Dinamika Perkembangan Pendidikan Islam di Asia Tenggara


BAB I
PENDAHULUAN

Kawasan Asia Tenggara terdiri dari Negara-negara dengan pemeluk agamanya yang beragam. Untuk meneliti dinamika perkembangan pendidikan Islam, diambil sampel Negara – Negara mayoritas dengan penduduknya Islam, diambil sampel Negara-negara mayoritas dengan penduduknya bergama Islam dan Negara-negara dengan agama Islam yang minoritas. Negara-negara dengan pemeluk agama Islam yang mayoritas adalah Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam sedangkan Negara-neara dengan pemeluk agama Islam yang minoritas adalah Thailand, SIngapura, dan Pilipina.

Perkembangan pendidikan islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern. Lembaga pendidikan islam telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya.Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara komprehensif. Kini sudah banyak hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan islam tersebut. Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola pendidikan islam pada masa-masa berikutnya.
Untuk melakukan analisis ini dilaksanakan beberapa langkah, yaitu lewat studi perpustakaan termasuk di dalamnya studi dokumen, lewat studi dokumen ditemukan informasi tentang dinamika pendidikan Islam yang dikonsentrasikan pada lima masalah pokok yang telah disebutkan terdahulu. Studi keperpustakaan ini akan memberi gambaran awal tentang pendidikan Islam di kawasan ini. Selanjutnya dilakukan studi lapangan untuk melihat dinamika pendidikan Islam dari tradisional ke modern. Dengan demikian, maka di tiap-tiap Negara tidak perlu lepas pengamatan dan analisis tentang adanya dua bentuk lembaga pendidikan Islam sampai hari ini yakni lembaga pendidikan tradisional dan lembaga pendidikan modern.
BAB II
ISI   
     A .   Pendidikan Islam di Indonesia
1.      Pendidikan Zaman Kerajaan Islam
Dikatakan Ibn Batutah dalam bukunya Rihlah Ibn Batutah bahwa ketika ia berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja setelah shalat jum’at sampai waktu ashar. Dengan hal tersebut ia mengira bahwa pada saat itu Samudra Pasai sudah merupakan pusat agama islam dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai Negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.[1]
Dengan demikian, Samudra Pasai merupakan tempat studi islam yang paling tua yang dilakukan oleh sebuah kerajaan. Sementaraa itu, untuk luar kerajaan , ajaran islam diduga sudah dilakukan di koloni-koloni tempat para pedagang di pelabuhan. Proses ajaran islam di kalangan Kerajaan diduga dilakukan di mesjid kerajaan bagi anak-anak pembesar Negara, di mesjid-mesjid lain, mengaji di rumah-rumah guru dan di surau-surau untuk masyarakat umum. Dari semua itu lalu berkembang menjadi lembaga pendidikan islam.
Samudra Pasai terus menjadi pusat studi islam di Asia Tenggara, walaupun secara politik tidak berpengaruh lagi. Ketika kerajaan Islam Malaka menjadi pusat kegiatan politik, Malaka juga berkembang menjadi pusat studi Islam. Tapi peran Samudra Pasai tidak berkurang, bahkan fatwah-fatwah yang tidak bias di selesaikan ulama di Malaka maka mereka minta bantuan ulama Samudra Pasai. Belum dapat di ketahui secara pasti bagaimana ajar islam dilakukan di Malaka, namun kemungkinan sama seperti yang dilakukan di Samudra Pasai.
Istana juga berperan sebagai tempat mudzakarah masalah ilmu pengetahuan dan sebagai pustaka, dan juga sebagai pusat penyalinan dan penerjemahan kitab-kitab keislaman.[2] Mata pelajaran yang di bagikan di lembaga pendidikan Islam dibagi menjadi dua tingkatan:
a.       Tingkat dasar terdiri atas pelajaran membaca, menulis, bahasa Arab, mengaji Al-Qur’an dan ibadah praktis.
b.      Tingkat yang lebih tinggi yaitu dengan materi-materi ilmu fiqih, tasawuf, ilmu kalam, dan lain sebagainya.
Banyak ulama dari Afghanistan, Malabar, Hindustan dan terutama Dari Arab untuk mengambil peran menyebarkan agama Islam di Malaka. Para ulama itu biasanya di beri kedudukan yang tinggi di kerajaan dan para penuntut ilmu banyak berdatangan dari Asia Tenggara. Dari jawa, Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah belajar di Malaka, dan setelah selesai belajar mereka mendirikan tempat pendidikan Islam di tempat mereka masing-masing.
Di kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda juga sangat memerhatikan pengembangan agama dengan mendirikan masjid-masjid seperti Masjid Bait al-Rahman di Banda Aceh dan pusat-pusat pendidikan Islam yang disebut dayah. Sultan mengambil ulama sebagai penasihatnya, yang terkenal diantaranya adalah Samsuddin al-Sumatrani. Tradisi ini juga dilakukan oleh sultan selanjutnya, sehingga di Aceh terdapat ulama-ulama terkenal yang menyebarkan Islam di Asia Tenggara.
Para ulama besar ini berjasa mendirikan dayah yang kemudian berkembang menjadi perguruan tinggi. Para ulama dari luar Aceh yang dating menuntut ilmu di sana seperti Syaikh Burhanuddin yang berasal dari Ulakan-Pariaman-Minangkabau. Setelah tamat iya pulang kemudian mendirikan lembaga pendidikan islam yang di sebut surau. Kemajuan pesat lembaga pendidikan di aceh ini membuat orang memanggilnya “Serambi Mekkah”.[3] Dan setelah mereka belajar di Aceh mereka melanjutkan di Mekkah.
Sistem pengajaran bagi setiap umat Islam, sebagai mana di negeri-negeri Muslim, adalah pengajian Alquran. Pada tahap awal yaitu hapal bacaan hijaiyah sesudah itu menghapal surat pendek Juz’Amma beserta tajwidnya yang diperlukan untuk shalat.[4] Pelajaran selanjutnya berkenaan dengan persoalan yang berkaitan dengan hokum islam (fiqih) dan tasawuf. Yang member pelajaran pada tahap awal di sebut alim, sedangkan pelajaran yang lebih lanjut diberikan oleh ulama besar terutama yang pernah belajar di Makkah.
Pendidikan islam berkembang pesat setelah para ulama mengarang buku-buku pelajaran keislaman dengan bahasa Melayu, seperti karya-karya Hamzah Fanzuri, Nuruddin al-Raniri, Abd. Rauf Singkel di Aceh. Dan kebahasa-bahasa daerah lainnya, terutama para ulama yang pulang dari Makkah.
Diminangkabau lembaga pendidikan dinamakan surau. Dimana dulu surau dijadikan sebagai tempat menginap anak bujang, setelah islam datang lalu berubah fungsi sebagai tempat shalat, pengajaran dan pengembangan islam seperti belajar membaca Al-Quran.
Yang pertama melakukan islamisasi kepada surau adalah Syaikh Burhanuddin (1641-1691) setelah menuntut ilmu kepada Abd.Rauf Singkel di Kutaraja Aceh. Lalu kembali ke kampung halamannya, lalu mendirikan surau untuk mendidik kader ulama yang akan melanjutkan pengembangan islam selanjutnya di minangkabau.[5]
Di Jawa lembaga pendidikan islam disebut pesantren, di Aceh dayah atau Rangkang, di minangkabau surau, pesantren berasal dari nama lembaga sebelum Islam yaitu berasal dari bahasa Tamik santri yang berarti guru ngaji.[6] Dari lembaga pendidikan inilah menyebar agama islam ke berbagai pelosok jawa dan wilayah Indonesia bagian Timur. Oleh karena itu, di jawa sudah ada lembaga pendidikan sejak abad ke-15 dan 16.
Menurut sumber local, lembaga pendidikan islam pertama di Jawa adalah Pesantren Giri dan Pesantren Gresik di Jawa Timur. Pesantren Gresik didirikan Maulana Malik Ibrahim  yang mendidikan para mubalig yang nantiknya akan menyiarkan agama islam ke seluruh Jawa. Pesantren Giri didirikan oleh Sunan Giri setelah ia kembali dari menuntut ilmu di Malaka.sunan Giri I (Raden Paku) ada tahun 1485 menetap di Giri sebagai kiai besar dengan gelar Prabu (Raja) Samatra. Ia membangu Istana dan masjid sebagai sebuah kerajaan Islam, sehingga digelari raja-ulama. Prabu Samatra sebagai orang pertama yang membangun pusat pendidikan.[7] Pesantren Ini dikunjungi oleh santri setempat, Maluku, terutama Hitu.
Terdapat juga pendidikan agama di Ampel-Surabaya-Jawa Timur, dibangun oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta). Berawal dari Giri dan Ampel, pada masa selanjutnya semakin banyak tempat pendidikan di Jawa seperti Tembayat, Prawoto (Demak) dan Gunung Jati Cirebon. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), Sunan Giri, diberi gelar Raja Pandito Ratu sebagai ahli agama yang menyebarkan agama Islam di Cirebon.[8]
Di Kerajaan Islam Banjar Kalimantan Selatan, lembaga pendidikan Islam disebut langgar. Orang pertama yang mendirikan adalah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, seorang ulama Banjar yang pernah menuntut ilmu di Aceh dan Makkah selama beberapa tahun. Sekembalinya ke Banjarmasin, ia membuat langgar  di pinggirin ibukota kerajaan yang kemudian dikenal denangan nama Kampung Dalam Pagar.[9] Langgar  memiliki banyak kemiripan dengan pesantren di Jawa.
Semua ilmu Islam yang diberikan di lembaga pendidikan di Nusantara ditulis dalam bahasa Arab Melayu dan Pegon. Dengan itu para pelajar umumnya bias membaca dan menulis. Tahun 1579 orang Spanyol pernag menguji orang Melayu di Brunai, ternyata kebanyakan mereka bias menulis dengan bahasa tersebut.[10]
Metode pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan keislaman itu adalah sorogan dan bandungan. Sorogan adalah system pengajaran bersifat individual, biasanya bagi murid pemula. Metode ini digunakan yang berlangsung di rumah, masjid, dan langgar secara perorangan. Bandungan adalah sekeompok santri mendengarkan seorang guru memaca, menerjemahkan, menerangkan, mengulas buku Islam dalam bahasa Arab yang sering disebut “kitab kuning” dengan cepat. Santri senior biasanya membantu tugas kiai dan Syaikh. Kiai muda atau ustad masih mendapat pendidikan didalam kelas disebut kelas musyawarah (semacam diskusi) dimana murit mempelajari sendiri kitab-kitab nya.
Dalam pesantren biasanya tidak ada kurikulum, tiap pesantren biasanya memiliki spesifikasi sendiri sesuia pendidikan kiai besarnya. Di Sumatra dan Kalimantan biasanya mereka mempelajari buku-buku orisinil yang di karang oleh ulama Melayu dalam bahasa Melayu, sedangkan di Jawa penekanan diberikan kepada Kitab Arab Klasik yang terkadang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.[11]
Di Jawa setelah berdirinya kerajaan Demak, pendidikan Islam bertambah maju karena telah ada pemerintah yang menyelenggarakan dan pembesar-pembesar Islam membelanya. Tahun 1475di Bintaro dibentuk organisasi Bayankari Islah (angkatan pelopor perbaikan) untuk mempergiat usaha pendidikan dan pengajaran Islam.[12]
Kitab-kitab yang dipakai pada zaman Demak tidak ditemukan, yang ada yaitu yang kini dikenal dengan nama Usul 6 Bis, yaitu sebuah kitab tulisan tangan berisi 6 Bismillah karangan ulama Samakhand yang berisi tentang ilmu-ilmu islam permulaan. Kitab lain adalah Tafsir Jalalain karangan Syaikh Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-sayuti. Ada juga kitab primbon yaitu berisi wejangan wali sedangkan suluk berisi ajaran mistik.[13]
Tahun 1586 pusat kerajaan pindah ke Mataram, zaman sultan agung mataram sesudsh mempersatukan Jawa Tengah dan Jawa Timur, sultan Agung membangun Negara, mempergiat pertanian dan pergagangan. Atas kebijakan sultan agung kebudayaan lama yang berdasarkan kebudayaan asli dan hindu di seesuaikan dengan agama dan kebudayaan islam.
Tiap anak laki-laki maupun perempuan berumur tujuh tahun harus belajar. Kalau ibu bapaknya tidak sangggup mengajar maka akan diserahakan kepada guru ngaji. Selain untuk mengajar anak-anak, diadakan juga tempat pengajian kitab yang diperuntukkan bagi murit yang telah menamatkan Al-Quran. Pelajaran yang mula-mula adalah usul 6 bis, kemudian matan Taqribi, dan Bidayah Al-Hidayah karangan Imam Al-Ghazali.
Pada beberapa daerah kabupaten diadakan Pesantren Besar lengkap dengan pondok-pondoknya untuk melanjutkan pendidikan di desa. Gurunya diberi gelar kiai sepuh atau Kanjeng Kiai, Guru-guru itu biasanya adalah ulama keraton.
Kitab-kitab pesantren biasanya adalah kitab berbahasa Arab, pada umumnya pelajaran berbentuk Syarah / Hasyiyah dalam bermacam-macam cabang ilmu seperti fiqih, tafsir, hadis, ilmu kalam, tasawuf, nahmu, sharaf dan falak. Selain itu diadakan pesantren keahlian (thakassus) yang mengajar satu cabang ilmu dan tarekat yang mengajar satu macam tarekat saja.
Biaya pesantren mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi ditanggung oleh masyarakat islam sendiri, seperti punguan zakat, srakah (iuran nikah,wakaf), dan palagara (pembayaran suatu hajat penduduk desa). Para guru atau orang yang mengajarkannya selain mendapat gaji juga mendapat sawah wakaf.
2.      Pendidikan Islam pada Zaman Penjajahan
a.       Pendidikan Zaman Belanda
Terhadap pendidikan islam semula Belanda membiarkan saja (1610) menurut system Kerajaan Malaka. Namun, lambat laun mereka merubah nya sedik demi sedikit. Sejak perjanjian gianti(1755 M), Belanda mulai berusaha melumpuhkan pengaruh Islam, dimulai dengan daerah yang telahdikuasai yaitu di Yokya dan Surakarta. Tanah untuk penghulu, Naib, Kiai,Anom, Kiai Sepuh, dihapuskan dan di jadikan tanah Gubernemen, dan juga diambil dari tanah untuk bangsawan di yokyakarta. Hal inilah yang diantaranya yang menggerakkan Diponegoro untuk bergerak melawan penjajah. Setelah mengalahkan Dipuonegoro, Belanda melanjutkan usahanya untuk membinasakan organisasi resmi pendidikan islam. Para pengajar dibebas tugaskan dan hasil pungutan zakat, srakah, dan wakaf yang diperuntukkan untuk biaya pendidikan dihapuskan, dan diganti untuk menggaji penghulu yang lungguhnya diambil. Wakaf sawah yang luas, kadang berhekta, yang semula untuk biaya pendidikan dijadikan wakaf masjid saja. Penghulu tidak lagi menjadi Hakim agama, namun diangkat sendiri oleh Belanda yang tak jarang orang yang diangkat tersebut tidak mengerti masalah agama, oleh karena campur tangan belanda tersebut pendidikan islam lama kelamaan menjadi mundur dan makin terdesak oleh pendidikan barat.
Ketika zaman Van den Bosch menjadi gubernur di Jakarta, ia mendirikan satu sekolah Kristen di setiap keresidenan. Van den Capeller (1819) merencanakan mendirikan sekolah dasar bagi penduduk pribumi dengan tujuan dapat membantu pemerintah Belanda. Karena mereka menganggap bahwa pendidikan agama Islam yang dilakukan selama ini tidak membantu pemerintah Belanda. Para santri dianggap buta huruf latin, serta sekolah pesantren dan sederajat tidak berkelas dan disebut sebagai sekolah desa.
Kemunduran pendidikan Islam sampai pada puncaknya sebelum tahun 1900 M yang meliputi seluruh Indonesi. Tahun 1925 Belanda mengeluarkan peraturan lebih ketat bahwa, tidak semua kiai boleh memberikan pendidikan agama. Peraturan tersebut akibat tumbuhnya organisai pendidikan islam, seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam, dan lain-lain. Dan dikeluarkan pula peraturan yang dapat memberantas sekolah yang tidak ada izinnya. Jika melihat peraturan Belanda yang demikian ketat dan menekan pendidikan Islam yang seakan dapat meruntuhkan Islam, namun malah sebaliknya.
Tahun 1901 Belanda melakukan politik Etis yaitu Belanda membangun pendidikan rakyat yang diperuntukkan untuk mempersiapkan pegawai yang bekerja untuk belanda, dan menghabat pendidikan tradisional. Belanda tidak mau mengakui lulusan pendidikan tradisional karena dianggap tidak mampubekerja di pabrik. Karena Belanda mendirikan sekolah, para murid nya belajar disana jadi mengerti system pembelajaran modern. Mereka juga mengenal surat kabar, majalah untuk mengikuti perkembangan jaman, yang membuat mereka mengadakan pembaharuan di bidang pendidikan Islam. Sebenarnya kesadaran mereka juga dipengaruhi ole hide-ide Panislamisme dan reformasi di mesir ketika beberapa pelajar Indonesia belajar disana.
Dengan demikian pembaharuan pendidikan Islam telah dimulai semenjak zaman colonial Belanda. Hal ini ditandai dengan dibangunnya organisasi Islam yang mendirikan sekolah-sekolah islam dengan metode kurikulum dan tidak lagi di surau.
b.       Pendidikan Zaman Jepang
Pada masa awalnya pemerintah Jepang seakan-akan membela kepentingan Islam sebagai siasat untuk memenangkan perang. Untuk menarik dukungan rakyat Indonesia, pemerintahan Jepang membolehkan untuk mendirikan sekolah agama dan pesantren yang terbebas dari pengawasan Jepang.
Zaman Jepang sebenarnya memperlihatkan gambaran buruk dari pendidikan bila dibandingkan dengan pada akhir-akhir pemerintahan Hindia-Belanda. Karena jumlah dari sekolah-sekolah menurun, murid nya, dan juga guru pengajar.
Pada masa Jepang sekolah dasar di jadikan enam tahun, ini sebenarnya menguntungkan kita karena bila dilihat dari segi pendidikannya sendiri yaitu menghapuskan diskriminasi. Selain itu, Jepang juga mengadakan latihan untuk guru-guru di Jakarta. Para anggota pelatihan diambil dari tiap kabupaten, lalu setelah selesai kembali ke daerah masing-masing untuk melanjutkan hasil yang mereka peroleh. Dengan demikian susunan sekolah menjadi dua yaitu:
1.      Sekolah Umum, terdiri dari:
a.       Sekolah Rakyat enam tahun
b.      Sekolah Menengah tiga tahun
c.       Sekolah Menengah Tinggi tiga tahun
2.      Sekolah Guru, terdiri dari:
a.       Sekolah Guru dua tahun
b.      Sekolah Guru empat tahun
c.       Sekolah Guru enam tahun
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digunakan disemua sekolah dan menjadi mata pelajaran utama. Bahasa Jepang  diberikan sebagai mata pelajaran wajib, harus mempelajari adat istiadat Jepang. Bahasa daerah diberikan kepada murit kelas 1 dan 2 sampai murit tersebut dapat mengerti bahasa Indonesia. Para mirid diharuskan melaksanakan kerja bakti untuk mengumpulkan bahan untuk perang, membersihkan asrama, menanam bahan makanan, memperbaiki jalan dan lain-lain. Serta  mereka dilatih jasmani dan latihan militer, semua upaya yang mereka lakukan sebenarnya agar rakyat Indonesia dapat membantu Jepang dalam perang melawan Sekutu. Serta para murid dan guru di latih semangat kejepangan, dengan hormat ke bendera Jepang dan arah istana kaisar Jepang dan lainnya.
Sekolah yang didirikan pada zaman Belanda dibuka lagi, juga sekolah swasta seperti sekolah agama Islam, pesantren, sekolah Kristen, sekolah untuk rakyat Cina dan lainnya namun berada di bawah pengawasan Jepang. Guru-guru yang dididik semuanya mendapat pendidikan bahasa jepang, Budaya Jepang, Adat istiadat Jepang, olah raga, pendidikan pertahanan, dan lain-lain. Setelah itu mereka pulang dan mengajarkan semua yang telah mereka dapat, sehingga mereka menjadi alat propaganda Jepang. Golongan pendidik zaman Jepang mendapat tempat yang baik dalam masyarakat.
Semua perguruan tinggi pada zaman jepang ditutup, walaupun ada yang bukak maka akan berada di bawah pengawasan Jepang. Demikianlah  sekolah zaman kemiliteran Jepang semuanya mengalami kemunduran. Namun, yang paling penting dari sekolah-sekgolah itu adalah nasionalisasi, bahasa pengantar, serta pembentukan kader muda untuk tugas berat di masa yang akan dating.[14]
3.      Pendidikan Jaman Kemerdekaan
Setelah merdeka, pendidikan Islam mulai mendapat tempat dalam system pendidikan Nasional. Di Sumatra, Mahmud Yunus sebagai pemeriksa agama pada kantor pengajaran mengusulkan agar pendidikan agama di sekolah pemerintah ditetapkan dengan resmi serta para gurunya di gaji sama dengan guru mata pelajaran lainnya dan usulnyapun diterima.[15]
Pendidikan islam setahap demi setahap dimajukan, istilah pesantren yang dulu hanya belajar di surau dan menolak moderenisasi, sudah mulai beradaptasi dengan tuntutan jaman. Bahkan ada pesantren yang mendirikan madrasa dan sekolah umum. Upaya ini merupakan usaha ini merupakan usaha untuk menata diri di tengah realitas sosial, dan pesantren semakin berkembang dengan berdirinya sekolah tinggi Islam.
Sekolah agama termasuk madrasah ditetapkan sebagai sebagai sumberdan model pendidikan nasional yang berdasarkan undang-undang 1945. Eksistensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam UU pokok pengajaran dan pendidikan Nomor 4 tahun 1950 bahwa belajar disekolah agama yang telah diakui oleh mentri agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.[16]
Tahun 1975 dikeuarkan SKB dimana madrasa diharapkan memperoleh posisi yang sama dengan sekolah lain dalam segala hal. Selanjutnya dikeluarkan pembukuan kurikulum sekolah umum dan madrasah. Pendidikan sekolah islam terus dikembangkan, tuntutan untuk mendirikan perguruan tinggipun semakin dituntut. Sebelum kemerdekaan sebenarnya di Minangkabau telah berdiri sekolah tinggi pertama yaitu Sekolah Islam Tinggi(PGAI) di Padang. Di Jakarta didirikan Sekolah Tinggi Islam(STI).[17]karena pergolakan kemerdekaan STI dipindahkan ke Yokyakarta lalu berubah nama menjadi UII(Universitan Islam Indonesia) kemudia UII dan UGM dinegerikan dengan syarat berada dibawah naungan Departemen Agama. UII kemudian berubah nama menjadi PTAIN(Perguruan Tinggi Agama Islam Negri). Di Jakarta dibuka ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama), lalu pemerintang menggabungkannya dengan UII dan menjadi IAIN. Kemudian di Aceh juga dibuka IAIN yang merupakan cabang dari IAIN Yokyakarta.[18]
IAIN bertambah pesat dan mendirikan cabang diberbagai wilayah dan banyak juga bermunculan perguruan tinggi Swasta dan pendidikan Islam mengalami kemajuan dalam mengiringi moderenisasi. Pada tahun 2002 IAIN Syarif Hidayatullah berubah menjadi UIN(Universitas Islam Negri) yang didalamnya menyelenggarakan pendidikan selain Fakultas Agama.
B.     Pendidikan Islam di Malaysia
1.      Keadaan Islam di Malaysia
Islam merupakan agama resmi Negara ferasi Malaysia. Hampir 50% dari 13 juta penduduknya adalah Muslim dan sebagian besar diantaranya adalah orang melayu yang tinggal di Semenanjung Malaysia. Adapun sisanya terdiri dari kelompok-kelompok etnik yang minoritas yakni diantaranya Cina yang terdiri sekitar 30% dari penduduk Malaysia dan yang lainnya India dan Arab. Diantara warga Muslim dan non Muslim dapat hidup rukun tanpa ada permusuhan sehingga masyarakat di sana tentram dan damai. Perkembangan Islam di Malaysia telah membawa peradaban-peradaban baru yang diakui Dunia Islam. Sampai saat ini Muslim Malaysia dikenal sebagai Muslim yang taat beribadahnya, kuat memegang hukum Islam dan juga kehidupan beragamannya yang damai serta mencerminkan keIslaman agamanya baik di perkampungan maupun dalam pemerintahan. Peranan seorang ulama di sana sangat penting baik dalam segi dakwah dan dalam pengelolaan sekolah-sekolah.
2.      Visi Misi dan Tujuan Pendidikan Islam
Pada prinsipnya urusan agama Islam menjadi wewenang pemerintah Negara bagian. Seperti ditetapkan dalam Konstitusi Malaysia, sulthan menjadi pimpinan agama Islam di negerinya masing-masing. Sementara itu di negeri yang tidak mempunyai sulthan seperti Pulau Pinang, Malaka, Sabah dan Serawak serta wilayah federal Kuala Lumpur sendiri, pimpinan agama dipercayakan kepada yang di Pertuan Agung. Namun demikian agaknya pemerintah merasa perlu untuk memadu, kalau tidak bisa dikatakan mengatur, agaknya aktifitas Islam di Negara tersebut tidak menjadi sumber instabilitas. Hal ini dilakukan pemerintah, selain untukmenunjukkan perannya dalam mendukung Islam juga dimaksudkan untuk menghilangkan kekhawatiran dan ketakutan warga non Muslim terhadap apa yang dibahasakan Mahathir sebagai “Islam Fundamentalis” yang diantaranya menginginkan penerapan hukum Islam dan atau terbentuknya Negara Islam di Malaysia. Dengan kata lain bahwa pemimpin islam tidak hanya bisa dalam urusan agama tapi juga dalam urusan umum agar menjadi pemimpin yang baik serta cerdas.
3.      Kurikulum Pendidikan
Dalam penerapan kurikulum pendidikan islam di Malaysia tidak berbeda jauh dengan pendidikan Islam di Indonesia, yaitu kurikulum pendidikan islam yang mengandung dua kurikulum inti sebagai kerangka dasar operasional pengembangan kurikulum.
1.      Tauhid sebagai unsure pokok yang tidak dapat dirubah.
2.      Perintah membaca ayat-ayat
Para ahli pendidikan Islam dalam hal ini memberikan interpretasi-interpretasi tersendiri. Prinsip umum yang menjadi dasar kurikulum pendidikan Islam adalah :
a.       Adanya pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran-ajaran dan nilai-nilainya.
b.      Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
c.       Keseimbangan yang relative antara tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
d.      Perkaitan dengan bakat, minat, kemampuan-kemampuan dan kebutuhan pelajar dan juga dengan alam sekitar, fisik dan sosial tempat pelajar itu hidup berinteraksi.
e.       Pemeliharaan atas perbedaan-perbedaan individu diantara pelajar dalam bakat-bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan perbedaan lingkungan masyarakat.
f.       Penyesuaian dengan perkembangan dan perubahan yang berlaku dalam kehidupan .
g.      Pertautan antara mata pelajaran, pengalaman dan aktifitas yang terkandung dalam kurikulum, dan pertautan antara kandungan kurikulum dengan kebutuhan murid dan kebutuhan masyarakat tempat murid itu tinggal.
3.      Sarana Prasarana dan Biaya Pendidikan
Sebagai upaya untuk menunjukkan keseriusannya dalam merespons penegasan kembali Islam, pemerintah menyediakan sejumlah infrastruktur yang diperlukan guna membantu umat Islam dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama mereka. Realisasi paling umum dari keseriusan ini adalah pembangunan sejumlah mesjid untuk memenuhi kebutuhan komunitas Muslim akan tempat ibadah. Selain itu manifestasi penting lainnya dari kesungguhan pemerintah terlihat dari penyediaan infrastruktur bagi kebijakan pro-Islamnya di berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, dakwah dan syiar Islam, pendidikan dan aspek-aspek lainnya dalam meningkatkan keberagamaan masyarakat Muslim.
Kebijakan dan program keislaman dibidang pendidikan terlihat lebih awal mendapat perhatian disbanding bidang lainnya. Hal ini bisa jadi karena posisi menteri pendidikan saat itu dipegang Muhathir Muhammad, sosok yang dikenal banyak berperan dan memberikan kontribusi bagi upaya islamisasi di Malaysia. Di awal karirnya sebagai Menteri Pendidikan Malaysia tahun 1974, Mahathir mengawali langkahnya dengan meninjau ulang system pengajaran agama Islam yang dipandangnya tidak efektif dan tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Segera setelah itu, ia mengadakan pengkajian kembali tentang pendidikan agama Islam dan system pengajarannya serta membentuk dewan penasehat untuk pendidikan agama Islam. Pembentukan Dewan ini dimaksudkan untuk menggerakkan agar Islam menjadi relevan dengan kebutuhan modernisasi masyarakat Muslim Malaysia dan agar gerakan ini dapat dilaksanakan secara koordinatif dan sistematis.
Pada tahun 1975, kementerian Pendidikan mengeluarkan dana senilai MS. 22 juta untuk memperbaiki pelaksanaan pelatihan guru-guru agama Islam. Pada tahun berikutnya, pemerintah mengumumkan pengambilalihan atas 10 sekolah Islam terbaik di Negara itu guna memperbaiki manajemen sekolah tersebut serta meningkatkan kinerja para guru dan pegawainya untuk dijadikan sebagai sekolah model.
Pada tahun 1979, pemerintah mendeklarasikan pendirian Pusat Penelitian islam Asia Tenggara senilai MS 26 Juta. Pada tahun yang sama, pengetahuan agama Islam ditetapkan sebagai materi ujian di tingkat Sijil Pelajaran Malaysia (SPM). Setahun berikutnya pemerintah mendirikan yang pertama kali Maktab perguruan Islam (Islamic Teacher’s College), senilai MS 22 juta, yang dari sana murid-murid berpotensi akan dikirim ke Mesir, Pakistan, dan Indonesia untuk melanjutkan study mereka.
C.    Pendidikan Islam di Singapura
Reallitas sosial ekonomi singapura sekarang telah memaksa penduduk muslim untuk lebih mementingkan pendidikan umum, sehingga menyingkirkan pendidikan agama kebelakang. Kurangnya kurikulum yang sesuai standar dan tidak ada satu badan tunggal yang mempunyai wewenang untuk merencanakan silabus dan kurikulum dan membiayai madrasah sehingga madrasah tersebut dapat memberikan pendidikan yang baik. Masalah pedidikan islam di Singapura yang dirasakan oleh para pemimpim muslim baragam diantaranya: tujuan pendidikan islam dengan sistem pendidikan nasional belum tegas, tidak ada perguruan tinggi islam, tidaada kurikulum yang standar, tidak ada administari pendidikan islam sentral, kurangnya dana dan status ekonomi guru agama, dll.
 Karena gusar dengan apa yang terjadi pada pendidikan islam di singapura maka dibentuklah suatu organisasi yang bernama MENDAKI (majlis pendidikan anak-anak muslim), dalam rencana kerjanya, hal ini diarahkan pada pendidikan umum dan agama pada masyarakat secara berkesinambungan. Karena pendidikan menurut islam peberian bekal dan melatih orang-orang islam agar mampu melaksanakan tanggungjawab mereka yang bersifat umum (duniawi) maupun agama.
1.      Implementasi Sistem Pendidikan Islam di Singapura
Lembaga pendidikan Islam (madrasah) dikelola secara modern dan profesional, dengan kelengkapan perangkat keras dan lunak. Dari seluruh madrasah Islam sebanyak enam buah, seluruhnya di bawah naungan Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS), sistem pendidikan diterapkan dengan memadukan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Keenam madrasah itu adalah madrasah Al-Irsyad Al-Islamiah, madrasah Al-Maarif Al-Islamiah, madrasah Alsagoff Al-Islamiah, madrasah Aljunied Al-Islamiah, madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah, dan madrasah Wak Tanjong Al-Islamiah.
Waktu penyelenggaraan belajar mengajar dimulai dari pukul 08.00 hingga 14.00. Lama waktu ini juga berlaku di sekolah-sekolah umum dan non-madrasah. Agar tidak ketinggalan dengan kemajuan teknologi, maka di setiap madrasah dibangun laboratorium komputer dan internet, serta sistem pendukung pendidikan audio converence. Selain dilengkapi fasilitas internet, setiap madrasah juga mempunyai server tersendiri bagi pengembangan pendidikan modern. "Murid dibiasakan dengan teknologi, terutama teknologi internet. Setiap hari, mereka diberi waktu dua jam untuk aplikasi dan pemberdayaan internet," jelas Mokson Mahori, Lc, guru di madrasah Al Junied Al Islamiyah.Sayangnya, pendidikan Islam baru ada dalam institusi TK hingga madrasah Aliyah (SMU). Untuk perguruan tingginya hingga kini belum ada.
Manajemen yang sama juga diterapkan dalam pengelolaan masjid. Tidak seperti yang dipahami selama ini, bahwa masjid hanya sebatas tempat ibadah mahdhoh an sich (shalat lima waktu dan shalat Jumat). Tetapi, masid di negeri sekuler ini, benar-benar berfungsi sebagaimana zaman Rasulullah, sebagai pusat kegiatan Islam.
Saat ini di Singapura terdapat 70 masjid. Selain tempatnya yang sangat bersih dan indah, juga di ruas kanan dan kiri di setiap masjid terdapat ruangan-ruangan kelas untuk belajar agama dan kursus keterampilan. Berbagai disiplin ilmu agama diajarkan setiap siang dan sore hari. Kegiatan ceramah rohani usai juga diajarkan usai shalat shubuh atau maghrib.
Aktivitas lainnya, diskusi berbagai masalah kontemporer dan keislaman. Diskusi ini biasanya diadakan oleh organisasi remaja di setiap masjid. Dewan pengurus setiap masjid juga menerbitkan media (majalah dan buletin) sebagai media dakwah dan ukhuwah sesama muslim. Berbeda dengan di negara lainnya, para pengurus masjid digaji khusus, dan memiliki ruangan pengurus eksekutif laiknya perkantoran modern.
Keberadaan lembaga swadaya masyarakat Islam (LSM) juga tak kalah pentingnya dalam upaya menjadikan muslim dan komunitas Islam negeri itu potret yang maju dan progresif. Berbagai LSM Islam yang ada terbukti berperan penting dalam agenda-agenda riil masyarakat muslim. Saat ini, tidak kurang dari sepuluh LSM, di antaranya adalah: Association of Muslim Professionals (AMP), Kesatuan Guru-Guru Melayu Singapura (KGMS), Muslim Converts Association (Darul Arqam), Muhammadiyah, Muslim Missionary Soceity Singapore (Jamiyah), Council for the Development of Singapore Muslim Community (MENDAKI), National University Singapore (NUS) Muslim Society, Perdaus (Persatuan dai dan ulama Singapura), Singapore Religious Teachers Association (Pergas), Mercy Relief (Center for Humanitarian), International Assembly of Islamic Studies (IMPIAN), dan Lembaga Pendidikan Alquran Singapura (LPQS).
Seluruh lembaga dan sistem manajemen profesional ini ditujukan bukan saja pada terbentuknya kualitas muslim dan komunitas Islam yang maju, moderat dan progresif, tetapi juga potret yang mampu berkompetisi dan meningkatkan citra Islam di tengah pemandangan global yang kurang baik saat ini. Model demikian inilah yang kini terus diperjuangkan agar Islam yang rahmat menjelma dalam kehidupan masyarakat Singapura. Selain pendidikan agama Islam, siswa juga belajar tentang subjek umum. Para siswa mempelajari agama Islam sementara mereka juga mempelajari subjek-subjek non Islam.  Madrasah Al Irsyad Al Islamiah di Singapura menjadi contoh pendidikan Islam yang sejalan dengan dunia modern di negeri singa tersebut.
Madrasah Al Irsyad Al Islamiah sendiri memiliki total siswa 900 orang mulai dari tingkat dasar hingga menengah. Demi mengakomodasi kurikulum ganda, Islam dan nasional, sekolah memiliki waktu sekolah tiga jam lebih panjang dari pada sekolah umumnya. Madrasah Al Irsyad menempati urutan pertama dari enam madrasah yang ada di Negeri Singa tersebutSelain menganut kurikulum modern, institusi pendidikan Islam tersebut juga memiliki titik utama sebagai Islamic Center dari Dewan Agama Islam Singapura, dewan penasihat yang memberi masukan kepada pemerintah perihal urusan menyangkut MuslimKurikulum yang dipakai di Madrasah Al Irsyad Al Islamiah memadukan materi pendidikan lokal dan internasional bernapas Islam dalam kegiatan belajar mengajar. Bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar yang dominan, baik di dalam kelas maupun di laboratorium komputer, laboratorium ilmu pengetahuan, maupun perpustakaanMetodologi pembelajaran Singapura dinilai sangat efektif dan efisien, serta dapat menghasilkan output (luaran) peserta belajar yang unggul.
D.    Pendidikan Islam di Brunai
1.       Kebijakan Pemerintah Brunai Terhadap Pendidikan Islam
Brunei memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1884. Konstitusi Brunei menegaskan bahwa agama resmi Brunei Darusslam adalah Islam mengikuti mazhab Shafi’i. Meski agama lain seperti Kristen, Budha, dan Hindu dapat dianut dan dilaksanakan secara damai dan harmonis, namun pemerintah menegaskan sejumlah batasan bagi pemeluk agama non-Islam, antar alain pelarangan bagi Non-Muslim untuk menyebarkan ajaran agamanya. Akhir Tahun 2000 dan 2001 pemerintah menahan beberapa orang Kristen, karena duganaan aktivitas subversive (bawah tanah). Mereka akhirnya dilepaskan pada bulan Oktober 2001 setelah bersumpah setia pada Sultan. Tidak dibenarkan satu sekolahpun, termasuk sekolah swasta mengajarkan ajaran agama selain Islam, termasuk materi perbandingan agama. Selain itu, seluruh sekolah termasuk sekolah Cina dan Kristen diharuskan mengajar materi pelajaran Islam kepada seluruh siswanya.
2.       Masalah Pendidikan di Brunai
Lemahnya sumber daya manusia masih menjadi salah satu persoalan yang masih dihadapi Brunei, seperti yang sering disinggung oleh menteri cabinet dan pejabat pelayan masyarakat lainnya. Hal ini semakin terasa terutama bila dikaitkan dengan tantangan mengelola perubahan dalam konteks pembangunan nasional. Lemahnya SDN dapat dilihat sebagai salah satu factor kausal mengapa Brunei dihadapkan pada peningkatan pengangguran, dan beberapa pekerjaan tertentu masih mempekerjakan orang asing. Solusi utama yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini adalah dengan memberikan pelatihan pada generasi muda. Bahasa Melayu dan Inggris juga mendapat penekanan dalam pendidikan di Brunei. Semua disiplin ilmu utama setelah tiga tahun dari pendidikan dasar diajarkan dalam bahasa Inggris. Penekanan pada bahasa Inggris ini diimbangi dengan pengajaran MIB, seperti pendidikan moral dan pengajaran agama Islam di sekolah. Mahasiswa juga diwajibkan untuk mempelajari materi MIB selama satu tahun.
Dalam rangka melahirkan SDM yang berkualitas, di Brunei terdapat sejumlah lembaga pendidikan, antara lain, Universitas Brunei Darusslam (UBD). Universitas ini berdiri sejak tahun 1985. tahun 1991 tercatat, Universitas ini telah menghasilkan 500 sarjana. Tahun 1991 sebuah Memorandum of Understanding (MoU) telah ditandatangani dengan UTM untuk memperkuat kerjasama dalam bidang pendidikan dan pelatihan.
E.     Pendidikan Islam di Thailand
1.      System dan Kelembagaan Islam di Thailand
Pondok Patani atau pondok di Thailand Selatan secara keseluruhan boleh dikatakan sama dengan pesantren di jawa atau tempat-tempat lain di Indonesia pada tahun 1950-an atau 1960-an sebelum pesantren mengalami modernisasi. Setelah kerusuhan kembali merebak di Patani atau kawasan melayu Muslim di Thailand Selatan dalam dua tahun terakhir. Pondok menjadi terteduh sebagai tempat pusat perlawanan atas pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah. Pondok Patani, umumnya masih sangat tradisional, bagi kaum Melayu Muslim Thailand Selatan lebih dari pada sekedar lembaga pendidikan Islam, tapi juga merupakan salah satu identitas keagamaan dan cultural. Karena itu, ancaman penutupan pondok.
System pendidikan Islam pada awalnya ditujukan pada system politik Siam yang Otoriter, Jika sebelumnya system pendidikan bersifat sentralistik, independent melalui lembaga pondok pesantren dan madrasah. Pondok pesantren merupakan institusi pendidikan islam pertama yang dijalankan, yang bermula dari fungsi dakwa dan Ta’lim. Pada tahun 1785 M Patani dibawah kekuasaan Siam, tradisionalisme pondok pesantren dan Madrasah diuji dengan kehadiran system pendidikan Siam (umum), perkembangan pendidikan Islam terus berlangsung melalui proses yang cukup a lot, dialektis, kompromis, sehingga pondok pesantren dan madrasah telah diintegrasikan dengan system pendidikan Siam sebagai model pendidikan sekolah modern di Patani. Pondok seperti pesantren juga mengalami transisi sepanjang abad ke-20 sebagai pondok berubah menjadi sekolah agama rakyat dan lebih banyak lagi mendirikan madrasah tetapi banyak madrasah juga yang didirikan yayasan-yayasan Islam di luar pondok. Sebagian besar gurunya adalah alumni Timur tengah, Indonesia, dan Malaysia. Di madrasah-madrasah ini, menurut kalim pemerintah, menerima banyak bantuan dari timur tengah selanjutnya mereka menjadi madrasah wahabiyah yang menurut pemerintah Thanksin menjadi biang dari radikalisme di kalangan kaum Muslim Thailand.
Pergolakan yang dilakukan oleh kaum patani salah satunya adalah terbelakangnya pendidikan di Thailand. Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hampir terdapat 80 orang mahasiswa Thailand di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak seorangpun yang mendapat bantuan keuangan seperti beasiswa dari pemerintah Thailand. Sehingga untunglah Pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama RI dan UIN bermurah hati memberikan beasiswa kepada mereka. Bahkan Mahasiswa Thai yang ada di Ciputat membuka warung kecil-kecilan untuk bisa bertahan.
Kemudian dilihat secara transparan lembaga pendidikan Islam di Thailand tidak jauh berbeda dengan system pendidikan yang dimiliki di Indonesia. Artinya semuanya bertujuan untuk mencetak professional-profesional muslim yang mampu bersaing dalam kancah perkembangan dunia ilmu pengetahuan dengan didasari agama yang mumpuni. Namun tentu konsep, system dan kelembagaan pendidikan Islam di patani, secar aineternal dipengaruhi oleh Politik siam, Tuntutan demokrasi dalam pendidikan Islam pada awalnya ditujukan pada system politik Siam yang otoriter. Jika sebelumnya system pendidikan bersifat sentralistik, independent melalui lembaga pondok pesantren dan madrasah, maka belakangan ini tergesernya paradigma dan system pendidikan Islam sehingga lebih menekankan pada peran pemerintah. Tradisionalisme pondok Petani mempunyai sejarah panjang. Kaum Muslimin Melayu Patani mengklaim, pondok merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di nusantara meski sumber-sumber sejarah umumnya menyebutkan, Islam datang dan berkembang di wilayah ini baru pada abad ke-16. terlepas dari kondisi itu, pondok Patani mengirimkan lulusn terbaiknya ke Haramayn yang kemudian menjadi ulama besar seperti Daud bin Abdullah al-patani (abad ke-19), ahmad bin Muhammad Zayn an-Patani, dan Zayn al-Abidin bin Muhammad al-Patani (abad-20) .
2.      Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Thailand
Proses Islamisasi di patani tidak bisa dilepaskan dari peranan pendidikan. Pada tahap awal pendidikan informal sangat berperan, yaitu kntak informal antara mubaligh dengan rakyat setempat. Selanjutnya ditindak lanjuti dengan munculnya pendidikan non-formal, dna terakhir pendidikan formal.
Pada tahap awal pendidikan agama islam dikawasan Thailand Selatan dilaksanakan pendidikan Al-Qur’an. Pengajian Al-Qur’an adalah sesuatu yang mesti dipelajari oleh setiap muslim. Pengajian al-Quran ini dilaksanakan di masjid dan rumah-rumah Tok Guru. Disetiap kompang ada rumah Tok Guru yang dijadikan tempat pengajian Al-Quran. Selanjutnya muncullah pendidikan podok pondok berposisi sebagai lembaga pendidikan yang amat penting di Thailand Selatan.
Profil pelajar-pelajar pondok ini digambarkan oleh Chapakia yaitu “Pelajar-pelajar mengamalkan cara hidup harian yang sama dan seragam mereka sama-sama berkain sarung, berbaju melayu berkopiah putih dan sama-sama menggunakan tulisan Jawi dan buku-buku jawi”.
Alumnus pondok memiliki posisi yang sangat penting dan memiliki peranan yang strategis ditengah-tengah masyarakat, mereka menjadi pemimpin masyarakat khususnya dalam bidang keagamaan, menjadi imam, khotib, bilal, menjadi ahli jawatan masjid paling tidak menjadi to ‘lebai. Pendidikan formal yang dilaksanakan pemerintah dimulai pada mara raja Chalongkarn atau Rama V pada tahun 1899. Sekolah ini kurang mendapat sambutan masyarakat. Melihat itu pada tahun 1921 sekolah ini kurang mendapat sambutan masyarakat. Melihat itu pada thaun 1921 pemerintah mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan sekolah mulai ditingkat sekolah dasar kelas satu sampai kelas empat. Kendatipun undang-undang tersebut dikeluarkan, namun masyarakat Islam dikawasan Thailand SElatna (khususnya ditempat wilayah : Patani, yala, Narthiwat, dan Satun) tidak menyambut dengan baik pemberlakuan undang-undang tersebut. Terbukti statistic tahun 1960 tamat sekolah dasar kelas satu sampai kelas empat diwilayah tersebut hanya 13,67 persen masyarakat masih terkait erat dengan pendidikan pondok.
Kebijakan pemerintah Thailand berikutnya pada tahun 1966, adalah mewajibkan seluruh institusi pondok untuk mendaftarkan diri ke pemerintah di bawah Akta Rongrian Rat Son Sasna Islam (Sekolah Swasta Mengajar Agama Islam). Sejak itu mulai perubahan pendidikan pondok di Selatan Thailand. Perubahan itu memunculkan timbulnya madrasah. Peran ulama-ulama Petani sangat dominant dalam proses Islamisasi tersebut, bahkan peranan mereka tidak hanya di patani saja tetapi juga sampai ke luar negeri, seperti ke Indonesia. Diantaranya yang terkenal adalah Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Patani, yang telah berhasil mengIslamkan raja Buton yaitu raja Walio.
Syeh Abdul Jalil alFathoni telah menyebarkan agama Islam di Kalimantan Barat (lebih kurang tahun 1700). Syekh Daud Abdullah al Fatoni juga seorang ulama Patani, yang bermukim di Makkah dan menulis banyak kitab-kitab agama. Dipandang dari sudut interen yakni munculnya lembaga pendidikan Islam di Patani, setelah berproses dari lembaga pendidikan informal, nonformal dan selanjutnya muncul lembaga pendidikan pondok sebagai lembaga formal.
3.      Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Thailand
a.       Pondok dan Madrasah
Ada catatan bahwa Wan Husein Senawi seorang ulama berasal dari Kampung Sena Patani sepupu sunan Ampel mendapat inspirasi untuk mendirikan lembaga pendidikan pondok di patani setelah beliau belajar di Tanah Jawa di bawah asuhan Sunan Ampel. Pondok adalah lembaga pendidikan tertua di Patani dan diantara pondok-pondok tertua itu adalah Pondok Dala, Bermin, Semela, Dual, Kota, Gersih, Telok Manok, yang mempunyai pengaruh besar bagi pertumbuhan pendidikan Islam di daerah ini, oleh karena pondok-pondok ini banyak didatangi oleh pelajar. Pelajar di luar Patani, Karena itu pondok-pondok ini banyak sekali pengaruhnya bagi pembangunan bahasa Melayu, pengaruhnya juga sampai ke Burma dan Kamboja.
b.      Dengan System yang masih klasikal. Mempunyai kurikulum, silabus yang telah ditetapkan pokok-pokok bahasan serta jadwal pelajaran. Diajar oleh tenaga pengajar yang memiliki spesialisasi dalam bidang mata pelajaran yang diajarkan di madrasah tersebut. Diajarkan dua jenis ilmu pengetahuan, pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Disamping tenaga pengajar, memerlukan juga tenaga administrasi, bahagia akademik dan keuangan. System manajemen tidak lagi terkonsentrasi pada satu orang / tok guru telah berubah adanya pebagian tanggung jawab (sharing patner) antara pimpinan madrasah. Oleh karena di madrasah mata pelajaran yang diajar bervariasi, maka madrasah memerlukan fasilitas pendidikan dan pengajarna seperti laboratorium bahasa, labor computer, labor sains dan sarana olah raga.
F.     Pendidikan Islam di Filipina
1.      Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Filipina
Penduduk Muslim di Filipina terkonsenterasi di bagian Selatan Filipina, terutama di mendanau, Ujung Selatan Palawani, gugusan kepulauan Sulu. Mereka terdiri dari tiga belas kelompok bahasa dan budaya, yaitu : Maranao, Iranum, Manguindanao, Tausugs Samal, Bajao, Jama Mapun, Palawani, Molbog, Kalibugan, Yakan, Karaza, dan Sangil. Di antara mereka itu ada tiga kelompok terbesar yaitu maranos, Tausugs, dan Magu Indanaos (macawaris, 1988 : 78). Decasa mengemukakan bahwa Islam telah dikenal di Sulu pasa abad ke-13. Islam dikembangkan lewat jalur perdagangan dan juga disebarkan oleh para da’i yang di Filipina Selatan dikenal dengan istilah Masaikh, Makdumin, dan Aulia.
Disebabkan terisolasinya masyarakat Muslim di Filipina dan tidak aksesnya mereka ke dunia pendidikan Barat, hal ini berpengaruh terhadap kesejahteraan dan pendidikan. Sensus penduduk tahun 1980 di wilayah Barat dan sentral Mendanao ditemukan sekitar 65% yang mampu membaca dan menulis, sedang rata-rata nasional adalah 83%. Income percapita di dua daerah itu adalah berada di bawah income percapita nasional P 1.111.000 sedangkan di wilayah Barat Mendanao adalah P 1.030.000 dan disentral Mendanao adalah P 977.900.
2.      Pendidikan Islam Sebagai Lembaga di Filipina
Pelaksanaan pendidikan Islam diberbagai Negara, tidak bisa dilepaskan dari lembaga pendidikan informal, nonformal, dan formal. Pendidikan informal, lebih terkonsentrasi pada hubungan pendidikan dengan peserta didik yang tidak bersifat formal. Lebih banyak bersifat kontak-kontak person antara pendidik dengan peserta didik. Pelaksanaan seperti inilah yang dilaksanakan oleh mubaligh awal ketika datang ke Nusantara, dan selanjutnya pendidikan informal itu dilaksanakan di rumah tangga – ramah tanga, yakni kontak edukatif antara orang tua dengan anaknya.
Selanjutnya muncul pendidikan nonformal, seperti pendidikan dirumah-rumah ibadah, pengajian lepas yang tidak terstruktur, semacam majelis taklim. Selanjutnya muncul pendidikan formal, yaitu pendidikan yang telah mempunyai lembaga khusus, serta diatur dengan peraturan-peraturan yang ditaati.Di Filipina, pendidikan formal pada tingkat dasar dan menengah disebut dengan maktab dan madrasah. Pendidikan maktab lebih dikhususkan pada pendidikan anak-anak usia 6 sampai 10 tahun. Para orang tua membawa anak-anak mereka baik laki-laki maupun wanita ke rumah seorang muslim yang dituakan dan memiliki reputasi dalam bidang bacaan Al-Qur’an.
Di maktab ini setiap murid menamatkan bacaan Al-Qur’an sejumlah tiga puluh juz. Tekanan pokok program pendidikan di maktab adalah membaca Al-Qur’an dan menghafal beberapa halaman al-Qur’an. Selain dari lembaga pendidikan tersebut, di Filipina juga muncul lembaga pendidikan pola Barat ketika orang-orang Barat datang ke Filipina. Sekolah-sekolah Barat ini bersifat sekuler. Sebagai implikasi dari pemikiran dan budaya yang memisahkan agama di Negara. Keadaan ini bertentangan dengan doktrin keislaman.
Pada tahun 1950 dua orang pendakwah dari Universitas Al-Azhar Cairo mesir Tiba di Filipina Selatan. Mreka membuka sebuah madrasah “Al-Kuliyat Al-Istihadiyah” di malubung, Lanao de sur. Setelah satu tahun ditutup. Salah seorang pendakwah tersebut Toha Omar pindah ke Jalo, Sulu dan Menjadi kepala madrasah Islamiyah Sulu yang didirikan di bawah kepemimpinan Mayor Barley Abu Bakar.
Dengan masuknya madrasah ke dalam system pendidikan di Filipina maka pemerintah melaksanakan kegiatan berikut:
a.       Memperbaiki staf pengajar, dan fasilitas lembaga madrasah.
b.      Memperkuat dan mengembangkan program Islamic studies diberbagai lembaga pendidikan tinggi, khususnya di Mindanao.
c.       Memperkuat dan mendirikan program pengajaran dan pembelajaran bahasa
d.      Integrasi antara madrasah dengan system pendidikan di Filipina dapat dilihat dari dua hal
                               I.            Sekolah umum boleh memuat beberapa subjek mata pelajaran non agama sedangkan di madrasah yang penting dalam kurikulum, yakni :
Å¡ Angka-angka Arab agar dapat diperkenalkan di sekolah umum sebagai bagian integral dari pelajaran matematika.
Å¡ Sejarah dan geografi negara-negara Timur Tengah dapat diperkenalkan dalam pelajaran islam sosial (social studiens).
Å¡ Bahasa Arab yang mempunyai arti yang ekuivalen dengan istilah ilmu pengetahuan dapat diintegrasikan ke dalamsubjek sains.
Å¡ Akhlak dan etika Islam dapat dimasukkan ke dalam tingkah laku yang baik atau dintegrasikan ke dalam semua subjek.
Å¡ Literatur tidak hanya dibatasi dengan literature berbahasa Inggris dan Filipina, akan tetapi seharusnya dimasukkan literature bahasa Arab.
Å¡ Bahasa Arab dijadikan bahasa yang subjek regular.
Å¡ Mata pelajaran vokasional yang berorientasi local dan Timur Tengah, seharusnya diprioritaskan untuk diberikan pada mata pelajaran seni praktis.
Å¡ Selanjutnya adanya hubungan yang perlu diatur antara madrasah dan sekolah umum dengan mempertimbangkan :
ü  Bahasa Arab adalah mata pelajaran yang harus bagi pelajar-pelajar muslim di Filipina. Mereka belajar bahasa Arab pada akhir pecan madrasah.
ü  Madrasah juga mengharuskan kepadanya pelajarnya untuk mengambil mata pelajaran matematika. Ilmu sosial, sains, bahasa inggris, dan bahasa Filipina.
                            II.            Berdasarkan observasi ustadz Hassoubah a respresentative of the world Federation of madaris in the Philipines, mengatakan bahwa madrasah urang berkualitas, hal ini disebabkan beberapa factor, yaitu :
Å¡ Sumber financial berasal dari uang sekolah, dan bantuan dari masyarakat sangat sedikit dan tidak tetap.
Å¡ Guru-guru bahasa Arab sangat sedikit dan mereka hanya lulus sekolah menengah dari madrasah-madrasah lokal.
Å¡ Semua guru-guru dair berbagai madrasah menerima gaji sangat kecil.
Å¡ Perpustakaan dan fasilitas sangat kurang.
Hassoubah juga memberikan rekomendasi, untuk meningkatkan mutu madrasah, yaitu :
ü  Revisi kurikulum, mata pelajaran – mata pelajaran di sekolah umum semestinya diperkenalkan juga di madrasah.
ü  Akreditas dan pengakuan tentang madrasah. Sekretaris pendidikan kebudayaan dan olahraga, semestinya mengatur operasional madrasah di dalam kesesuaiannya.
ü  Melaksanakan training dan up graiding untuk peningkatan skill guru bahasa Arab di madrasah.
ü  Memproduksi materi pengajaran dalam bahasa Arab dan mata pelajaran Islam lewat bantuan pemerintah dan lembaga-lembaganya.
ü  Tamtan madrasah diperbolehkan memasuki universitas-universitas dan kolej untuk melanjutkan pendidikan.
Bila dilihat dari segi perkembangan madrasah sampai saat sekarang, madrasah dapat diklasifikasikan kepada tiga jenis, yaitu :
                                                                   I.            Madrasah Diniyah Sabtu – Minggu
Madrasah ini pada dasarnya ditujukan untuk anak-anak didik yang bersekolah di sekolah umum. Guna memperolehpendidikan agama.
                                                                II.            Madrasah Diniyah Reguler Lima Hari Seminggu,Tipe kedua dari madrasah yang ditemukan di Filipina adalah madrasah Reguler lima hari seminggu (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Jum’at). Di madrasah ini diprogramkan mata pelajarna agama yang bersumber dari kitab-kitab yang berbahasa Arab.
                                                             III.            Kedudukan Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional Filipina
Masjid dan madrasah di Filipina adalah lembaga pendidikan Islam yang paling dasar. Oleh karena itu, Al-Qur’an ditulis dengan tulisan Arab maka membaca dan menulis Arab adalah merupakan dasar pengajaran yang paling awal karena itu pula mubaligh mendirikan madrasah untuk menopang upaya dakwah yang dilakukan mereka.
Perkembangan madrasah menjadi madrasah modern adalah sejak selesainya perang dunia dunia. Sejak saat itu madrasah berkembang di Filipina terutama di bagian Selatan, seperti di sulu, Cotabato, Zamboanga, Tawi-Tawi, marawi City, Lanao del Sur, dan lain-lain.
3.      Pendidikan Tinggi Islam di Filipina
Salah satu peristiwa yang amat bersejarah dalam bidang pendidikan Islam di Filipina adalah berdirinya lembaga pendidikan tinggi Islam di Negara ini pada tanggal 22 November 1973. lembaga ini didirikan berdasarkan Keputusan Presiden No. 342. Tugas utama dari lembaga ini adalah : Pendidikan (pengajaran) riset, dan pengabdian. Lembaga ini mempersiapkan mahasiswa tingkat perguruan tinggi baik muslim maupun non muslim untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan berbangsa dan menumbuhkan semangat yang mendalam tentang saling pengertian antara Muslim Filipina dengan masyarakat Universitas Filipina lainnya.
Persyaratan untuk menjadi mahasiswa di Departemen Islamic Studies ini adalah memiliki kompetensi dalam bahasa Arab. Mahasiswa yang tidak memiliki latar belakang Arab disyaratkan untuk mengikuti kursus bahasa Arab dalam tingkat elementary dan intermedia. Lembaga ini menawarkan pendidikan sampai ke tingkat master, dengan harapan bahwa alumni dari lembaga tinggi Islam ini betul-betul ahli dan memahami ajarna Islam, kemanusiaan peradaban Islam untuk diabdikan pada Negara dan masyarakat.
BAB III
KESIMPILAN
Å¡ Pemerintah Singapura memanfaatkan masjid sebagai tempat pendidikan Islam secara nonformal sekaligus memakmurkan dengan berbagai kegiatan Islami.
Å¡ Pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama telah mengeluarkan kebijaksanaannya dalam pendidikan, yaitu dengan SK Menag tentang penyelenggaraan pendidikan agama.
Å¡ Pendidikan Islam non formal di Malaysia sangat menjadi perhatian serius pemerintah, sehingga memberikan anggaran pendidikan lebih besar kea rah sana disbanding bidang lainnya. Jika Negara Indonesia sejak awal kemerdekaan para pemimpinnya demikian, tentu pendidikan kita tidak sangat terpuruk.
Å¡ Sejarah masuknya Islam di Filipina dapat diperkirakan pada abad ke 13 Masehi.
Å¡ Dalam bidang pendidikan, Brunei boleh dikatakan relative tertinggal dari Negara-negara lain di dunia, karena itu pemerintha Brunei berupaya untuk mengejar ketertinggalannya itu dengan membangun lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat rendah sampai ke perguruan tinggi.
Å¡ Kemudian dilihat secara transparan lembaga pendidikan Islam di Thailand tidak jauh berbeda dengan system pendidikan yang dimiliki di Indonesia.



[1] Taufik Abdullah, Op.Cit., hlm .110.
[2] H.Abdullah Ishak, Islam di Nusantara (Khususnya di Tanah Melayu), (Selangor: al-Rahmaniyah, 1990), hlm.166.
[3] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Hidakarya,1985),hlm.174.
[4] C.Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985),hlm.31.
[5] Mahmud Yunus, Op.Cit.,hlm25.
[6] A.H.Jhon,”Islam in South East Asia, Reflections and the New Directions” dalam Indonesia, CMIP, No.19,tt., hlm 40.
[7] H.J. de Graaf, “Shout East Asian Islam to The Eighteenth Century” dalam P.M. Holt,et.al., The Cambridg History of Islam, (London: Cambridge University Press, 1970), vol. ii, hlm.175.
[8] Ibid, hlm.135.
[9] Pangean Arya Carbon, Purwaka Tjaruban Nagari(Salinan Adja), (Jakarta: Ikatan Karyawan Museum, 1972), hlm.15.
[10] Anthoni Rheid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680,(Jakarta: Departemen Agama,1986).
[11] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi  Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1982),hlm.31.
[12] Mahmud Yunus, Op.Cit., hlm.217.
[13] Ibid., hlm.220.
[14] Sartono Kartodirjo, Op.Cit., hlm.172-174.
[15] Mahmud Yunus, Op.Cit., hlm 125.
[16] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:1995),hlm.236.
[17] A.Hasymy, Mengapa Umat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama Islam,(Jakarta,1979), hlm.331.
[18] Ibid., hlm.34-35.
LihatTutupKomentar