak efektif. Apa yang masuk melalui ”telinga kiri” peserta didik akan segera keluar melalui ”telinga kanan”. Yang lebih penting adalah guru berupaya menugaskan peserta didik mengerjakan hal-hal nyata melalui berbuat, melakukan, sambil dikombinasi dengan apa yang peserta didik dengar, baca, amati, diskusikan, dan presentasikan.
Di samping itu, cara kerja otak ternyata juga tidak mendukung pola belajar yang banyak ceramah.
2. Interaksi Dinamis antara Tugas, Guru, dan Peserta Didik
Guru dan peserta didik bersama-sama terlibat secara setara dalam proses belajar (Holt and Willard-Holt, 2000). Ini berarti pengalaman belajar, baik yang bersifat subjektif maupun yang objektif dan budaya, nilai-nilai, dan latar belakang guru, menjadi bagian esensial dalam interaksi antara peserta didik dan tugas dalam membentuk makna. Atau, peserta didik membandingkan versi kebenarannya dengan versi guru dan rekan peserta didik yang lain untuk mendapatkan versi kebenaran yang baru dan diuji secara sosial (Kukla, 2000). Tugas atau masalah adalah penghubung antara guru dan atau peserta didik (McMahon, 1997). Ini menciptakan interaksi yang dinamis antara tugas, guru, dan peserta didik. Ini berarti bahwa peserta didik dan guru harus mengembangkan kesadaran tentang pandangan pihak lain dan kemudian melihat kembali kepercayaan, standar, dan nilai, yang sekaligus bersifat subjektif dan objektif (Savery, 1994).
Beberapa pendekatan belajar yang memungkinkan belajar interaktif ini meliputi pengajaran resiprokal, peer collaboration, cognitive apprenticeship , dan pengajaran berbasis masalah, pengajaran jangkar (anchored instruction) dan pendekatan lain yang melibatkan belajar dengan orang lain. Kerja sama antarpeserta didik Para peserta didik yang memiliki keterampilan dan latar belakang yang berbeda bekerja sama dalam tugas dan diskusi untuk mencapai pemahaman bersama yang di-share untuk mencapai kebenaran dalam suatu bidang khusus (Duffy and Jonassen, 1992).
3. Pentingnya Konteks
Konteks tempat terjadi aktivitas belajar adalah sentral dalam belajar (McMahon, 1997). Pengetahuan yang terpisah dari konteks (decontextualised knowledge) tidak memberikan keterampilan menerapkan pemahaman dalam tugas yang otentik, karena individu tidak menangani konsep dalam lingkungan yang kompleks dan mengalami interelasi yang kompleks dalam lingkungan itu yang menentukan bagaimana dan di mana konsep digunakan. Belajar dalam situasi yang otentik tempat peserta didik berperan serta dalam kegiatan yang langsung relevan dengan aplikasi belajar dan yang berlangsung dalam budaya yang mirip dengan setting yang diterapkan (Brown et al., 1989).
4. Keterpaduan Proses Belajar-mengajar dan Penilaian
Hakikat belajar yang interaktif, objektif, dan transparan diperluas sampai ke proses penilaian. Penilaian dilihat sebagai proses dua arah yang melibatkan interaksi antara guru dan peserta didik, sehingga merupakan bagian tak terpisahkan dari program pembelajaran dan harus dapat memberikan dampak yang positif terhadap pengembangan kompetensi sasaran (Holt and Willard-Holt, 2000). Oleh karena itu, dalam melaksanakan penilaian guru sebaiknya memandang penilaian dan kegiatan pembelajaran secara terpadu sehingga penilaian berjalan bersama-sama dengan proses belajar-mengajar. Dengan demikian, penilaian dilakukan selama proses belajar-mengajar berlangsung.
Guru harus melihat penilaian baik pengetahuan, keterampilan maupun perilaku sebagai suatu proses berkesinambungan dan interaktif yang menilai pencapaian mutu pengalaman belajar dan kompetensi peserta didik dalam pelajaran. Umpan balik yang diciptakan dalam proses penilaian menjadi dasar untuk perkembangan selanjutnya.
5. Seleksi, Ruang Lingkup (scope), dan Urutan dalam Mata Pelajaran
Pengetahuan harus ditemukan sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi Pengetahuan sebaiknya tidak dibagi-bagi ke dalam mata-mata pelajaran dan kompartemen (kavling) yang berbeda-beda, tetapi harus ditemukan sebagai satu keseluruhan yang terintegrasi (McMahon, 1997; Di Vesta, 1987).
Belajar aktif dapat dilakukan melalui proses belajar yang terintegrasi yang memberikan peluang untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif karena otak peserta didik lebih mudah memahami keseluruhan daripada bagian-bagian dan karena perkembangan jumlah mata pelajaran di satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah cukup banyak. Sedangkan dewasa ini kecenderungan di dunia adalah mengintegrasikan mata-mata pelajaran yang terpisah-pisah. Karena itu, digunakanlah pendekatan integrasi. Pendekatan ini pun kini semakin banyak diterapkan di perguruan tinggi. Berikut ini dikemukakan contoh pengintegrasian berbagai mata pelajaran ke dalam tema “Hutan”.
Pendekatan integrasi menitikberatkan pentingnya konteks dalam penyajian belajar (Brown dkk., 1989). Dunia tempat peserta didik belajar tidak didekati sebagai suatu bentuk mata-mata pelajaran yang berbeda, tetapi sebagai suatu kumpulan amat banyak fakta, masalah, dimensi, dan persepsi yang kompleks (Ackerman, 1996). Sebagai informasi dapatlah dikemukakan, bahwa di SLB C (tunagrahita) pada umumnya sampai dengan kelas-kelas tinggi diterapkan pendekatan tematik. Selain itu, dalam proses belajar-mengajar warga belajar pada pendidikan nonformal Program Paket A, B, dan C umumnya diterapkan pendekatan tematik. Demikian pula, di SMK untuk mata-mata pelajaran produktif sering diterapkan pendekatan terpadu dalam proses belajar-mengajar.
6. Pendekatan Belajar Aktif Mengadopsi Prinsip Kerja Otak
a. Prinsip keberhasilan
Tiap individu dilahirkan untuk sukses, bukan untuk gagal. Otak manusia tidak dirancang untuk melakukan trial and error, mencoba dan membuat kesalahan. Otak individu adalah sebuah mekanisme trial and success (coba dan berhasil). Pengajaran tradisional cenderung menekankan disiplin kaku. Kesalahan dan hukuman fisik membuat kegiatan belajar menakutkan dan terasa sulit. Sebaliknya, pendekatan belajar aktif membuat kegiatan belajar menyenangkan. Perubahan dari penekanan pada kesalahan ke penekanan pada keberhasilan membawa implikasi terhadap pengembangan konsepsi pendekatan belajar aktif.
b. Prinsip meniru
Meniru adalah salah satu cara terbaik untuk belajar. Aktivitas meniru yang terbaik adalah menambahkan interpretasi sendiri kepada hal yang ditiru.
Dengan demikian, bisa timbul pengembangan dari meniru, lahir sesuatu tambahan baru yang menunjukkan kreativitas.
c. Prinsip sinergi
Otak kita itu sinergis, berkesinambungan. Gambaran: 1+1=2+ Dalam sistem ini, ”2+” bisa sama dengan 3, 5, 224, beberapa juta, atau tak terbatas. Karena itu, otak manusia memiliki potensi yang tak terbatas.
d. TEFCAS
Otak manusia bekerja berdasarkan prinsip TEFCAS, yang akan dipakai individu sendiri sepanjang hayat.
e. Keuletan
Keuletan (tahan banting) adalah kecerdasan yang vital, mesin belajar, pemikiran, dan kreativitas. Ia adalah huruf T (Trial) dalam TEFCAS. Biografi tokoh-tokoh terkenal di berbagai bidang mengungkapkan, keuletan adalah kemampuan untuk bangkit ketika jatuh, komitmen yang tak dapat diganggu gugat untuk tetap berjuang mencapai tujuan tanpa peduli rintangan, karakteristik tunggal yang membuat orang menjadi emimpin yang sukses.
f. Pemikiran radial
Otak bekerja seperti gelombang nuklir atau pancaran cahaya dari bola lampu. Otak bekerja dengan cara multi-ordinasi radial (berkaitan dengan banyak hal/ melakukan banyak asosiasi, menghubungkan satu hal dengan berbagai hal, antarberbagai hal dan berkembang tak terbatas). Prinsip berpikir radial, antara lain melalui aktivitas berpikir menghubungkan satu benda dengan ribuan benda lain, satu objek dengan ribuan objek yang lain, satu kata dengan ribuan kata yang lain, satu angka dengan ribuan angka yang lain, satu gambar atau rupa dengan ribuan gambar atau rupa yang lain, satu nada dengan nada-nada yang lain, dan satu citarasa dengan ribuan citarasa yang lain akan mengembangkan daya kreativitas siapa saja secara tak terbatas.
g. Otak sebagai mekanisme pencari kebenaran
Otak adalah mekanisme pencari kebenaran. Alasannya adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup individu. Jika bayi atau individu tidak tahu bahwa api bisa membakar, pisau bisa memotong jari, dan mobil bisa menabrak orang, berkuranglah kesempatan untuk mempertahankan hidup.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika hampir semua tokoh jenius terkenal memandang tujuan hidup mereka sebagai “pencari kebenaran” baik dalam bidang ilmu, seni, filsafat, agama, teknologi. Tidak mengherankan jika banyak tokoh pahlawan, tokoh berjasa, tokoh suci, pemimpin negara dan masyarakat sering mengatakan, bahwa tujuan perjuangannya adalah mencari atau menegakkan kebenaran.
7. Kreativitas sebagai Fokus Pendekatan Belajar Aktif
Belajar aktif melibatkan penggunaan pancaindera. Makin banyak indera yang digunakan makin efektif kegiatan belajar karena peserta didik akan lebih mudah menangkap apa yang dipelajari. Penggunaan lebih banyak indera saja tidaklah ukup. Baik untuk memanfaatkan pancaindera maupun untuk melancarkan kinerja otak, pendekatan belajar aktif mempersyaratkan gerakan. Karena itu, kebanyakan kegiatan belajar aktif melibatkan tindakan (action) peserta didik. Gerakan yang berfungsi memperlancar kinerja otak diwujudkan dalam bentuk tindakan atau action dalam pendekatan belajar aktif.
Hasil-hasil riset tentang otak pada akhirnya sampai kepada kesimpulan, bahwa kreativitas adalah entitas (ujud) yang mengkombinasikan dan mensinergikan kinerja belahan otak kiri dan kanan otak manusia. Karena itu, dalam penerapan pendekatan belajar aktif, kreativitas selalu menjadi fokus aplikasi.
Kreativitas mensinergikan fungsi dan aktivitas belahan kiri dan kanan otak. Dalam praksis di sekolah, para guru dilatih dan didorong agar menerapkan beragam
aktivitas guna mengembangkan potensi kreatif peserta didik. Kreativitas adalah fokus belajar aktif yang dilakukan melalui penciptaan ruang bagi peserta didik untuk berkreasi. Kreativitas utamanya mengandaikan tidak ada penilaian (judgment ) salah-benar dari guru karena kepada peserta didik diberi ruang kebebasan berekspresi. Guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing peserta didik untuk menemukan makna dan mengembangkan kompetensi.
Gambaran umum perbandingan pengajaran konvensional dan belajar aktif
Perbandingan antara pengajaran konvensional (tradisional) dan pengajaran yang berciri belajar aktif dikemukakan pada tabel berikut ini.
Perbandingan pengajaran konvensional dan belajar aktif
Pengajaran konvensional Belajar aktif
Berpusat kepada guru (teacher- centred) Berpusat kepada peserta didik (student- centred)
Kurikulum berbasis materi (konten, pengetahuan) Kurikulum berbasis kompetensi
Pengetahuan dangkal (surface knowledge) Pengetahuan mendalam (deep knowledge)
Kegiatan belajar pasif, berpikir linier, tak efektif, membosankan Kegiatan belajar aktif, kreatif, efektif, menyenangkan
Sumber belajar: guru dan buku pelajaran Sumber belajar bervariasi, termasuk lingkungan
Pengorganisasian kelas: duduk berbaris Pengorganisasian kelas: bervariasi, dan bisa diatur duduk berkelompok
Pajangan: gambar pahlawan, daftar absensi, poster buatan pemerintah Pajangan bervariasi, terutama hasil pekerjaan peserta didik (2 dimensi, 3 dimensi)
Portofolio tak diterapkan Portofolio diterapkan dan dipakai untuk penilaian
Pengajaran untuk peserta didik kelas dan jenjang yang sama (monograde teaching) Pengajaran untuk peserta didik multikelas dan multijenjang (multigrade teaching) dapat diterapkan
Struktur bab buku pelajaran: 90% informasi + 10% soal latihan dan evaluasi Struktur bab buku pelajaran: Informasi – kegiatan – informasi – kegiatan, dst.
. Ilustrasi amat kurang dan monoton Banyak ilustrasi beragam.
Penilaian: dominansi tes tertulis, terutama pilihan ganda dan esai Penilaian: tes, penilaian karya peserta didik 2 dan 3 dimensi, penilaian unjuk kerja (performance ), penilaian perilaku
Umpan balik kepada peserta didik jarang diberikan Umpan balik kepada peserta didik sering dilakukan
Ujian nasional: dominasi tes pilihan ganda Ujian nasional: tes pilihan ganda, esai, data-pertanyaan, ujian praktik
E. Unsur-Unsur Belajar Aktif
Hal penting dalam pelaksanaan belajar aktif adalah peserta didik dibimbing untuk mengalami (mendapatkan pengalaman melalui observasi (pengamatan dengan pancaindera) dan berbuat atau melakukan sambil berdialog dengan diri sendiri (refleksi) dan dengan orang lain (melalui interaksi yang mencakup komunikasi). Karena itu, komponen belajar aktif yang saling berkaitan adalah observasi, berbuat, interaksi dan komunikasi.
Berdasarkan komponen-komponen ini prinsip-prinsip belajar aktif diterapkan. Dalam penerapan konkret dalam proses pendidikan dan pengajaran, prinsip-prinsip disertai komponen-komponen belajar aktif melahirkan unsur-unsur pendekatan belajar aktif.
1. Dari Pendekatan Berpusat pada Guru ke Berpusat pada Peserta Didik
Orientasi utama pendekatan belajar aktif adalah mengalihkan pola belajar guru yang berpusat pada guru (teacher-centred approach) ke pola belajar yang berpusat pada peserta didik (student-centred approach).
2. Keterampilan Berpikir (thinking skills)
Sejak Benjamin Bloom memperkenalkan taksonomi domain kognitif dan afektif pada pertengahan tahun 1960-an, dunia pendidikan cenderung terpaku kepada pola pengembangan kurikulum, pelaksanaannya dalam proses belajar-mengajar, dan penilaian yang amat behavioristik. Banyak ahli berusaha memperbaiki tingkatan keterampilan berpikir Bloom.
Dewasa ini, tingkatan keterampilan berpikir sudah diramu ke tingkatan keterampilan berpikir kompleks. Salah satu acuan yang sering diikuti adalah Matriks Gubbin. Keterampilan berpikir tingkat kompleks adalah jenis pemahaman yang memerlukan berpikir mendasar (basic thinking) dan mempunyai ciri-ciri: menuntut berbagai kemungkinan jawaban, penilaian dari orang yang berpartisipasi, dan penempatan makna pada suatu situasi. Jenis berpikir kompleks termasuk berpikir kritis, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah.
Cara belajar pasif tak akan mampu mendorong dan membina peserta didik sampai mencapai keterampilan berpikir kompleks. Salah satu pilihan agar peserta didik mampu mengembangkan keterampilan berpikir kompleks adalah menerapkan belajar aktif.
3. Penggunaan Beragam Sumber Belajar
Komponen lain pendekatan ini adalah peralihan dari penggunaan guru sebagai sumber belajar utama dan buku teks sebagai sumber belajar dominan ke arah penggunaan aneka-ragam sumber belajar. Gambar berikut ini penjelasan yang dimaksud!
4. Pengorganisasian Kelas
Komponen lain pendekatan belajar aktif adalah peralihan dari pengorganisasian kelas berbentuk berbaris ke desain yang lebih fleksibel, guna: memberi peluang lebih besar kepada peserta didik dan guru untuk lebih banyak berinteraksi dan erkomunikasi; memudahkan mobilitas guru untuk membantu peserta idik/kelompok yang mengalami kesulitan dan memberikan umpan balik kepada peserta didik; memudahkan mobilitas peserta didik untuk saling berinteraksi dan memungkinkan peserta didik belajar juga sambil berdiri, bergerak, dan berjalan; membuka peluang kepada peserta didik mengkakses sumber belajar berupa pajangan karya peserta didik, buku, referensi, dan sumber belajar lainnya; dan memudahkan pergantian anggota kelompok.
6. Penanganan Perbedaan Individual
Dalam proses belajar-mengajar yang berciri belajar aktif, guru hendaknya mengenal perbedaan individual peserta didik dan memberikan perlakuan belajar sesuai dengan ciri individual peserta didik tersebut. Tiap peserta didik memiliki bakat yang berbeda, menunjukkan kemampuan dominan dalam kecerdasan yang berbeda, menunjukkan minat yang berbeda, dan mengalami kesulitan belajar yang berbeda. Dalam proses belajar-mengajar guru hendaknya memperhatikan dan memberikan perlakuan yang sesuai dengan ciri individu yang berbeda.
F. Indikator Sekolah dan Kelas yang Melaksanakan Belajar Aktif
Kriteria penerapan belajar aktif dikemukakan dalam bentuk indikator proses belajar. Indikator dirumuskan agar dapat digunakan sebagai pedoman observasi baik di tingkat sekolah maupun pada proses belajar di tingkat kelas.
1. Indikator Sekolah yang Melaksanakan Belajar Aktif
Indikator (tanda-tanda) terjadinya proses belajar yang aktif dan kreatif pada setting sekolah, ditinjau dari aspek sumber daya manusia, ekspektasi/harapan sekolah, tata tertib, fokus kurikulum, kegiatan sekolah, lingkungan, fasilitas, nilai dan norma, serta kreativitas dan inovasi, adalah sebagai berikut:
a. Ekspektasi sekolah, kreativitas, dan inovasi
1) Prestasi belajar peserta didik lebih ditekankan pada ”menghasilkan” daripada ”memahami”.
2) Sekolah menyelenggarakan ajang ‘kompetisi’ yang mendidik dan sehat.
3) Sekolah ramah lingkungan (misalnya; ada tanaman atau pohon, pot bunga, tempat sampah).
4) Lebih baik lagi jika terdapat produk/karya peserta didik yang mempunyai nilai artistik dan ekonomis/kapital untuk dijual.
5) Lebih baik jika ada pameran karya peserta didik dalam kurun waktu tertentu, misalnya sekali dalam satu tahun.
6) Karya peserta didik lebih dominan daripada pemasangan beragam atribut sekolah.
7) Kehidupan sekolah terasa lebih ramai, ceria, dan riang.
8) Sekolah rapi, bersih, dan teratur.
9) Komunitas sekolah santun, disiplin, dan ramah.
10) Animo masuk ke sekolah itu makin meningkat.
11) Sekolah menerapkan seleksi khusus untuk menerima peserta didik baru.
12) Ada forum penyaluran keluhan peserta didik.
13) Iklim sekolah lebih demokratis.
14) Diselenggarakan lomba-lomba antarkelas secara berkala dan di tingkat pendidikan menengah ada lomba karya ilmiah peserta didik.
15) Ada program kunjungan ke sumber belajar di masyarakat.
16) Kegiatan belajar pada silabus dan RPP menekankan keterlibatan peserta didik secara aktif.
17) Peserta didik mengetahui dan dapat menjelaskan tentang lingkungan sekolah (misalnya, nama guru, nama kepala sekolah, dan hal-hal umum di sekolah itu).
18) Ada program pelatihan internal guru (inhouse training) secara rutin
19) Ada forum diskusi atau musyawarah antara kepala sekolah dan guru maupun tenaga kependidikan lainnya secara rutin.
20) Ada program tukar pendapat, diskusi atau musyawarah dengan mitra dari berbagai pihak yang terkait (stakeholders).
b. Sumber daya manusia
1) Kepala sekolah peduli dan menyediakan waktu untuk menerima keluhan dan saran dari peserta didik maupun guru.
2) Kepala sekolah terbuka dalam manajemen, terutama manajemen keuangan kepada guru dan orang tua/komite sekolah.
3) Guru berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar.
4) Guru mengenal baik nama-nama peserta didik.
5) Guru terbuka kepada peserta didik dalam hal penilaian.
6) Sikap guru ramah dan murah senyum kepada peserta didik, dan tidak ada kekerasan fisik dan verbal kepada peserta didik.
7) Guru selalu berusaha mencari gagasan baru dalam mengelola kelas dan mengembangkan kegiatan belajar.
8) Guru menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik.
9) Peserta didik banyak melakukan observasi di lingkungan sekitar dan terkadang belajar di luar kelas.
10) Peserta didik berani bertanya kepada guru.
11) Peserta didik berani dalam mengemukakan pendapat.
12) Peserta didik tidak takut berkomunikasi dengan guru.
13) Para peserta didik bekerja sama tanpa memandang perbedaan suku, ras, golongan, dan agama.
14) Peserta didik tidak takut kepada kepala sekolah.
15) Peserta didik senang membaca di perpustakaan dan ada perilaku cenderung berebut ingin membaca buku bila datang mobil perpustakaan keliling.
16) Potensi peserta didik lebih tergali serta minat dan bakat peserta didik lebih mudah terdeteksi.
17) Ekspresi peserta didik tampak senang dalam proses belajar.
18) Peserta didik sering mengemukakan gagasan dalam proses belajar.
19) Perhatian peserta didik tidak mudah teralihkan kepada orang/tamu yang datang ke sekolah.
c. Lingkungan, fasilitas, dan sumber belajar
1) Sumber belajar di lingkungan sekolah dimanfaatkan peserta didik untuk belajar.
2) Terdapat majalah dinding yang dikelola peserta didik yang secara berkala diganti dengan karya peserta didik yang baru.
3) Di ruang kepala sekolah dan guru terdapat pajangan hasil karya peserta didik.
4) Tidak ada alat peraga praktik yang ditumpuk di ruang kepala sekolah atau ruang lainnya hingga berdebu.
5) Buku-buku tidak ditumpuk di ruang kepala sekolah atau di ruang lain.
6) Frekuensi kunjungan peserta didik ke ruang perpustakaan sekolah untuk membaca/meminjam buku cukup tinggi.
7) Di setiap kelas ada pajangan hasil karya peserta didik yang baru.
8) Ada sarana belajar yang bervariasi.
9) Digunakan beragam sumber belajar.
d. Proses belajar-mengajar dan penilaian
1) Pada taraf tertentu diterapkan pendekatan integrasi dalam kegiatan belajar antarmata pelajaran yang relevan.
2) Tampak ada kerja sama antarguru untuk kepentingan proses belajar- mengajar.
3) Dalam menilai kemajuan hasil belajar guru menggunakan beragam cara sesuai dengan indikator kompetensi. Bila tuntutan indikator melakukan suatu unjuk kerja, yang dinilai adalah unjuk kerja. Bila tuntutan indikator berkaitan dengan pemahaman konsep, yang digunakan adalah alat penilaian tertulis. Bila tuntutan indikator memuat unsur penyelidikan, tugas (proyek) itulah yang dinilah. Bila tuntutan indikator menghasilkan suatu produk 3 dimensi, baik proses pembuatan maupun kualitas, yang dinilai adalah proses pembuatan atau pun produk yang dihasilkan.
4) Tidak ada ulangan umum bersama, baik pada tataran sekolah maupun wilayah, pada tengah semester dan / atau akhir semester, karena guru bersangkutan telah mengenali kondisi peserta didik melalui diagnosis dan telah melakukan perbaikan atau pengayaan berdasarkan hasil diagnosis kondisi peserta didik.
5) Model rapor memberi ruang untuk mengungkapkan secara deskriptif kompetensi yang sudah dikuasai peserta didik dan yang belum, sehingga dapat diketahui apa yang dibutuhkan peserta didik.
6) Guru melakukan penilaian ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Hal ini dilakukan untuk menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sekaligus sebagai alat diagnosis untuk menentukan apakah peserta didik perlu melakukan perbaikan atau pengayaan.
7) Menggunakan penilaian acuan kriteria, di mana pencapaian kemampuan peserta didik tidak dibandingkan dengan kemampuan peserta didik yang lain, melainkan dibandingkan dengan pencapaian kompetensi dirinya sendiri, sebelum dan sesudah belajar.
8) Penentuan kriteria ketuntasan belajar diserahkan kepada guru yang bersangkutan untuk mengontrol pencapaian kompetensi tertentu peserta didik. Dengan demikian, sedini mungkin guru dapat mengetahui kelemahan dan keberhasilan peserta dalam kompetensi tertentu.
2. Indikator Kelas yang Melaksanakan Belajar Aktif
Indikator (tanda-tanda) terjadinya proses belajar-mengajar yang aktif dan kreatif pada setting kelas ditinjau dari kerja kelompok, teknik bertanya, cara menilai, penggunaan sumber belajar, dan pajangan yang dapat digunakan sebagai pedoman observasi proses belajar-mengajar dikemukakan berikut ini.
a. Kerja kelompok
1) Semua peserta didik aktif dan mendapatkan kesempatan yang sama.
2) Waktu yang diberikan untuk suatu kegiatan peserta didik cukup.
3) Peserta didik tampak disiplin dalam melaksanakan tugas.
4) Adanya instruksi tugas yang jelas dan mudah dipahami oleh peserta didik.
5) Jumlah peserta didik perkelompok tidak lebih dari 6 orang.
6) Adanya target waktu penyelesaian suatu tugas dari guru.
7) Tersedia alat dan bahan yang cukup dalam melaksanakan kegiatan belajar.
8) Tampak kegiatan eksplorasi jika dituntut kompetensi yang sedang dikembangkan yang difasilitasi guru.
9) Adanya umpan balik antarpeserta didik dalam kelompok, antarkelompok, dan antara guru-kelompok/seluruh kelas.
10) Peserta didik berani mengemukakan pendapat.
11) Terjadi saling menghargai dalam kelompok dan antarkelompok.
12) Adanya penugasan yang jelas yang dilakukan melalui kegiatan individual, pasangan, kelompok, dan/atau seluruh kelas.
13) Tampak ada diskusi dan interaksi dalam kelompok untuk membuat kesimpulan kerja kelompok dan penguatan berupa penyimpulan seluruh kelas.
14) Peserta didik diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri tanpa harus diberitahu lebih dulu oleh guru.
b. Kegiatan belajar
1) Kegiatan belajar suatu kompetensi dikaitkan dengan kompetensi lain pada suatu mata pelajaran atau mata pelajaran lain.
2) Kegiatan belajar menarik minat peserta didik.
3) Kegiatan belajar terasa menggairahkan peserta didik.
4) Semua peserta didik terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar.
5) Mendorong peserta didik berpikir secara aktif dan kreatif.
6) Saling menghargai pendapat dan hasil kerja (karya) teman.
7) Mendorong rasa ingin tahu peserta didik untuk bertanya.
8) Mendorong peserta didik melakukan eksplorasi (penjelajahan).
9) Mendorong peserta didik mengekspresi gagasan dan perasaan secara lisan, tertulis, dalam bentuk gambar, produk 3 dimensi, gerak, tarian, dan / atau permainan.
10) Mendorong peserta didik agar tidak takut berbuat kesalahan.
11) Menciptakan suasana senang dalam melakukan kegiatan belajar.
12) Mendorong peserta didik melakukan variasi kegiatan individual (mandiri), pasangan, kelompok, dan / atau seluruh kelas.
13) Mendorong peserta didik bekerja sama guna mengembangkan keterampilan sosial.
14) Kegiatan belajar banyak melibatkan berbagai indera.
15) Menggunakan alat, bahan, atau sarana bila dituntut oleh kegiatan belajar.
16) Melibatkan kegiatan melakukan, seperti melakukan observasi, percobaan, penyelidikan, permainan peran, permainan (game).
17) Mendorong peserta didik melalui penghargaan, pujian, pemberian semangat.
18) Hasil kerja (karya) peserta didik dipajangkan.
19) Menerapkan teknik bertanya guna mendorong peserta didik berpikir dan melakukan kegiatan.
20) Mendorong peserta didik mencari informasi, data, dan mencari jawaban atas pertanyaan.
21) Mendorong peserta didik menemukan sendiri.
22) Peserta didik pada umumnya berani bertanya secara kritis.
c. Teknik bertanya dan penilaian proses
1) Dalam proses belajar-mengajar, guru lebih menekankan pertanyaan terbuka daripada pertanyaaan tertutup, seperti pertanyaan mengapa, bagaimana, apa pendapatmu, apa yang terjadi bila….
2) Setiap peserta didik diberi kesempatan lebih dahulu untuk mencoba menjawab pertanyaaan temannya.
3) Peserta didik berani mengemukakan pendapat dan menjawab pertanyaan temannya.
4) Semua peserta didik diberi kesempatan yang cukup untuk mengemukakan pendapat dan bertanya.
5) Menggunakan cara penilaian yang bervariasi, seperti tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja, proyek, dan pengamatan partisipasi peserta didik dalam proses belajar-mengajar sehari-hari sesuai dengan karakteristik materi atau kompetensi yang dinilai.
6) Menghindari penilaian tertulis dengan bentuk pilihan ganda, terutama pada ulangan harian dan ulangan tengah semester. Sebaik apa pun tes bentuk pilihan ganda tidak akan mampu menilai seluruh kompetensi peserta didik pada suatu mata pelajaran.
7) Guru memberikan tugas-tugas penilaian yang bermakna, terkait langsung dengan kehidupan nyata peserta didik, seperti menulis surat, menulis laporan hasil kegiatan/pengalaman, melakukan percobaan, memperkenalkan orang lain, menendang bola, memainkan alat musik, menjernihkan air, membaca puisi, dan berkomunikasi dengan telepon.
8) Cara menilai disesuaikan dengan kompetensi yang dituju.
9) Guru memberi umpan balik atau catatan bagi setiap tugas yang diberikan.
10) Guru membawa format pengamatan ketika memasuki kelas.
11) Remedial diberikan bagi masing-masing peserta didik sesuai dengan kebutuhan peserta didik yang terlihat dari indikator yang belum tuntas.
12) Dimensi sikap dinilai dengan berbagai cara, seperti observasi perilaku, pertanyaan langsung, dan laporan pribadi. Observasi perilaku dapat penggunakan buku catatan khusus atau catatan harian tentang kejadian- kejadian yang berkaitan dengan peserta didik selama di sekolah.
13) Membuat catatan tentang perubahan perilaku atau sikap peserta didik secara keseluruhan, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran tertentu maupun program pengembangan diri.
14) Membuat rubrik penyekoran.
d. Penggunaan beragam sumber belajar
1) Menggunakan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar.
2) Menggunakan pengalaman peserta didik sebagai sumber belajar.
3) Menggunakan sumber belajar dari lingkungan sosial (masyarakat seperti keluarga, tetangga, toko, pasar, kantor, dan panti asuhan).
4) Menggunakan sumber belajar dari lingkungan budaya, seperti lagu daerah, pakaian daerah, tarian daerah, dan bangunan bersejarah).
5) Menggunakan sumber belajar dari media cetak seperti koran, majalah, dan leaflet.
6) Menggunakan sumber belajar dari media elektronik seperti acara radio, TV, video, dan/atau internet.
e. Pajangan
1) Pajangan cukup “ramai” dalam kelas.
2) Ada portofolio peserta didik dalam kelas.
3) Ada hasil kerja peserta didik yang dipajangkan (bukan sekadar isian lembar kerja peserta didik, atau jawaban soal evaluasi).
4) Pajangan ditata rapi dan dapat dibaca peserta didik karena dipajang tak terlalu tinggi.
5) Ada pajangan karya peserta didik secara individual.
6) Hasil karya peserta didik memiliki nilai artistik.
G. Contoh-Contoh Pelaksanaan Belajar Aktif
1. Contoh-contoh Pelaksanaan Belajar Aktif
Berikut ini dikemukakan daftar contoh kegiatan yang membuat peserta didik aktif.
KEGIATAN YANG MENGAKTIFKAN PESERTA DIDIK ( Diskusikan dan tuliskan daftar contoh kegiatan belajar yang mengaktifkan peserta didik! }
2. Pengembangan Karakter Bangsa sebagai Tujuan Jangka Panjang Upaya menggalakkan penerapan belajar aktif ini dilandasi aspirasi jangka panjang untuk mengembangkan karakter bangsa yang mengarusutamakan nilai budaya dan kewirausahaan. Kebijakan ini dipilih karena bangsa yang unggul dalam persaingan global adalah bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang berkarakter bangsa, yang dibangun di atas fondasi nilai-nilai budaya dan berorientasi ke masa depan melalui penanaman jiwa dan semangat kewirausahaan. Nilai-nilai pengembangan karakter bangsa yang mengarusutamakan nilai budaya dan kewirausahaan dikemukakan pada daftar berikut ini.
Nilai-nilai pengembangan karakter bangsa
1. Religius
2. Jujur
3. Toleransi
4. Disiplin
5. Kerja keras
6. Kreatif
7. Mandiri
8. Demokratis
9. Rasa ingin tahu
10. Semangat kebangsaan
11. Cinta tanah air
12. Menghargai prestasi
13. Bersahabat / komunikatif
14. Cinta damai
15. Gemar membaca
16. Peduli lingkungan
17. Peduli sosial
Ciri-ciri potensial individu yang menunjukkan profil seorang wirausahawan ikemukakan berikut ini.
Ciri-ciri yang menunjukkan profil seorang wirausahawan :
1. Percaya diri
2. Berorientasi tugas
dan hasil
3. Berani mengambil
risiko
4. Kepemimpinan
5. Keorisinilan
6. Berorientasi ke masa
depan
Sumber: http://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/komponen-kurikulum-pendidikan-islam.html Kementrian Pendidikan Nasional; Badan Penelitian dan Pengembangan pusat Kurikulum: Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai budaya untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa (2010)
Pengembangan pendekatan belajar aktif secara serius mulai dilakukan pada tahun 1979 yang dikenal dengan nama Proyek Supervisi Cianjur, Jawa Barat. Proyek ini dilaksanakan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Depdikbud bekerja sama dengan Ditjen Dikdasmen dan sejumlah IKIP Negeri. Proyek ini merupakan perwujudan kerja sama antara Depdikbud dengan Pemerintah Inggris, yang dikelola oleh The British Council. Cikal bakal pengembangan pendekatan belajar ini sebenarnya telah dirintis oleh P3G (Pusat Penataran Pendidikan Guru) dan sekarang menjadi P4TK, yang dimulai dari mata pelajaran IPA sekitar tahun 1970-an. Hasil-hasil Proyek Supervisi Cianjur kemudian diintegrasikan ke dalam pengembangan Kurikulum 1984. Kemudian, hasil-hasil proyek ini direplikasi di 7 kabupaten/kotamadya di Indonesia.
Bersamaan dengan itu, dilakukan pula diseminasi hasil-hasil tersebut melalui penataran yang dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Dasar, Ditjen Dikdasmen. Apa yang dilakukan di tingkat SD membawa dampak pula bagi pengembangan pendekatan belajar aktif di tingkat SMP, SMA, SMK, dan pendidikan nonformal serta madrasah walaupun dengan istilah berbeda dan dilaksanakan dengan sistem dan program yang berbeda pula. Selanjutnya, hasil-hasil pengembangan pendekatan belajar aktif diintegrasikan dalam pengembangan Kurikulum 1994. Pada tahun 1999 Direktorat Sekolah Dasar, Ditjen Dikdasmen, yang didukung narasumber dari Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, bekerja sama dengan UNICEF dan UNESCO memprakarsai rintisan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) serta partisipasi masyarakat. Program ini dikenal dengan nama MBS- PAKEM, bahkan saat ini berkembang dengan istilah PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenagkan). Program yang dimulai pada beberapa kabupaten di 3 provinsi ini segera menyebar ke provinsi-provinsi lain melalui dukungan berbagai NGO dan mendapatkan tanggapan yang positif dari berbagai dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota. Melalui upaya ini implementasi MBS-PAKEM telah masuk ke dalam sistem pendidikan nasional. Dewasa ini secara umum dapatlah dikatakan bahwa upaya pembinaan guru, kepala sekolah, dan pengawas serta pembina di bidang pendidikan daerah dalam melaksanakan belajar aktif lebih luas dilakukan pada tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama serta madrasah. Sejalan dengan penyebaran gagasan- gagasan MBS-PAKEM, Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas telah mengintegrasikan pendekatan belajar aktif ke dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004, yang kemudian dilanjutkan dengan Standar si yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mulai tahun 2006. Di Indonesia pendekatan belajar aktif sebenarnya telah cukup lama diperkenalkan pada pendidikan formal maupun nonformal, baik sekolah maupun madrasah. Secara khusus di tingkat SMP sejak tahun 2001/2002 telah mulai diimplementasikan pendekatan belajar aktif dengan nama Contextual Teaching and Learning (CTL). Di tingkat SMA, SMK, pendidikan nonformal (Program Paket A, B, dan C) dan madrasah walaupun dengan istilah yang berbeda dan belum dikembangkan secara tersistem, namun telah menekankan pula pendekatan belajar aktif.
2. Permasalahan Proses Belajar-Mengajar
Permasalahan yang dihadapi dalam proses belajar-mengajar antara lain adalah: Terbentuknya opini di masyarakat bahwa nilai ujian nasional seolah-olah menggambarkan prestasi belajar secara utuh. Demikian pula kemenangan dalam olimpiade, kontes idol, atau perlombaan olahraga dipandang sebagai cermin prestasi belajar yang utuh. Apakah ukuran-ukuran ini valid dan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi karakter, budaya dan kemajuan bangsa serta memberikan bekal bagi anak-anak kita untuk menghadapi kehidupan di masa depan?
1. Belajar yang terpisah-pisah baik antarmata pelajaran maupun antara satu kompetensi dengan kompetensi lainnya.
2. Proses belajar-mengajar tidak berpusat pada peserta didik.
3. Proses belajar-mengajar yang belum mampu mendorong timbulnya kreativitas peserta didik.
4. Terbatasnya sumber daya yang tersedia.
5. Banyak peserta didik berasal dari keluarga atau orang tua yang masih menunjukkan rendahnya kesadaran mengenai pentingnya pendidikan, sehingga dukungan pada peserta didik masih terbatas.
6. Banyak guru belum terlatih secara baik dalam melaksanakan belajar aktif.
7. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (Calistung) peserta didik di SD dan MI umumnya masih lemah, demikian pula keterampilan berbahasa peserta didik pada jenjang pendidikan menengah tampaknya juga masih banyak masalah.
8. Banyak peserta didik yang watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian serta sistem berpikirnya belum sejalan dengan moral dan norma keindonesiaan.
Guna menanggulangi permasalahan tersebut, salah satunya perlu diterapkan pendekatan belajar aktif. Melalui pendekatan ini diharapkan peserta didik memiliki bekal kemampuan kreatif dan inovatif serta berbudaya yang pada gilirannya menggambarkan karakter bangsa. Melalui upaya ini, kita berusaha menciptakan citra baru tentang satuan pendidikan berprestasi sebagai sekolah yang mampu membuat para peserta didiknya kreatif dan inovatif, berbudaya serta mampu menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan yang kesemuanya itu merupakan pengembangan karakter bangsa yang diinginkan bersama.
Guna meningkatkan kemampaun profesional guru, pengawas, dan para pembina endidikan di semua lini diperlukan pelatihan secara berkesinambungan agar mereka lebih kreatif dan inovatif dalam melaksanakan tugasnya. Khusus bagi guru, pelatihan seperti ini diharapkan mampu mengembangkan beragam kegiatan belajar di masing-masing satuan pendidikannya yang mengaktifkan dan membuat peserta didik kreatif dan inovatif.
Pentingnya Belajar Aktif
Penerapan pendekatan belajar aktif yang ditunjang pelaksanaan manajemen berbasis sekolah memiliki dasar hukum yang bersumber dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perundang-undangan ini selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan berikut ini. Proses belajar-mengajar pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan emandirian sesuai dengan minat, bakat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. (Pasal 19, Ayat 1).
Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. (Pasal 49, butir 1). Pendekatan belajar aktif dewasa ini amat dominan dilaksanakan di berbagai negara maju dan juga diikuti oleh banyak negara berkembang. Anutan pendekatan ini pada dasarnya dipengaruhi oleh aliran Konstruktivisme dalam teori belajar.
Perkembangan teori belajar berdasarkan riset selama hampir 100 tahun secara bertahap mengubah paradigma tentang bagaimana seharusnya guru mengajar dan/atau peserta didik belajar. Rentangan riset itu terutama dimulai dari eksperimen Ivan Pavlov (1849 – 1936) dengan air liur anjing yang diberi stimulus. Kemudian, Jean Piaget (1896 – 1980) mencapai ‘puncak’ riset melalui temuannya tentang perkembangan kemampuan kognitif manusia. Temuan Piaget kemudian diperkaya dengan gagasan Lev Vygotsky (1896 – 1936) tentang perkembangan kognitif anak dalam hubungannya dengan bahasa dalam konteks historis, kultural, dan sosial tempat anak hidup. Temuan teori yang dewasa ini amat populer dan berdampak luas pada skala internasional adalah teori belajar konstruktivisme. Konstruktivisme memantapkan teori-teori belajar sebelumnya dan memberikan pencerahan bagi peralihan dari konsep belajar yang berpusat pada guru (teacher-centred learning) ke arah konsep belajar yang berpusat pada peserta didik (student-centred learning). Orientasi yang berpusat kepada peserta didik pada akhirnya diwujudkan dalam pendekatan belajar aktif (active learning approach). Ini adalah paradigma yang mempengaruhi beragam inovasi pendidikan yang dilakukan di berbagai penjuru dunia sejak awal tahun 1970 hingga sekarang.
Teori-teori belajar yang ditemukan pada akhirnya berkulminasi pada teori konstruktivisme. Teori konstruktivisme pada dasarnya:
Menyesuaikan aplikasi teori dengan cara kerja otak seperti yang dilaporkan oleh temuan riset neurosains.
Mengadopsi hasil riset biologi tentang cara kerja tubuh.
Mengadopsi temuan riset fisika tentang alam semesta yang bersinergi sebagai satu
sistem.
Menyelaraskan aplikasi nilai-nilai dan pandangan historis, kultural, dan sosial, terutama melalui bahasa, dalam penerapan belajar aktif, baik dari hasil riset ilmu- ilmu sosial maupun dari segi konsepsi filsafat, teologi agama, dan humaniora.
Mengadaptasi temuan dan praksis yang relevan dari dunia kerja.
Penerapan teori belajar konstruktivisme secara kumulatif tampil dalam istilah active learning (belajar aktif). Temuan teori lanjutan dan hasil uji coba penerapan dalam proses belajar-mengajar tampil dengan beragam istilah, seperti brain-based learning, multiple intelligences learning approach, cooperative learning, contextual teaching and learning, dan quantum learning. Penerapannya sebenarnya hanya menekankan salah satu aspek, unsur, atau bidang khusus belajar aktif. Hampir semuanya bernaung di bawah paradigma belajar aktif.
Ada 5 teori belajar yang berkembang, yaitu teori behaviorisme, teori kognitivisme,
teori rekonstruktivisme, teori belajar informal dan post-modern , dan teori-teori belajar yang lain. Dari teori behaviorisme dan teori kognitivisme, pendekatan belajar aktif yang dikembangkan menurut teori rekonstruktivisme mengadopsi gagasan-gagasan yang relevan dengan tuntutan dan prasyarat pendekatan belajar aktif ini. Pandangan mengenai anak menurut aliran konstruktivisme dikemukakan pada gambar berikut ini.
C. Pengertian Belajar Aktif
Gagasan-gagasan pokok pendekatan belajar aktif pada prinsipnya mengikuti gagasan inti teori belajar konstruktivisme. Perkembangan dalam terapan melahirkan paradigma baru, yaitu paradigma belajar aktif. Amatilah gambar berikut ini.
Sejumlah gagasan pokok dalam penerapan paradigma belajar aktif dikemukakan berikut ini.
1. Mengkonstruksi Makna
Konstruktivisme menandaskan bahwa manusia mengkonstruksi (membangun) makna dari struktur pengetahuan aktual yang dimiliki. Teori ini membimbing pendekatan dalam mendidik anak. Konstruktivisme menekankan kegiatan belajar yang berkembang melalui dukungan fasilitator. Fasilitator memulai dan mengarahkan peserta didik agar mampu mengkonstruksi makna konsep-konsep yang baru.
Jean Piaget sebagai pelopor teori konstruktivisme memandang bermain sebagai bagian penting dan perlu bagi perkembangan kognitif anak. Ia meneliti dan memberikan landasan ilmiah kepada pandangannya. Sekarang teori konstruktivisme tidak hanya diterapkan di lingkungan pendidikan formal dan perguruan tinggi tetapi juga pada kegiatan belajar pendidikan nonformal dan informal.
Piaget menjelaskan mekanisme internalisasi pengetahuan anak. Ia menyatakan, melalui proses akomodasi (accommodation) dan asimilasi (assimilation), individu mengkonstruksi pengetahuan baru dari pengalamannya. Ketika melakukan asimilasi, individu memasukkan pengalaman baru ke dalam skema (kerangka) yang sudah ada tanpa mengubah skema itu. Jika pengalaman individu bertentangan dengan representasi internal yang sudah ada, ia dapat mengubah persepsi pengalamannya agar cocok dengan representasi internal.
Akomodasi adalah proses membentuk kembali representasi mental tentang dunia luar agar cocok dengan pengalaman baru. Akomodasi adalah mekanisme yang mengubah kegagalan belajar ke arah yang benar.
Misalnya, Thomas Ameriko yang lahir dan besar di Timor Timur merantau ke Pulau Jawa, ke Kota Malang. Di Dili ia sudah memiliki pengalaman naik bus. Ia telah memiliki konsep tentang apa itu bus. Sesudah satu bulan di Malang, tiba-tiba ia melihat kereta api lewat. Ia langsung berteriak, “Eh, itu bus kok bergandeng- gandeng”. Ia melakukan proses asimilasi. Konsep bus ia terapkan terhadap kereta api karena sebelumnya ia tak memiliki konsep tentang apa itu kereta api. Kemudian, temannya menjelaskan, “Bukan, itu bukan bus. Itu yang namanya kereta api”. Ia lalu mengubah konsep kereta api sebagai bus yang bergandeng-gandeng menjadi konsep kereta api yang benar. Ia melakukan proses akomodasi setelah mengalami ‘kegagalan’ belajar.
Contoh yang lain dikemukakan berikut ini. Ketika Eko (nama kreasi) mengikuti kursus pendidikan di Cambridge, Inggris, suatu malam bertiup angin agak kencang. Eko membuka jendela kamar dan melihat ribuan ‘kapas’ beterbangan di luar. Ia menduga, wah, ada truk di mana yang membawa berkarung-karung kapas dan karung-karung itu terbuka sehingga ribuan kapas beterbangan di udara. Pada tahap ini Eko melakukan proses asimilasi dengan pengetahuan tentang kapas yang diperolehnya dari pengalaman di Indonesia. Pada pagi hari esoknya, Eko pergi ke luar dan betapa takjubnya, ia melihat hamparan salju di seluruh halaman gedung. Ia serentak berpendapat, ah ini yang namanya salju. Berarti, ‘kapas-kapas’ beterbangan yang ia lihat tadi malam itu sebenarnya butir-butir salju yang turun ke tanah. Ia lalu melakukan proses akomodasi dan hasilnya adalah mengubah pendapatnya tentang kapas-kapas yang beterbangan ke arah pandangan yang benar tentang salju. Eko belajar melalui pengalaman, dari proses asimilasi pengetahuan sebelumnya yang sesuai dengan konteks Indonesia ke arah pandangan baru berdasarkan pengalaman baru melalui proses akomodasi. Berikut ini dikemukakan sebuah contoh dari percobaan IPA anak-anak SD Kelas IV. Topik yang sedang dipelajari adalah “Melayang, terapung, dan tenggelam”. Sebelum melakukan percobaan tiap kelompok anak membuat hipotesis untuk tiap benda yang hendak dimasukkan ke dalam air, apakah melayang, terapung, atau tenggelam. Ternyata semua hipotesis yang dibuat terbukti benar. Misalnya, batu tenggelam, paku yang diikat dengan potongan kayu kering melayang, dan kertas terapung. Pembenaran hipotesis ini sesuai dengan pengetahuan yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini mereka melakukan asimilasi dengan kerangka pengetahuan (skemata) yang telah diperoleh sebelumnya. Kemudian guru menugaskan anak-anak memasukkan plastisin (dapat juga dipakai lilin malam). Hipotesis yang dibuat bahwa benda itu akan tenggelam ternyata benar. Namun, kemudian guru meminta anak-anak mengubah bentuk plastisin itu dari bentuk gumpalan menjadi bentuk yang pipih, rata, dan lebar. Ketika mereka memasukkannya ke dalam air dalam posisi mendatar (horisontal), ternyata plastisin itu terapung. Anak-anak heran dan tidak tahu mengapa. Guru lalu bertanya mengapa hal ini bisa terjadi, apa penyebabnya. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan, ternyata dari hasil diskusi mereka sampai kepada kesimpulan, bahwa plastisin yang pipih, rata, dan lebar itu mendapatkan tekanan ke atas dari air dan karena permukaan itu lebar jumlah tekanan dari air itu cukup banyak. Akibatnya, plastisin itu terapung. Untuk membuktikan kesimpulan ini, mereka mencoba dengan benda yang lain, seperti mistar (penggaris) plastik dan potongan seng yang dimasukkan dalam posisi mendatar. Setelah yakin, anak-anak mengubah pendapatnya, bahwa banyak benda yang walaupun berat tetapi jika berbentuk pipih, rata, dan lebar dimasukkan ke dalam air akan terapung. Pada tahap ini anak-anak melakukan akomodasi terhadap kerangka pikiran (skemata) yang telah terbentuk sebelumnya. Mereka mengubah pendapatnya setelah mendapatkan pengalaman baru melalui percobaan.
Kegiatan dalam pelatihan:
PROSES INTERNALISASI PENGETAHUAN
Pertanyaan kepada peserta:
Dapatkah Anda memberikan contoh konkret dari
lingkungan Anda mengenai proses internalisasi
pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi
menurut teori Jean Piaget?
2. Pentingnya Latar belakang dan Budaya Peserta Didik
Konstruktivisme sosial memandang setiap peserta didik sebagai individu yang unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik. Peserta didik juga dilihat sebagai individu yang kompleks dan multidimensional. Konstruktivisme sosial tidak hanya mengakui keunikan dan kompeksitas peserta didik tetapi juga benar-benar mendorong, menggunakan, dan memberikan penghargaan kepadanya keunikan dan kompleksitas sebagai bagian integral proses belajar (Wertsch 1997).
Konstruktivisme sosial mendorong peserta didik mencapai versinya sendiri tentang kebenaran, yang dipengaruhi latar belakang dunia fisik, lingkungan budaya, atau pandangannya tentang dunia. Perkembangan historis dan sistem simbol, seperti sistem bahasa, logika, dan matematika, diwarisi peserta didik sebagai warga budaya tertentu dan hal ini dipelajarinya sepanjang hayatnya. Ia juga menekankan pentingnya hakikat interaksi sosial peserta didik dengan warga masyarakat yang terdidik. Tanpa interaksi sosial itu, tak mungkin tercapai makna sosial dari sistem simbol yang penting dan belajar bagaimana menggunakannya. Anak kecil mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui interaksi dengan anak-anak yang lain, orang dewasa, dan dunia fisik. Pentinglah memperhatikan latar belakang dunia fisik dan lingkungan budaya dan sosial peserta didik melalui proses belajar, karena latar belakang ini juga membantu membentuk pengetahuan dan kebenaran yang diciptakan, ditemukan, dan dicapai peserta didik dalam proses belajar (Wertsch, 1997).
3. Tanggunng Jawab Belajar addalah Peseerta didik dan Peserrta Didik mmenjadi
Peserta Didik Pemmbelajar ataau Peserta Didik penggajar Tanggunng jawab beelajar selaluu harus semaakin berganntung kepadda peserta ddidik dan ditekankkan agar peserta didik mengkonsttruksi pengertian atau konsepnyaa sendiri. Untuk ittu, perlu dittempuh pemmberian perran kepada peserta diddik menjadii peserta didik pemmbelajar atau peserta ddidik pengaajar. Jika peeserta didik “mengajar”” teman- temannyya, misalnya sebagai ttutor sebayya, ia akan menjadi ssangat aktiff untuk memperssiapkan dirri agar maampu menggajar temann-temannya,, misalnya melalui usaha meemahami mmateri/kompetensi yangg akan diajarrkan. Dengan demikian, ppeserta didiik tidak hannya mencermminkan dann merefleksiikan apa yang diibaca. Peseerta didik mencari mmakna dan akan menncoba mennemukan regularittas dan ketteraturan ddalam berbaagai peristiiwa dunia, bahkan wwalaupun informassi belum lenngkap (Von Glasersfeldd, 1989)
4. Motivasi Belajar
Motivasi belajar peserta didik amat bergantung kepada rasa percaya diri atau potensi belajarnya (Von Glasersfeld, 1989) dan kemampuan guru mengantar peserta didik mengenali bakat dan potensi dirinya (motivasi ekstrinsik) sehingga tumbuh keyakinan untuk percaya kepada keunikan dirinya dan mampu mengekspresikannya (motivasi intrinsik, Champion Mind). Perasaan kompeten dan kepercayaan kepada potensi memecahkan masalah baru berasal dari pengalaman pertama menguasai masalah di masa lampau dan lebih kuat daripada pengakuan eksternal dan motivasi ekstrinsik mana pun (Prawat and Floden, 1994). Ini berkaitan dengan pandangan Vygotsky (1978) tentang zona perkembangan terdekat (zone of proximal development), di mana anak ditantang untuk sedikit melangkah maju dari tingkat perkembangannya sekarang. Melalui pengalaman sukses enyelesaikan tugas yang menantang, anak memperoleh rasa percaya diri dan motivasi untuk menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Menurut pandangan Rousseau (1762) ... masalah pendidikan yang terbanyak adalah masalah motivasi, karena para guru mencoba mempercepat berbagai hal. Mereka berbicara tentang geografi sebelum anak tahu jalan di sekitar belakang rumahnya. Mereka mengajar sejarah sebelum anak mengerti sesuatu tentang motivasi orang dewasa.... Akan jauh lebih baik, membiarkan pertanyaan-pertanyaan muncul secara alamiah .... Bila seorang anak telah termotivasi sendiri, guru tidak dapat menahan dia belajar. (Dikutip dari The Rise and Fall of Childhood, oleh C. John Sommerville, 1990). Sembilan per sepuluh pendidikan adalah memberi dorongan. (Anatole France 1844- 1924).
5. Peran Pengajar
Guru sebagai fasilitator Menurut pendekatan konstruktivisme sosial, instruktur harus mengadaptasi peran fasilitator dan bukan peran sebagai guru. Lingkungan belajar harus juga didesain untuk mendukung dan menantang peserta didik untuk berpikir (Di Vesta, 1987). Walaupun dituntut membuat peserta didik merasa memiliki masalah dan proses solusinya, tidaklah berarti bahwa aktivitas atau solusi apa pun sudah cukup. Tujuan yang kritis adalah mendukung peserta didik menjadi pemikir yang efektif. Ini bisa dicapai jika guru berperan jamak, seperti menjadi konsultan dan pelatih.
6. Hakikat Proses Belajar
Kegiatan belajar itu aktif; kegiatan belajar adalah proses individual dan proses sosial. Belajar adalah proses aktif peserta didik menemukan fakta, prinsip, dan konsep sendiri. Untuk itu, pentinglah mendorong peserta didik berasumsi (menebak atau berhipotesis) dan berpikir secara intuitif (Brown dkk., 1989; Ackerman, 1996). Dalam kenyataan, realitas bukanlah sesuatu yang dapat ditemukan karena tidak ada sebelumnya. http://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/komponen-kurikulum-pendidikan-islam.html Kukla (2000) membuktikan bahwa realitas dikonstruksi oleh kegiatan individu sendiri dan bahwa orang-orang,
bersama-sama sebagai warga suatu masyarakat, menemukan ciri-ciri realitas (dunia).
Penganut konstruktivisme yang lain setuju dan menekankan bahwa individu membangun makna melalui interaksi satu sama lain dan dengan lingkungan tempat mereka hidup. Dengan demikian, pengetahuan adalah produk manusia dan dikonstruksi secara sosial dan budaya (Ernest, 1991; Prawat and Floden, 1994). McMahon (1997) setuju bahwa belajar adalah suatu proses sosial. Ia menyatakan bahwa belajar bukanlah proses yang hanya terjadi
dalam pikiran individu, bukanlah suatu perkembangan perilaku yang pasif yang dibentuk oleh kekuatan eksternal. Belajar yang bermakna terjadi ketika individu terlibat dalam aktivitas sosial.
Vygotsky (1978) juga menekankan konvergensi elemen-elemen sosial dan praktis dalam belajar. Momen yang amat signifikan dalam lintasan perkembangan intelektual terjadi ketika berbicara (speech) dan kegiatan praktik, dua jalur perkembangan yang sebelumnya sepenuhnya tak saling tergantung (independen), berkonvergensi. Melalui kegiatan praktik peserta didik mengkonstruksi makna dalam dirinya (pada tingkat intrapribadinya), sedangkan berbicara menghubungkan makna ini dengan dunia antarpribadi yang di-share oleh peserta didik dan budayanya.
Kolb memaparkan 6 ciri khas experiential learning:
a. Belajar paling baik dipandang sebagai suatu proses, bukan sebagai hasil belajar (outcomes).
b. Belajar adalah suatu proses berkesinambungan berdasarkan pengalaman.
c. Belajar menuntut resolusi konflik antara dua cara adaptasi terhadap dunia yang bertentangan secara dialektik (diperdebatkan).
d. Belajar adalah suatu proses holistik adaptasi terhadap dunia.
e. Belajar melibatkan transaksi antara pribadi dan lingkungan.
f. Belajar adalah suatu proses menciptakan pengetahuan, yang merupakan hasil transaksi antara pengetahuan sosial dan pengetahuan personal.
D. Prinsip-prinsip Belajar Aktif
Prinsip-prinsip belajar aktif dikemukakan pada gambar berikut ini.
1. Pola Mengajar Duduk, Dengar, Catat dan Hafal tidak Dapat Dipertahankan Hasil penelitian memperlihatkan bahwa metode ceramah yang amat dominan dalam pola mengajar tradisional amat tidak efektif. Apa yang masuk melalui ”telinga kiri” peserta didik akan segera keluar melalui ”telinga kanan”. Yang lebih penting adalah guru berupaya menugaskan peserta didik mengerjakan hal-hal nyata melalui berbuat, melakukan, sambil dikombinasi dengan apa yang peserta didik dengar, baca, amati, diskusikan, dan presentasikan.
Di samping itu, cara kerja otak ternyata juga tidak mendukung pola belajar yang banyak ceramah.
2. Interaksi Dinamis antara Tugas, Guru, dan Peserta Didik
Guru dan peserta didik bersama-sama terlibat secara setara dalam proses belajar (Holt and Willard-Holt, 2000). Ini berarti pengalaman belajar, baik yang bersifat subjektif maupun yang objektif dan budaya, nilai-nilai, dan latar belakang guru, menjadi bagian esensial dalam interaksi antara peserta didik dan tugas dalam membentuk makna. Atau, peserta didik membandingkan versi kebenarannya dengan versi guru dan rekan peserta didik yang lain untuk mendapatkan versi kebenaran yang baru dan diuji secara sosial (Kukla, 2000). Tugas atau masalah adalah penghubung antara guru dan atau peserta didik (McMahon, 1997). Ini menciptakan interaksi yang dinamis antara tugas, guru, dan peserta didik. Ini berarti bahwa peserta didik dan guru harus mengembangkan kesadaran tentang pandangan pihak lain dan kemudian melihat kembali kepercayaan, standar, dan nilai, yang sekaligus bersifat subjektif dan objektif (Savery, 1994).
Beberapa pendekatan belajar yang memungkinkan belajar interaktif ini meliputi pengajaran resiprokal, peer collaboration, cognitive apprenticeship , dan pengajaran berbasis masalah, pengajaran jangkar (anchored instruction) dan pendekatan lain yang melibatkan belajar dengan orang lain. Kerja sama antarpeserta didik Para peserta didik yang memiliki keterampilan dan latar belakang yang berbeda bekerja sama dalam tugas dan diskusi untuk mencapai pemahaman bersama yang di-share untuk mencapai kebenaran dalam suatu bidang khusus (Duffy and Jonassen, 1992).
3. Pentingnya Konteks
Konteks tempat terjadi aktivitas belajar adalah sentral dalam belajar (McMahon, 1997). Pengetahuan yang terpisah dari konteks (decontextualised knowledge) tidak memberikan keterampilan menerapkan pemahaman dalam tugas yang otentik, karena individu tidak menangani konsep dalam lingkungan yang kompleks dan mengalami interelasi yang kompleks dalam lingkungan itu yang menentukan bagaimana dan di mana konsep digunakan. Belajar dalam situasi yang otentik tempat peserta didik berperan serta dalam kegiatan yang langsung relevan dengan aplikasi belajar dan yang berlangsung dalam budaya yang mirip dengan setting yang diterapkan (Brown et al., 1989).
4. Keterpaduan Proses Belajar-mengajar dan Penilaian
Hakikat belajar yang interaktif, objektif, dan transparan diperluas sampai ke proses penilaian. Penilaian dilihat sebagai proses dua arah yang melibatkan interaksi antara guru dan peserta didik, sehingga merupakan bagian tak terpisahkan dari program pembelajaran dan harus dapat memberikan dampak yang positif terhadap pengembangan kompetensi sasaran (Holt and Willard-Holt, 2000). Oleh karena itu, dalam melaksanakan penilaian guru sebaiknya memandang penilaian dan kegiatan pembelajaran secara terpadu sehingga penilaian berjalan bersama-sama dengan proses belajar-mengajar. Dengan demikian, penilaian dilakukan selama proses belajar-mengajar berlangsung.
Guru harus melihat penilaian baik pengetahuan, keterampilan maupun perilaku sebagai suatu proses berkesinambungan dan interaktif yang menilai pencapaian mutu pengalaman belajar dan kompetensi peserta didik dalam pelajaran. Umpan balik yang diciptakan dalam proses penilaian menjadi dasar untuk perkembangan selanjutnya.
5. Seleksi, Ruang Lingkup (scope), dan Urutan dalam Mata Pelajaran
Pengetahuan harus ditemukan sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi Pengetahuan sebaiknya tidak dibagi-bagi ke dalam mata-mata pelajaran dan kompartemen (kavling) yang berbeda-beda, tetapi harus ditemukan sebagai satu keseluruhan yang terintegrasi (McMahon, 1997; Di Vesta, 1987).
Belajar aktif dapat dilakukan melalui proses belajar yang terintegrasi yang memberikan peluang untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif karena otak peserta didik lebih mudah memahami keseluruhan daripada bagian-bagian dan karena perkembangan jumlah mata pelajaran di satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah cukup banyak. Sedangkan dewasa ini kecenderungan di dunia adalah mengintegrasikan mata-mata pelajaran yang terpisah-pisah. Karena itu, digunakanlah pendekatan integrasi. Pendekatan ini pun kini semakin banyak diterapkan di perguruan tinggi. Berikut ini dikemukakan contoh pengintegrasian berbagai mata pelajaran ke dalam tema “Hutan”.
Pendekatan integrasi menitikberatkan pentingnya konteks dalam penyajian belajar (Brown dkk., 1989). Dunia tempat peserta didik belajar tidak didekati sebagai suatu bentuk mata-mata pelajaran yang berbeda, tetapi sebagai suatu kumpulan amat banyak fakta, masalah, dimensi, dan persepsi yang kompleks (Ackerman, 1996). Sebagai informasi dapatlah dikemukakan, bahwa di SLB C (tunagrahita) pada umumnya sampai dengan kelas-kelas tinggi diterapkan pendekatan tematik. Selain itu, dalam proses belajar-mengajar warga belajar pada pendidikan nonformal Program Paket A, B, dan C umumnya diterapkan pendekatan tematik. Demikian pula, di SMK untuk mata-mata pelajaran produktif sering diterapkan pendekatan terpadu dalam proses belajar-mengajar.
6. Pendekatan Belajar Aktif Mengadopsi Prinsip Kerja Otak
a. Prinsip keberhasilan
Tiap individu dilahirkan untuk sukses, bukan untuk gagal. Otak manusia tidak dirancang untuk melakukan trial and error, mencoba dan membuat kesalahan. Otak individu adalah sebuah mekanisme trial and success (coba dan berhasil). Pengajaran tradisional cenderung menekankan disiplin kaku. Kesalahan dan hukuman fisik membuat kegiatan belajar menakutkan dan terasa sulit. Sebaliknya, pendekatan belajar aktif membuat kegiatan belajar menyenangkan. Perubahan dari penekanan pada kesalahan ke penekanan pada keberhasilan membawa implikasi terhadap pengembangan konsepsi pendekatan belajar aktif.
b. Prinsip meniru
Meniru adalah salah satu cara terbaik untuk belajar. Aktivitas meniru yang terbaik adalah menambahkan interpretasi sendiri kepada hal yang ditiru.
Dengan demikian, bisa timbul pengembangan dari meniru, lahir sesuatu tambahan baru yang menunjukkan kreativitas.
c. Prinsip sinergi
Otak kita itu sinergis, berkesinambungan. Gambaran: 1+1=2+ Dalam sistem ini, ”2+” bisa sama dengan 3, 5, 224, beberapa juta, atau tak terbatas. Karena itu, otak manusia memiliki potensi yang tak terbatas.
d. TEFCAS
Otak manusia bekerja berdasarkan prinsip TEFCAS, yang akan dipakai individu sendiri sepanjang hayat.
e. Keuletan
Keuletan (tahan banting) adalah kecerdasan yang vital, mesin belajar, pemikiran, dan kreativitas. Ia adalah huruf T (Trial) dalam TEFCAS. Biografi tokoh-tokoh terkenal di berbagai bidang mengungkapkan, keuletan adalah kemampuan untuk bangkit ketika jatuh, komitmen yang tak dapat diganggu gugat untuk tetap berjuang mencapai tujuan tanpa peduli rintangan, karakteristik tunggal yang membuat orang menjadi emimpin yang sukses.
f. Pemikiran radial
Otak bekerja seperti gelombang nuklir atau pancaran cahaya dari bola lampu. Otak bekerja dengan cara multi-ordinasi radial (berkaitan dengan banyak hal/ melakukan banyak asosiasi, menghubungkan satu hal dengan berbagai hal, antarberbagai hal dan berkembang tak terbatas). Prinsip berpikir radial, antara lain melalui aktivitas berpikir menghubungkan satu benda dengan ribuan benda lain, satu objek dengan ribuan objek yang lain, satu kata dengan ribuan kata yang lain, satu angka dengan ribuan angka yang lain, satu gambar atau rupa dengan ribuan gambar atau rupa yang lain, satu nada dengan nada-nada yang lain, dan satu citarasa dengan ribuan citarasa yang lain akan mengembangkan daya kreativitas siapa saja secara tak terbatas.
g. Otak sebagai mekanisme pencari kebenaran
Otak adalah mekanisme pencari kebenaran. Alasannya adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup individu. Jika bayi atau individu tidak tahu bahwa api bisa membakar, pisau bisa memotong jari, dan mobil bisa menabrak orang, berkuranglah kesempatan untuk mempertahankan hidup.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika hampir semua tokoh jenius terkenal memandang tujuan hidup mereka sebagai “pencari kebenaran” baik dalam bidang ilmu, seni, filsafat, agama, teknologi. Tidak mengherankan jika banyak tokoh pahlawan, tokoh berjasa, tokoh suci, pemimpin negara dan masyarakat sering mengatakan, bahwa tujuan perjuangannya adalah mencari atau menegakkan kebenaran.
7. Kreativitas sebagai Fokus Pendekatan Belajar Aktif
Belajar aktif melibatkan penggunaan pancaindera. Makin banyak indera yang digunakan makin efektif kegiatan belajar karena peserta didik akan lebih mudah menangkap apa yang dipelajari. Penggunaan lebih banyak indera saja tidaklah ukup. Baik untuk memanfaatkan pancaindera maupun untuk melancarkan kinerja otak, pendekatan belajar aktif mempersyaratkan gerakan. Karena itu, kebanyakan kegiatan belajar aktif melibatkan tindakan (action) peserta didik. Gerakan yang berfungsi memperlancar kinerja otak diwujudkan dalam bentuk tindakan atau action dalam pendekatan belajar aktif.
Hasil-hasil riset tentang otak pada akhirnya sampai kepada kesimpulan, bahwa kreativitas adalah entitas (ujud) yang mengkombinasikan dan mensinergikan kinerja belahan otak kiri dan kanan otak manusia. Karena itu, dalam penerapan pendekatan belajar aktif, kreativitas selalu menjadi fokus aplikasi.
Kreativitas mensinergikan fungsi dan aktivitas belahan kiri dan kanan otak. Dalam praksis di sekolah, para guru dilatih dan didorong agar menerapkan beragam
aktivitas guna mengembangkan potensi kreatif peserta didik. Kreativitas adalah fokus belajar aktif yang dilakukan melalui penciptaan ruang bagi peserta didik untuk berkreasi. Kreativitas utamanya mengandaikan tidak ada penilaian (judgment ) salah-benar dari guru karena kepada peserta didik diberi ruang kebebasan berekspresi. Guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing peserta didik untuk menemukan makna dan mengembangkan kompetensi.
Gambaran umum perbandingan pengajaran konvensional dan belajar aktif
Perbandingan antara pengajaran konvensional (tradisional) dan pengajaran yang berciri belajar aktif dikemukakan pada tabel berikut ini.
Perbandingan pengajaran konvensional dan belajar aktif
Pengajaran konvensional Belajar aktif
Berpusat kepada guru (teacher- centred) Berpusat kepada peserta didik (student- centred)
Kurikulum berbasis materi (konten, pengetahuan) Kurikulum berbasis kompetensi
Pengetahuan dangkal (surface knowledge) Pengetahuan mendalam (deep knowledge)
Kegiatan belajar pasif, berpikir linier, tak efektif, membosankan Kegiatan belajar aktif, kreatif, efektif, menyenangkan
Sumber belajar: guru dan buku pelajaran Sumber belajar bervariasi, termasuk lingkungan
Pengorganisasian kelas: duduk berbaris Pengorganisasian kelas: bervariasi, dan bisa diatur duduk berkelompok
Pajangan: gambar pahlawan, daftar absensi, poster buatan pemerintah Pajangan bervariasi, terutama hasil pekerjaan peserta didik (2 dimensi, 3 dimensi)
Portofolio tak diterapkan Portofolio diterapkan dan dipakai untuk penilaian
Pengajaran untuk peserta didik kelas dan jenjang yang sama (monograde teaching) Pengajaran untuk peserta didik multikelas dan multijenjang (multigrade teaching) dapat diterapkan
Struktur bab buku pelajaran: 90% informasi + 10% soal latihan dan evaluasi Struktur bab buku pelajaran: Informasi – kegiatan – informasi – kegiatan, dst.
. Ilustrasi amat kurang dan monoton Banyak ilustrasi beragam.
Penilaian: dominansi tes tertulis, terutama pilihan ganda dan esai Penilaian: tes, penilaian karya peserta didik 2 dan 3 dimensi, penilaian unjuk kerja (performance ), penilaian perilaku
Umpan balik kepada peserta didik jarang diberikan Umpan balik kepada peserta didik sering dilakukan
Ujian nasional: dominasi tes pilihan ganda Ujian nasional: tes pilihan ganda, esai, data-pertanyaan, ujian praktik
E. Unsur-Unsur Belajar Aktif
Hal penting dalam pelaksanaan belajar aktif adalah peserta didik dibimbing untuk mengalami (mendapatkan pengalaman melalui observasi (pengamatan dengan pancaindera) dan berbuat atau melakukan sambil berdialog dengan diri sendiri (refleksi) dan dengan orang lain (melalui interaksi yang mencakup komunikasi). Karena itu, komponen belajar aktif yang saling berkaitan adalah observasi, berbuat, interaksi dan komunikasi.
Berdasarkan komponen-komponen ini prinsip-prinsip belajar aktif diterapkan. Dalam penerapan konkret dalam proses pendidikan dan pengajaran, prinsip-prinsip disertai komponen-komponen belajar aktif melahirkan unsur-unsur pendekatan belajar aktif.
1. Dari Pendekatan Berpusat pada Guru ke Berpusat pada Peserta Didik
Orientasi utama pendekatan belajar aktif adalah mengalihkan pola belajar guru yang berpusat pada guru (teacher-centred approach) ke pola belajar yang berpusat pada peserta didik (student-centred approach).
2. Keterampilan Berpikir (thinking skills)
Sejak Benjamin Bloom memperkenalkan taksonomi domain kognitif dan afektif pada pertengahan tahun 1960-an, dunia pendidikan cenderung terpaku kepada pola pengembangan kurikulum, pelaksanaannya dalam proses belajar-mengajar, dan penilaian yang amat behavioristik. Banyak ahli berusaha memperbaiki tingkatan keterampilan berpikir Bloom.
Dewasa ini, tingkatan keterampilan berpikir sudah diramu ke tingkatan keterampilan berpikir kompleks. Salah satu acuan yang sering diikuti adalah Matriks Gubbin. Keterampilan berpikir tingkat kompleks adalah jenis pemahaman yang memerlukan berpikir mendasar (basic thinking) dan mempunyai ciri-ciri: menuntut berbagai kemungkinan jawaban, penilaian dari orang yang berpartisipasi, dan penempatan makna pada suatu situasi. Jenis berpikir kompleks termasuk berpikir kritis, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah.
Cara belajar pasif tak akan mampu mendorong dan membina peserta didik sampai mencapai keterampilan berpikir kompleks. Salah satu pilihan agar peserta didik mampu mengembangkan keterampilan berpikir kompleks adalah menerapkan belajar aktif.
3. Penggunaan Beragam Sumber Belajar
Komponen lain pendekatan ini adalah peralihan dari penggunaan guru sebagai sumber belajar utama dan buku teks sebagai sumber belajar dominan ke arah penggunaan aneka-ragam sumber belajar. Gambar berikut ini penjelasan yang dimaksud!
4. Pengorganisasian Kelas
Komponen lain pendekatan belajar aktif adalah peralihan dari pengorganisasian kelas berbentuk berbaris ke desain yang lebih fleksibel, guna: memberi peluang lebih besar kepada peserta didik dan guru untuk lebih banyak berinteraksi dan erkomunikasi; memudahkan mobilitas guru untuk membantu peserta idik/kelompok yang mengalami kesulitan dan memberikan umpan balik kepada peserta didik; memudahkan mobilitas peserta didik untuk saling berinteraksi dan memungkinkan peserta didik belajar juga sambil berdiri, bergerak, dan berjalan; membuka peluang kepada peserta didik mengkakses sumber belajar berupa pajangan karya peserta didik, buku, referensi, dan sumber belajar lainnya; dan memudahkan pergantian anggota kelompok.
6. Penanganan Perbedaan Individual
Dalam proses belajar-mengajar yang berciri belajar aktif, guru hendaknya mengenal perbedaan individual peserta didik dan memberikan perlakuan belajar sesuai dengan ciri individual peserta didik tersebut. Tiap peserta didik memiliki bakat yang berbeda, menunjukkan kemampuan dominan dalam kecerdasan yang berbeda, menunjukkan minat yang berbeda, dan mengalami kesulitan belajar yang berbeda. Dalam proses belajar-mengajar guru hendaknya memperhatikan dan memberikan perlakuan yang sesuai dengan ciri individu yang berbeda.
F. Indikator Sekolah dan Kelas yang Melaksanakan Belajar Aktif
Kriteria penerapan belajar aktif dikemukakan dalam bentuk indikator proses belajar. Indikator dirumuskan agar dapat digunakan sebagai pedoman observasi baik di tingkat sekolah maupun pada proses belajar di tingkat kelas.
1. Indikator Sekolah yang Melaksanakan Belajar Aktif
Indikator (tanda-tanda) terjadinya proses belajar yang aktif dan kreatif pada setting sekolah, ditinjau dari aspek sumber daya manusia, ekspektasi/harapan sekolah, tata tertib, fokus kurikulum, kegiatan sekolah, lingkungan, fasilitas, nilai dan norma, serta kreativitas dan inovasi, adalah sebagai berikut:
a. Ekspektasi sekolah, kreativitas, dan inovasi
1) Prestasi belajar peserta didik lebih ditekankan pada ”menghasilkan” daripada ”memahami”.
2) Sekolah menyelenggarakan ajang ‘kompetisi’ yang mendidik dan sehat.
3) Sekolah ramah lingkungan (misalnya; ada tanaman atau pohon, pot bunga, tempat sampah).
4) Lebih baik lagi jika terdapat produk/karya peserta didik yang mempunyai nilai artistik dan ekonomis/kapital untuk dijual.
5) Lebih baik jika ada pameran karya peserta didik dalam kurun waktu tertentu, misalnya sekali dalam satu tahun.
6) Karya peserta didik lebih dominan daripada pemasangan beragam atribut sekolah.
7) Kehidupan sekolah terasa lebih ramai, ceria, dan riang.
8) Sekolah rapi, bersih, dan teratur.
9) Komunitas sekolah santun, disiplin, dan ramah.
10) Animo masuk ke sekolah itu makin meningkat.
11) Sekolah menerapkan seleksi khusus untuk menerima peserta didik baru.
12) Ada forum penyaluran keluhan peserta didik.
13) Iklim sekolah lebih demokratis.
14) Diselenggarakan lomba-lomba antarkelas secara berkala dan di tingkat pendidikan menengah ada lomba karya ilmiah peserta didik.
15) Ada program kunjungan ke sumber belajar di masyarakat.
16) Kegiatan belajar pada silabus dan RPP menekankan keterlibatan peserta didik secara aktif.
17) Peserta didik mengetahui dan dapat menjelaskan tentang lingkungan sekolah (misalnya, nama guru, nama kepala sekolah, dan hal-hal umum di sekolah itu).
18) Ada program pelatihan internal guru (inhouse training) secara rutin
19) Ada forum diskusi atau musyawarah antara kepala sekolah dan guru maupun tenaga kependidikan lainnya secara rutin.
20) Ada program tukar pendapat, diskusi atau musyawarah dengan mitra dari berbagai pihak yang terkait (stakeholders).
b. Sumber daya manusia
1) Kepala sekolah peduli dan menyediakan waktu untuk menerima keluhan dan saran dari peserta didik maupun guru.
2) Kepala sekolah terbuka dalam manajemen, terutama manajemen keuangan kepada guru dan orang tua/komite sekolah.
3) Guru berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar.
4) Guru mengenal baik nama-nama peserta didik.
5) Guru terbuka kepada peserta didik dalam hal penilaian.
6) Sikap guru ramah dan murah senyum kepada peserta didik, dan tidak ada kekerasan fisik dan verbal kepada peserta didik.
7) Guru selalu berusaha mencari gagasan baru dalam mengelola kelas dan mengembangkan kegiatan belajar.
8) Guru menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik.
9) Peserta didik banyak melakukan observasi di lingkungan sekitar dan terkadang belajar di luar kelas.
10) Peserta didik berani bertanya kepada guru.
11) Peserta didik berani dalam mengemukakan pendapat.
12) Peserta didik tidak takut berkomunikasi dengan guru.
13) Para peserta didik bekerja sama tanpa memandang perbedaan suku, ras, golongan, dan agama.
14) Peserta didik tidak takut kepada kepala sekolah.
15) Peserta didik senang membaca di perpustakaan dan ada perilaku cenderung berebut ingin membaca buku bila datang mobil perpustakaan keliling.
16) Potensi peserta didik lebih tergali serta minat dan bakat peserta didik lebih mudah terdeteksi.
17) Ekspresi peserta didik tampak senang dalam proses belajar.
18) Peserta didik sering mengemukakan gagasan dalam proses belajar.
19) Perhatian peserta didik tidak mudah teralihkan kepada orang/tamu yang datang ke sekolah.
c. Lingkungan, fasilitas, dan sumber belajar
1) Sumber belajar di lingkungan sekolah dimanfaatkan peserta didik untuk belajar.
2) Terdapat majalah dinding yang dikelola peserta didik yang secara berkala diganti dengan karya peserta didik yang baru.
3) Di ruang kepala sekolah dan guru terdapat pajangan hasil karya peserta didik.
4) Tidak ada alat peraga praktik yang ditumpuk di ruang kepala sekolah atau ruang lainnya hingga berdebu.
5) Buku-buku tidak ditumpuk di ruang kepala sekolah atau di ruang lain.
6) Frekuensi kunjungan peserta didik ke ruang perpustakaan sekolah untuk membaca/meminjam buku cukup tinggi.
7) Di setiap kelas ada pajangan hasil karya peserta didik yang baru.
8) Ada sarana belajar yang bervariasi.
9) Digunakan beragam sumber belajar.
d. Proses belajar-mengajar dan penilaian
1) Pada taraf tertentu diterapkan pendekatan integrasi dalam kegiatan belajar antarmata pelajaran yang relevan.
2) Tampak ada kerja sama antarguru untuk kepentingan proses belajar- mengajar.
3) Dalam menilai kemajuan hasil belajar guru menggunakan beragam cara sesuai dengan indikator kompetensi. Bila tuntutan indikator melakukan suatu unjuk kerja, yang dinilai adalah unjuk kerja. Bila tuntutan indikator berkaitan dengan pemahaman konsep, yang digunakan adalah alat penilaian tertulis. Bila tuntutan indikator memuat unsur penyelidikan, tugas (proyek) itulah yang dinilah. Bila tuntutan indikator menghasilkan suatu produk 3 dimensi, baik proses pembuatan maupun kualitas, yang dinilai adalah proses pembuatan atau pun produk yang dihasilkan.
4) Tidak ada ulangan umum bersama, baik pada tataran sekolah maupun wilayah, pada tengah semester dan / atau akhir semester, karena guru bersangkutan telah mengenali kondisi peserta didik melalui diagnosis dan telah melakukan perbaikan atau pengayaan berdasarkan hasil diagnosis kondisi peserta didik.
5) Model rapor memberi ruang untuk mengungkapkan secara deskriptif kompetensi yang sudah dikuasai peserta didik dan yang belum, sehingga dapat diketahui apa yang dibutuhkan peserta didik.
6) Guru melakukan penilaian ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Hal ini dilakukan untuk menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sekaligus sebagai alat diagnosis untuk menentukan apakah peserta didik perlu melakukan perbaikan atau pengayaan.
7) Menggunakan penilaian acuan kriteria, di mana pencapaian kemampuan peserta didik tidak dibandingkan dengan kemampuan peserta didik yang lain, melainkan dibandingkan dengan pencapaian kompetensi dirinya sendiri, sebelum dan sesudah belajar.
8) Penentuan kriteria ketuntasan belajar diserahkan kepada guru yang bersangkutan untuk mengontrol pencapaian kompetensi tertentu peserta didik. Dengan demikian, sedini mungkin guru dapat mengetahui kelemahan dan keberhasilan peserta dalam kompetensi tertentu.
2. Indikator Kelas yang Melaksanakan Belajar Aktif
Indikator (tanda-tanda) terjadinya proses belajar-mengajar yang aktif dan kreatif pada setting kelas ditinjau dari kerja kelompok, teknik bertanya, cara menilai, penggunaan sumber belajar, dan pajangan yang dapat digunakan sebagai pedoman observasi proses belajar-mengajar dikemukakan berikut ini.
a. Kerja kelompok
1) Semua peserta didik aktif dan mendapatkan kesempatan yang sama.
2) Waktu yang diberikan untuk suatu kegiatan peserta didik cukup.
3) Peserta didik tampak disiplin dalam melaksanakan tugas.
4) Adanya instruksi tugas yang jelas dan mudah dipahami oleh peserta didik.
5) Jumlah peserta didik perkelompok tidak lebih dari 6 orang.
6) Adanya target waktu penyelesaian suatu tugas dari guru.
7) Tersedia alat dan bahan yang cukup dalam melaksanakan kegiatan belajar.
8) Tampak kegiatan eksplorasi jika dituntut kompetensi yang sedang dikembangkan yang difasilitasi guru.
9) Adanya umpan balik antarpeserta didik dalam kelompok, antarkelompok, dan antara guru-kelompok/seluruh kelas.
10) Peserta didik berani mengemukakan pendapat.
11) Terjadi saling menghargai dalam kelompok dan antarkelompok.
12) Adanya penugasan yang jelas yang dilakukan melalui kegiatan individual, pasangan, kelompok, dan/atau seluruh kelas.
13) Tampak ada diskusi dan interaksi dalam kelompok untuk membuat kesimpulan kerja kelompok dan penguatan berupa penyimpulan seluruh kelas.
14) Peserta didik diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri tanpa harus diberitahu lebih dulu oleh guru.
b. Kegiatan belajar
1) Kegiatan belajar suatu kompetensi dikaitkan dengan kompetensi lain pada suatu mata pelajaran atau mata pelajaran lain.
2) Kegiatan belajar menarik minat peserta didik.
3) Kegiatan belajar terasa menggairahkan peserta didik.
4) Semua peserta didik terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar.
5) Mendorong peserta didik berpikir secara aktif dan kreatif.
6) Saling menghargai pendapat dan hasil kerja (karya) teman.
7) Mendorong rasa ingin tahu peserta didik untuk bertanya.
8) Mendorong peserta didik melakukan eksplorasi (penjelajahan).
9) Mendorong peserta didik mengekspresi gagasan dan perasaan secara lisan, tertulis, dalam bentuk gambar, produk 3 dimensi, gerak, tarian, dan / atau permainan.
10) Mendorong peserta didik agar tidak takut berbuat kesalahan.
11) Menciptakan suasana senang dalam melakukan kegiatan belajar.
12) Mendorong peserta didik melakukan variasi kegiatan individual (mandiri), pasangan, kelompok, dan / atau seluruh kelas.
13) Mendorong peserta didik bekerja sama guna mengembangkan keterampilan sosial.
14) Kegiatan belajar banyak melibatkan berbagai indera.
15) Menggunakan alat, bahan, atau sarana bila dituntut oleh kegiatan belajar.
16) Melibatkan kegiatan melakukan, seperti melakukan observasi, percobaan, penyelidikan, permainan peran, permainan (game).
17) Mendorong peserta didik melalui penghargaan, pujian, pemberian semangat.
18) Hasil kerja (karya) peserta didik dipajangkan.
19) Menerapkan teknik bertanya guna mendorong peserta didik berpikir dan melakukan kegiatan.
20) Mendorong peserta didik mencari informasi, data, dan mencari jawaban atas pertanyaan.
21) Mendorong peserta didik menemukan sendiri.
22) Peserta didik pada umumnya berani bertanya secara kritis.
c. Teknik bertanya dan penilaian proses
1) Dalam proses belajar-mengajar, guru lebih menekankan pertanyaan terbuka daripada pertanyaaan tertutup, seperti pertanyaan mengapa, bagaimana, apa pendapatmu, apa yang terjadi bila….
2) Setiap peserta didik diberi kesempatan lebih dahulu untuk mencoba menjawab pertanyaaan temannya.
3) Peserta didik berani mengemukakan pendapat dan menjawab pertanyaan temannya.
4) Semua peserta didik diberi kesempatan yang cukup untuk mengemukakan pendapat dan bertanya.
5) Menggunakan cara penilaian yang bervariasi, seperti tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja, proyek, dan pengamatan partisipasi peserta didik dalam proses belajar-mengajar sehari-hari sesuai dengan karakteristik materi atau kompetensi yang dinilai.
6) Menghindari penilaian tertulis dengan bentuk pilihan ganda, terutama pada ulangan harian dan ulangan tengah semester. Sebaik apa pun tes bentuk pilihan ganda tidak akan mampu menilai seluruh kompetensi peserta didik pada suatu mata pelajaran.
7) Guru memberikan tugas-tugas penilaian yang bermakna, terkait langsung dengan kehidupan nyata peserta didik, seperti menulis surat, menulis laporan hasil kegiatan/pengalaman, melakukan percobaan, memperkenalkan orang lain, menendang bola, memainkan alat musik, menjernihkan air, membaca puisi, dan berkomunikasi dengan telepon.
8) Cara menilai disesuaikan dengan kompetensi yang dituju.
9) Guru memberi umpan balik atau catatan bagi setiap tugas yang diberikan.
10) Guru membawa format pengamatan ketika memasuki kelas.
11) Remedial diberikan bagi masing-masing peserta didik sesuai dengan kebutuhan peserta didik yang terlihat dari indikator yang belum tuntas.
12) Dimensi sikap dinilai dengan berbagai cara, seperti observasi perilaku, pertanyaan langsung, dan laporan pribadi. Observasi perilaku dapat penggunakan buku catatan khusus atau catatan harian tentang kejadian- kejadian yang berkaitan dengan peserta didik selama di sekolah.
13) Membuat catatan tentang perubahan perilaku atau sikap peserta didik secara keseluruhan, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran tertentu maupun program pengembangan diri.
14) Membuat rubrik penyekoran.
d. Penggunaan beragam sumber belajar
1) Menggunakan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar.
2) Menggunakan pengalaman peserta didik sebagai sumber belajar.
3) Menggunakan sumber belajar dari lingkungan sosial (masyarakat seperti keluarga, tetangga, toko, pasar, kantor, dan panti asuhan).
4) Menggunakan sumber belajar dari lingkungan budaya, seperti lagu daerah, pakaian daerah, tarian daerah, dan bangunan bersejarah).
5) Menggunakan sumber belajar dari media cetak seperti koran, majalah, dan leaflet.
6) Menggunakan sumber belajar dari media elektronik seperti acara radio, TV, video, dan/atau internet.
e. Pajangan
1) Pajangan cukup “ramai” dalam kelas.
2) Ada portofolio peserta didik dalam kelas.
3) Ada hasil kerja peserta didik yang dipajangkan (bukan sekadar isian lembar kerja peserta didik, atau jawaban soal evaluasi).
4) Pajangan ditata rapi dan dapat dibaca peserta didik karena dipajang tak terlalu tinggi.
5) Ada pajangan karya peserta didik secara individual.
6) Hasil karya peserta didik memiliki nilai artistik.
G. Contoh-Contoh Pelaksanaan Belajar Aktif
1. Contoh-contoh Pelaksanaan Belajar Aktif
Berikut ini dikemukakan daftar contoh kegiatan yang membuat peserta didik aktif.
KEGIATAN YANG MENGAKTIFKAN PESERTA DIDIK ( Diskusikan dan tuliskan daftar contoh kegiatan belajar yang mengaktifkan peserta didik! }
2. Pengembangan Karakter Bangsa sebagai Tujuan Jangka Panjang Upaya menggalakkan penerapan belajar aktif ini dilandasi aspirasi jangka panjang untuk mengembangkan karakter bangsa yang mengarusutamakan nilai budaya dan kewirausahaan. Kebijakan ini dipilih karena bangsa yang unggul dalam persaingan global adalah bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang berkarakter bangsa, yang dibangun di atas fondasi nilai-nilai budaya dan berorientasi ke masa depan melalui penanaman jiwa dan semangat kewirausahaan. Nilai-nilai pengembangan karakter bangsa yang mengarusutamakan nilai budaya dan kewirausahaan dikemukakan pada daftar berikut ini.
Nilai-nilai pengembangan karakter bangsa
1. Religius
2. Jujur
3. Toleransi
4. Disiplin
5. Kerja keras
6. Kreatif
7. Mandiri
8. Demokratis
9. Rasa ingin tahu
10. Semangat kebangsaan
11. Cinta tanah air
12. Menghargai prestasi
13. Bersahabat / komunikatif
14. Cinta damai
15. Gemar membaca
16. Peduli lingkungan
17. Peduli sosial
Ciri-ciri potensial individu yang menunjukkan profil seorang wirausahawan ikemukakan berikut ini.
Ciri-ciri yang menunjukkan profil seorang wirausahawan :
1. Percaya diri
2. Berorientasi tugas
dan hasil
3. Berani mengambil
risiko
4. Kepemimpinan
5. Keorisinilan
6. Berorientasi ke masa
depan
Sumber: http://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/komponen-kurikulum-pendidikan-islam.html Kementrian Pendidikan Nasional; Badan Penelitian dan Pengembangan pusat Kurikulum: Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai budaya untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa (2010)