Manajemen Kewirausahaan Dalam Lembaga Pendidikan Umum dan Pesantren

Oleh: Lailatu Rohmah, M.S.I[1]
A.    Latar Belakang Masalah
Pesantren atau pondok adalah lembaga yang merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Sebagai bagian lembaga pendidikan nasional, kemunculan pesantren dalam sejarahnya telah berusia puluhan tahun, atau bahkan ratusan tahun, dan disinyalir sebagai lembaga yang memiliki kekhasan, keaslian (indegeneous) Indonesia.[2] Sebagai institusi indegeneous, pesantren muncul dan terus berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat di sekitar lingkungannya. Akar kultural ini barangkali sebagai potensi dasar yang telah menjadikan pesantren dapat bertahan, dan sangat diharapkan masyarakat dan pemerintah.
Pesantren sebagai sebuah institusi budaya yang lahir atas prakarsa dan inisiatif (tokoh) masyarakat dan bersifat otonom, sejak awal berdirinya merupakan potensi strategis yang ada di tengah kehidupan sosial masyarakat. Kendati kebanyakan pesantren hanya memposisikan dirinya sebagai institusi pendidikan dan keagamaan, namun sejak tahun 1970-an beberapa pesantren telah berusaha melakukan reposisi dalam menyikapi berbagai persoalan sosial masyarakat, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
Pesantren dengan berbagai harapan dan predikat yang dilekatkan kepadanya, sesungguhnya berujung pada tiga fungsi utama yang senantiasa diembannya, yaitu: (1) sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (centre of exellence), (2) sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource), (3) sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of development).[3] Selain ketiga fungsi tersebut pesantren juga dipahami sebagai bagian yang terlibat dalam proses perubahan sosial (social change) di tengah perubahan yang terjadi.
Dalam keterlibatannya dengan peran, fungsi, dan perubahan yang dimaksud, pesantren memegang peranan kunci sebagai motivator, inovator, dan dinamisator masyarakat. Hubungan interaksionis-kultural antara pesantren dengan masyarakat menjadikan keberadaan dan kehadiran institusi pesantren dalam perubahan dan pemberdayaan masyarakat menjadi semakin kuat. Namun demikian harus diakui, belum semua potensi besar yang dimiliki pesantren tersebut dimanfaatkan secara maksimal, terutama yang terkait dengan konstribusi pesantren dalam pemecahan masalah-masalah sosial ekonomi umat.
Pada batas tertentu pesantren tergolong di antara lembaga pendidikan keagamaan swasta yang leading, dalam arti berhasil merintis dan menunjukkan keberdayaan baik dalam hal kemandirian penyelenggaraan maupun pendanaan (self financing). Tegasnya selain menjalankan tugas utamanya sebagai kegiatan pendidikan Islam yang bertujuan regenerasi ulama, pesantren telah menjadi pusat kegiatan pendidikan yang konsisten dan relatif berhasil menanamkan semangat kemandirian, kewiraswastaan, semangat berdikari yang tidak menggantungkan diri kepada orang lain.[4]
Pengembangan ekonomi masyarakat pesantren mempunyai andil besar dalam menggalakkan wirausaha. Di lingkungan pesantren para santri dididik untuk menjadi manusia yang bersikap mandiri dan berjiwa wirausaha.[5] Pesantren giat berusaha dan bekerja secara independen tanpa menggantungkan nasib pada orang lain atau lembaga pemerintah swasta. Secara kelembagaan pesantren telah memberikan tauladan, contoh riil (bi al-haal) dengan mengaktualisasikan semangat kemandirian melalui usaha-usaha yang konkret dengan didirikannya beberapa unit usaha ekonomi mandiri pesantren. Secara umum pengembangan berbagai usaha ekonomi di pesantren dimaksudkan untuk memperkuat pendanaan pesantren, latihan bagi para santri, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Perubahan dan pengembangan pesantren terus dilakukan, termasuk dalam menerapkan manajemen yang profesional dan aplikatif dalam pengembangannya. Karena istilah manajemen telah membaur ke seluruh sektor kehidupan manusia.[6] Di antara pengembangan yang harus dilakukan pesantren adalah, pengembangan sumber daya manusia pesantren, pengembangan komunikasi pesantren, pengembangan ekonomi pesantren, dan pengembangan teknologi informasi pesantren.
B.     Manajemen Kewirausahaan Kependidikan
1.      Pengertian Manajemen
Definisi manajemen secara terminologi menurut Terry adalah management is a district process consisting of planning, organizing, actuating, and controlling performed to determined and accomplish stated objectives by the use of human being and other resources.[7] Manajemen sering diartikan sebagai ilmu, kiat, dan profesi. Dikatakan sebagai ilmu oleh Luther Gulick karena manajemen dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang bekerja sama. Dikatakan sebagai kiat karena manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain dalam menjalankan tugas. Dipandang sebagai profesi karena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi. Kegiatan manajemen dalam berbagai aktifitas, secara umum berperan merencanakan, mengorganisir, menggerakkan, melakukan evaluasi dan melakukan pengontrolan.
a.      Perencanaan (Planning)
Perencanaan pada hakekatnya adalah aktivitas pengambilan keputusan tentang sasaran apa yang akan dicapainya, tindakan apa yang akan diambil dalam rangka mencapai tujuan atau sasaran tersebut dan siapa yang akan melaksanakan tugas tersebut. Pembuatan suatu perencanaan kegiatan organisasi menuntut setiap anggota organisasi untuk tidak mengabaikan visi, misi dan tujuan organisasi yang telah dibuat secara bersama.
b.      Pengorganisasian
Pengorganisasian dapat diartikan sebagai kegiatan membagi tugas kepada orang yang terlibat dalam organisasi. Pengorganisasian juga berfungsi untuk mengatur sistem kerjasama yang jelas siapa menjalankan apa, siapa bertanggung jawab atas siapa, dan memfokuskan sumber daya pada tujuan. Salah satu prinsip pengorganisasian adalah terbaginya semua tugas dalam berbagai unsur organisasi secara profesional dan proporsional, dengan kata lain pengorganisasian yang efektif adalah membagi habis dan menstruktur tugas-tugas ke dalam komponen organisasi. Pengorganisasian juga mengatur mekanisme kerja organisasi, sehingga dengan pengaturan tersebut dapat menjamin tujuan yang ditentukan.[8]
c.       Penggerakan
Penggerakan adalah salah satu fungsi manajemen yang berfungsi untuk merealisasikan hasil perencanaan dan pengorganisasian. Penggerakan adalah upaya untuk menggerakkan atau mengarahkan tenaga kerja (man power) serta mendayagunakan fasilitas yang ada yang dimaksud untuk melaksanakan pekerjaan secara bersama. Penggerkana sangat trekait dengan penggunaan berbagai sumber daya organisasi, oleh karenanya kemampuan memimpin, memberi motivasi, berkomunikasi, menciptakan iklim dan budaya organisasi yang kondusif menjadi kunci penggerakan.[9]
d.      Pengawasan
Pegawasan merupakan fungsi manajemen yang berguna untuk mengetahui seberapa jauh rencana yang telah ditetapkan sebelumnya dapat tercapai. Pengawasan itu dapat membantu pemimpin untuk mengukur efektivitas perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan yang terjadi di lapangan, serta dapat membantu pemimpin untuk mengambil tindakan atau keputusan yang akurat sebagai kebutuhan organisasi.
Pengawasan yang baik memerlukan langkah-langkah pengawasan, yaitu:
1)   Menentukan tujuan standar kualitas pekerjaan yang diharapkan.
2)   Mengukur dan menilai kegiatan-kegiatan atas dasar tujuan dan standar yang ditetapkan.
3)   Memutuskan dan mengadakan tindakan perbaikan.[10]
3.      Substansi Manajemen Pendidikan: Inti dan Ekstensi
Manajemen di bidang apapun, dari segi prosesnya hampir tidak berbeda, namun yang membedakan antara manajemen bidang satu dengan bidang yang lain adalah aspek substansinya, atau bidang garapannya. Aspek substansi ini lazim juga mendapat sebutan ruang lingkup, bidang garapan, cakupan, dan isi. Bahkan, substansi manajemen pendidikan dapat dikatakan sebagai manajemen operatif. Yang menjadi substansi manajemen pendidikan adalah:
a.    Manajemen kurikulum dan pembelajaran.
b.   Manajemen peserta didik.
c.    Manajemen tenaga kependidikan.
d.   Manajemen sarana dan prasarana.
e.    Manajemen keuangan
f.    Manajemen partisipasi masyarakat.[11]
Pada hakikatnya substansi manajemen dapat dibagi menjadi dua, yaitu substansi manajemen pendidikan inti dan substansi manajemen pendidikan ekstensi. Substansi manajemen pendidikan inti tidak berbeda dengan substansi manajemen pendidikan yang telah dikemukakan di atas. Substansi manajemen pendidikan ekstensi adalah substansi manajemen pendidikan yang diperluas, yaitu bidang-bidang garapan di dunia pendidikan yang mesti dikelola juga, karena mempunyai dampak yang besar terhadap substansi manajemen pendidikan inti. Seiring makin besarnya tuntutan masyarakat akan layanan pendidikan, beberapa aspek substantif ini perlu ditata, agar memberikan konstribusi bagi kesuksesan manajemen pendidikan inti. Substansi manajemen pendidikan ekstensi meliputi:
a.    Manajemen waktu.
b.   Manajemen konflik.
c.    Manajemen perubahan.
d.   Manajemen kultur sekolah.
e.    Manajemen komunikasi dan dinamika kelompok.
f.    Manajemen SIM.
g.    Manajemen kewirausahaan.
h.   Manajemen ketatausahaan.[12]
Istilah “kewirausahaan” dalam manajemen kewirausahaan menurut Thompshon dan Riccuci, sebagaimana dikutip oleh Fadel Muhammad menunjukkan makna manajemen yang dilandasi “enterprise culture”, atau yang dilandasi oleh karakter “risk culture”.[13] Dalam perkembangannya, makna kewirausahaan tidak hanya diterapkan pada sektor swasta tetapi juga pada sektor publik dan sektor pendidikan.
Pada sektor publik, makna tersebut terus berkembang dengan munculnya pemikiran tentang public entrepreneurship yaitu proses penciptaan nilai bagi warga negara dengan mengkombinasikan sumber daya publik dan atau swasta dan memanfaatkannya untuk mendapatkan social opportunities. Makna ini diilhami oleh konsep yang telah berkembang sejak tahun 1980-an seperti social, political, and policy entrepreneur. Makna kewirausahaan ini menuntut adanya public sector entrepreneurship yang menjelaskan jenis-jenis perilaku entrepreneurial yang harus ditunjukkan oleh sejumlah aktor politik dan pemerintahan.[14]
Manajemen kewirausahaan dalam lembaga pendidikan merupakan substansi manajemen pendidikan ekstensi yang mempunyai peran penting untuk bersama-sama substansi manajemen pendidikan inti mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Kewirausahaaan dalam lembaga pendidikan mengandung dua pengertian dan penerapan, yaitu:
a.       Upaya menerapkan nilai-nilai kewirausahaan dalam mengelola lembaga pendidikan.
b.      Memanfaatkan potensi yang dimiliki/dapat diupayakan oleh suatu lembaga pendidikan menjadi kegiatan ekonomi sehingga menghasilkan laba yang dapat digunakan untuk memajukan lembaga pendidikan yang bersangkutan.[15]
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa fungsi-fungsi manajemen mencakup beberapa aktifitas, yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan. Begitu pula dengan manajemen kewirausahaan kependidikan, aktifitas manajerialnya sesuai dengan fungsi-fungsi manajemen tersebut.[16]
Nilai-nilai kewirausahaan dalam lembaga pendidikan menjadi isu baru yang selalu digalakkan pemerintah. Dalam faktanya, di antara lembaga pendidikan yang telah banyak mengembangkan unit usaha adalah pesantren. Keberhasilan pesantren dalam mengembangkan unit usaha ini tentunya didukung oleh beberapa faktor, di antaranya semangat entrepreneur seorang kiai, manajemen pengembangannya dan networking yang dibentuk oleh pesantren tersebut.
Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau suatu kegiatan yang mengarah pada pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangkap memberikan pelayanan yang lebih baik atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.[17] Wirausaha adalah orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.[18]
b.   Ciri-Ciri yang Perlu Dimiliki Wirausaha
Menurut John Hornaday, sebagaimana yang dikutip oleh Winardi, ciri-ciri wirausahawan yang berhasil adalah mereka yang memiliki sifat-sifat: kepercayaan pada diri sendiri (self-confidence), penuh energi, dan bekerja dengan cermat, kemampuan untuk menerima resiko yang diperhitungkan, memiliki kreativitas, fleksibilitas, reaksi positif terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi, jiwa dinamis dan jiwa kepemimpinan, kemampuan bergaul dengan orang lain, kepekaan untuk menerima saran-saran dari orang lain, menerima kepekaan terhadap kritik-kritik yang dilontarkan terhadapnya, memiliki pengetahuan (memahami) pasar, dan  keuletan serta kebulatan tekad untuk mencapai sasaran-sasaran (perseverance, determination), banyak akal (resourcefulness), rangsangan/kebutuhan akan prestasi, inisiatif, memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri (independent) dan pandangan tentang masa yang akan datang (foresight), berorientasi pada laba, memiliki sikap perseptif (perceptivness), berjiwa optimisme, memiliki keluwesan (versatility) dan pengetahuan/pemahaman tentang produk dan teknologi.[19]
Lebih rinci Ahmad menyebutkan bahwa seorang wirausaha selalu tidak merasa puas dengan kesuksesannya. Mereka akan selalu memperbaiki kinerjanya dari segi kualitas dan kuantitas serta mengungguli kemampuan dan kerja orang lain.[20] Ketidakpuasan ini mendorong wirausaha tersebut berusaha lebih giat dan bersungguh-sungguh untuk mencapai standar yang ditetapkan olehnya dan standar orang lain. Hal ini akan mendorong wirausaha untuk terus belajar tanpa mengenal batas.
C.    Pengembangan Wirausaha dan Penyelenggaraan Unit Usaha Ekonomi di Pesantren
Berpedoman pada anggapan dasar bahwa tidak semua lulusan atau alumni pesantren akan menjadi ulama atau kiai, dan memilih lapangan pekerjaan di bidang agama, maka keahlian-keahlian lain seperti pendidikan ketrampilan perlu diberikan kepada santri sebelum santri itu terjun ke tengah-tengah masyarakat yang sebenarnya. Di pihak lain, guna menunjang suksesnya pembangunan, diperlukan partisipasi semua pihak, termasuk pihak pesantren sebagai suatu lembaga yang cukup berpengaruh di tengah-tengah masyarakat ini merupakan potensi yang dimiliki oleh pesantren secara historis dan tradisi. Urgensi pengelolaan dan pengembangan mengingat banyaknya potensi ekonomi yang dimiliki oleh pesantren. Potensi ekonomi yang dimiliki pesantren adalah:[21]
1.      Kiai-Ulama
Kiai-ulama pesantren yang dipandang sebagai potensi pesantren yang mempunyai nilai ekonomis, setidaknya dapat kita lihat pada tiga hal:
a.    Kedalaman ilmu kiai-ulama. Artinya, figur seorang kiai merupakan magnet (daya tarik) yang luar biasa bagi calon santri untuk berburu ilmu.
b.   Pada umumnya, seorang kiai adalah tokoh panutan masyarakat dan pemerintah. Ketokohan seorang kiai ini memunculkan sebuah kepercayaan, dan dari kepercayaan melahirkan akses.
c.    Pada umumnya, seorang kiai sebelum membangun pesantren telah mandiri secara ekonomi, misalnya sebagai petani, pedagang, dan sebagainya. Sejak awal kiai telah mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh, tidak hanya dari aspek mental, tetapi juga sosial ekonomi. Jiwa dan semangat entrepreneurship inilah yang mendasari kemandirian perokonomian pesantren. Apabila aset dan jiwa entrepreneurship ini dipadukan, maka hasilnya dapat dijadikan dasar membangun tatanan ekonomi pesantren.[22]
2.      Santri
Potensi ekonomi kedua yang melekat pada pesantren adalah para santri. Hal ini dipahami bahwa pada umumnya santri mempunyai potensi/bakat bawaan seperti kemampuan membaca al-Qur’an, kaligrafi, pertukangan, dan lain sebagainya. Bakat bawaan ini sudah seharusnya selalu dipupuk dan dikembangkan agar menjadi prokuktif.
3.      Pendidikan
Potensi ekonomi dari pendidikan pesantren ini terletak pada santri/murid, guru, sarana dan prasarana. Dari sisi santri/murid, sudah barang tentu dikenai kewajiban membayar SPP, di samping sumbangan-sumbangan wajib lainnya. Untuk kelancaran proses belajar mengajar, diperlukan seperangkat buku, kitab, dan alat-alat tulis. Dari sini bisa dikembangkan salah satu unit usaha pesantren yang menyediakan sarana belajar tersebut. Misalnya toko buku/kitab, alat tulis, dan photo copy. Belum lagi dari sisi kebutuhan sehari-hari, seperti makan, minum, air, telephon, asrama, pakaian, dan lain sebagainya.[23]
Melihat begitu banyaknya peluang untuk mengembangkan wirausaha di pesantren, maka akan sangat menguntungkan jika pesantren mengelolanya menjadi kegiatan usaha ekonomi. Kegiatan ini dapat dikembangkan oleh pesantren dan dimulai dengan:
a.       Perencanaan (menumbuhkan gagasan, menetapkan tujuan, mencari data dan informasi, merumuskan kegiatan-kegiatan usaha dalam mencapai tujuan sesuai dengan potensi yang ada, melakukan analisis SWOT, dan memusyawarahkan).
b.      Pemilihan jenis usaha dan macam usaha. Dalam menentukan kegiatan ini yang perlu diperhatikan adalah:
1)           Luas lahan yang dimiliki oleh pesantren.
2)           Sumber daya manusia pesantren.
3)           Tersedianya sarana peralatan dan bahan baku yang ada di pesantren.
4)           Kemungkinan pemasarannya. Ini erat kaitannya dengan potensi permintaan masyarakat terhadap jenis produksi, barang atau bahkan jasa tertentu.[24]
Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut, maka jenis-jenis usaha yang dapat didirikan di pesantren adalah:
a.       Bidang perdagangan.
b.      Bidang pertanian dan agribisnis.
c.       Bidang industri kecil.
d.      Bidang elektronika dan perbengkelan.
e.       Bidang pertukangan kayu.
f.       Bidang jasa.
g.      Bidang keuangan/lembaga keuangan.
h.      Bidang koperasi.
i.        Bidang pengembangan teknologi tepat guna.[25]
Berbagai bidang wirausaha yang sangat strategis di atas telah dikembangkan dan dikelola di berbagai pesantren. Dengan pengelolaan dan pengembangan wirausaha banyak manfaat yang diperoleh, di antaranya membantu pendanaan pesantren, memberdayakan ekonomi masyarakat, dan pendidikan kewirausahaan bagi para santrinya. Beberapa pesantren yang telah berhasil mengembangkan unit usaha ekonomi pesantren adalah:
1.   Pesantren Sunan Drajat Lamongan
Produk-produk usaha yang telah dihasilkan oleh Pondok Pesantren Sunan Drajat antara lain: perkebunan dan jus mengkudu, industri minyak kayu putih cap “Cobra”, minuman (vitamin) penggemukan sapi, dan pupuk alam.[26] Salah satu faktor keberhasilan Pondok Pesantren Sunan Drajat dalam mengembangkan wirausaha adalah keberhasilannya dalam menjalin networking dengan berbagai instansi.
2.   Pesantren Sidogiri Pasuruan
Usaha yang dikembangkan oleh Pesantren Sidogiri Pasuruan ini di antaranya adalah BPR dan BMT. Beberapa Cabang BMT Pondok Pesantren Sidogiri adalah BMT I di Wonorejo, BMT II di Sidogiri, BMT III (Produksi dan Penjualan Padi), BMT IV Sidogiri (kantor pusat), BMT V di Warungdowo, BMT VI di Kraton, BMT VII di Rembang, BMT VIII (Selep Padi di Jetis), BMT IX di Nongkojajar, BMT X di Grati, dan BMT XI di Gondang Wetan. BPR dan BMT ini bersifat independen secara organisatoris dengan pondok pesantren, tetapi dependen secara nilai dan moral.[27]
Selain BPR dan BMT Pondok Pesantren Sidogiri juga memiliki Koppontren yang secara garis besar dibagi dalam dua wilayah, yaitu:
a.    Di kompleks ponpes dengan sasaran utama komunitas santri. Yang termasuk jenis usaha ini adalah toko kitab dan serba ada, dan warung makan.
b.   Di luar pesantren dengan sasaran utama masyarakat umum. Yang termasuk jenis usaha ini adalah: toko serba ada, toko kebutuhan pokok, percetakan dan stationary, pertanian dan perekebunan, warpostel, dan mini market.
Di samping jenis usaha tersebut, Koppontren Sidogiri juga mempunyai komoditi unggulan: Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), baju takwa “Sidogiri”, sarung “Santri”, telepon kartu bebas (kerjasama dengan Telkom), dan percetakan. Koppontren ini secara struktural terkait langsung dengan pondok pesantren.
Keberhasilan Pondok Pesantren Sidogiri dalam mengembangkan usaha ekonominya didukung oleh networking yang dibangun dengan instansi bisnis yang lainnya, serta manajemen kewirausahaan yang variataif sebagian secara integrated structural dan sebagaian integrated non structural yang lebih memberikan keleluasaan bagi lembaga usaha tersebut untuk mengembangkan usahanya.
3.   Pesantren Putri al-Mawaddah Ponorogo
Usaha-usaha ekonomi yang telah dibuka Pesantren Putri al-Mawaddah Ponorogo adalah SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum), AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) “Maaunnada”, Koperasi Pesantren Putri al-Mawaddah (KOPPMADA), perkebunan palawija, peternakan sapi, unit produksi pakan ternak probiotik, produk-produk industri kecil mandiri, wartel al-Mawaddah, warnet al-Mawaddah, foto copy dan percetakan Alma Offset, mini market Kiswah, dan transportasi Alma Transport.[28]
Keberhasilan Pesantren Putri al-Mawaddah dalam mengembangkan berbagi wirausaha didukung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah jiwa wirausaha dan penerapan nilai-nilai wirausaha yang dimiliki oleh para pimpinan pesantren, networking yang dijalin dengan instansi lain, dan keterlibatan masyarakat sekitar dalam mengelola berbagai wirausaha tersebut.
4.   Pesantren al-Ittifaqiyah Ogan Ilir Palembang
Melalui network yang dibangun, Pesantren Ogan Ilir mampu mengembangkan beberapa unit usaha ekonomi, yaitu jasa foto copy, percetakan, unit simpan pinjam pola syari’ah dan transformasi. Mereka juga mempunyai koperasi pesantren, toko buku, dan kantin. Selain itu dalam bidang pertanian memiliki perkebunan karet, pohon jati, sayur-sayuran, dan juga memiliki peternakan itik dan ikan air tawar.[29]
D.    Problem Pengembangan Wirausaha di Pesantren
Salah satu fungsi dan peran pesantren adalah pemberdayaan ekonomi umat. Pengembangan wirausaha menjadi salah bidang yang penting untuk dikelola. Mengacu pada peran dan fungsi pesantren yang diemban tersebut, setidaknya ada tiga problem mendasar dalam pengembangan unit usaha di pesantren yang harus disadari bersama dan segera dicari solusinya.
1.   Sumber daya manusia (SDM)
Kualitas SDM di Indonesia yang dinilai masih sangat minim, secara objektif harus diakui bahwa sebagian di antaranya adalah sumber daya manusia pesantren. SDM di sini tentu saja tidak hanya meliputi kemampuan dasar akademis, tetapi juga kemampuan skill individual-kolektif. Perpaduan antara kemampuan akademis dan skill individual-kolektif inilah yang pada saatnya sangat menentukan terhadap kualitas suatu produk. Terbatasnya sumber daya manusia pesantren inilah yang menjadi problem pengembangan wirausaha di pesantren.
2.   Kelembagaan
a.   Integrated Structural
Model kelembagaan integrated structural adalah semua unit/bidang yang ada dalam pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dalam pesantren. Model seperti ini, sebenarnya tidak terlalu bermasalah, dengan syarat masing-masing bagian mempunyai job description yang jelas, termasuk hak dan kewenangannya. Sebaliknya, apabila tanpa adanya job description yang jelas, sementara kendali organisasi berpusat hanya pada satu orang, maka dapat dipastikan bahwa sistem keorganisasian dan kelembagaan sulit untuk berkembang.[30]
b.   Integrated Non Structural
Model kelembagaan pesantren integrated non structural adalah unit atau bidang-bidang, misalnya bidang usaha ekonomi, bidang pengabdian masyarakat, dan bidang kesehatan yang dikembangkan pesantren terpisah secara struktural organisatoris. Artinya, setiap bidang mempunyai struktur tersendiri yang independen. Meski demikian, secara emosional dan ideologis tetap menyatu dengan pesantren. Pemisahan lembaga ini dimaksudkan sebagai upaya kemandirian lembaga, baik dalam pengelolaan atau pengembangannya. Model kelembagaan seperti ini biasanya mengadopsi sistem manajemen modern. Karenanya tolok ukurnya adalah profesionalisme.
3.   Terobosan/Inovasi dan Networking/Jaringan
Problem ketiga yang dirasa mendasar adalah kurangnya keberanian dari pesantren untuk melakukan terobosan ke luar, atau membuat jaringan, baik antara pesantren, maupun antara pesantren dengan institusi lain. Pentingnya pesantren untuk membina hubungan dengan institusi lain adalah untuk memahami eksistensinya sebagai agent of development. Sebab, untuk menjadi agen perubahan dan pemberdayaan, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, antar lain: wawasan, komunikasi, kekuasaan/kekuatan, politik, dan modalitas ekonomi. Dengan jaringan dan kerjasama yang dijalin, pesantren diharapkan mampu meningkatkan komunikasi, wawasan, dan kekuatan yang dimilikinya.
E.     Kesimpulan
Secara umum dapat digambarkan bahwa lembaga pendidikan yang telah banyak berhasil dalam mengembangkan wirausaha dan mengelola berbagai bidang unit usaha adalah pesantren. Hal ini merupakan upaya nyata dari para pimpinan pesantren dalam menerapkan nilai-nilai wirausaha dalam mengelola lembaga pendidikannya seperti kemampuan melihat peluang, keberanian dan bertanggungjawab atas usaha yang dilakukan, serta memanfaatkan potensi yang dimiliki atau yang diupayakan oleh pesantren menjadi kegiatan ekonomi sehingga menghasilkan laba yang dapat digunakan untuk mendukung eksistensi pesantren. Inilah makna manajemen kewirausahaan dalam lembaga pendidikan.
Beberapa model pengembangan usaha ekonomi pesantren di antaranya adalah; usaha ekonomi yang berpusat pada kiai, usaha ekonomi pesantren untuk memperkuat biaya operasional pesantren, usaha ekonomi untuk santri dengan memberi ketrampilan dan kemampuan bagi santri agar kelak ketrampilan itu dapat dimanfaatkan selepas keluar dari pesantren, dan usaha ekonomi bagi para alumni pesantren.

DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari, Kewirausahaan, Bandung: Alfabeta, 2008.

Buang, Nor Aishah dan Murni, Isteti, Prinsip-Prinsip Kewirausahaan Konsep, Teori, Model Pembentukan Wirausaha, Bangi: Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia: 2006.

Halim, A., “Menggali Potensi Ekonomi Pondok Pesantren”, dalam A. Halim, et. al. (eds), Manajemen Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.

Hidayat, Ara dan Machali, Imam, Pengelolaan Pendidikan Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah, Bandung: Pustaka Educa: 2010.

Imron, Ali, ”Manajemen Pendidikan: Substansi Inti dan Ekstensi”, dalam Ali Imron, et. al (eds), Manajemen Pendidikan Analisis Substantif dan Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan,  Malang: Universitas Negeri Malang, 2003.

Isnaini, M., “Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi Modern Studi terhadap Peran Santri di Pesantren Roudhotul Ulum dan Al-Ittifaqiyah Ogan Ilir”, dalam Irwan Abdullah, et. al. (eds) Agama, Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Longenecker, Justin G, dkk, Kewirausahaan: Manajemen Usaha Kecil, Buku 2, Jakarta: Salemba Empat, 2001.

Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.

Muhammad, Fadel, Reinventing Local Government Pengalaman dari Daerah, Jakarta: PT Elex Media Computindo, Compas Gramedia, 2008.

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi. 2 Cetakan 4, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Rohmah, Lailatu, Manajemen Kewirausahaan Pesantren (Studi di Pesantren Putri al-Mawaddah Coper Jetis Ponorogo), Tesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009. Tidak dipublikasikan.

Sagala, Syaiful, Adiministrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Alfabeta, 2005.

Suhartini, “Problem Kelembagaan Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren”, dalam A. Halim, et. al (eds), Manajemen Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.

Sulton, ”Manajemen Kewirausahaan Pendidikan”, dalam Ali Imron, et. al (eds), Manajemen Pendidikan Analisis Substantif dan Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan,  Malang: Universitas Negeri Malang, 2003.

Syamsudduha, Manajemen Pesantren: Teori dan Praktek Yogyakarta: Grha Guru, 2004.

Terry, George R.  dan Rue, Leslie W.,  Dasar-Dasar Manajemen, Terj. G. A. Ticoalu, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005.

Tim Penyusun, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003.

Thoha, Habib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Usman, Husaini, Manajemen; Teori, Praktek dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Winardi, J., Entrepreneur dan Entrepreneurship, Jakarta: Kencana, 2004.

Zein, Mahmud Ali, “Model-Model Perkembangan Ekonomi Pondok Pesantren: Pengalaman Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan”, dalam A. Halim, dkk, Manajemen Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.

http://nalar-langit.blogspot.co.id/2016/01/manajemen-kewirausahaan-pesantren.html



[1] Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 3.
[3] Suhartini, Problem Kelembagaan Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren, dalam A. Halim et. al. (eds). Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 233.
[4] Habib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 52.
[5] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 95.
[6] Syamsudduha, Manajemen Pesantren: Teori dan Praktek (Yogyakarta: Grha Guru, 2004), hlm. 15-16.
[7] George R. Terry,  Pripnciples of Management (Ontario: Richard D. Irwin. Inc, 1997), hlm. 4.
[8] Syaiful Sagala, Adiministrasi Pendidikan Kontemporer (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 49.
[9] Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah (Bandung: Pustaka Educa: 2010), hlm. 27.
[10] Ibid.,
[11] Ali Imron, Manajemen Pendidikan: Substansi Inti dan Ekstensi, dalam Ali Imron, et. al, dkk (eds), Manajemen Pendidikan Analisis Substantif dan Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan (Malang: Universitas Negeri Malang, 2003), hlm. 7
[12] Ibid., hlm. 9.
[13] Fadel Muhammad, Reinventing Local Government Pengalaman dari Daerah (Jakarta: PT Elex Media Computindo, Compas Gramedia, 2008) hlm. 24.
[14] Ibid., hlm. 24-25.
[15] Sulton, Manajemen Kewirausahaan Kependidikan dalam Ali Imron at. al. (ed), Manajemen Pendidikan Analisis Subtantif dan Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan (Malang: Universitas Negeri Malang, 2003), hlm. 233.
[16] Justin G Longenecker, dkk, Kewirausahaan: Manajemen Usaha Kecil, Buku 2 (Jakarta: Salemba Empat, 2001), hlm. 486-487.
[17] Sulton, Manajemen Kewirausahaan Pendidikan, dalam Ali Imron, et. al (ed), Manajemen Pendidikan Analisis Substantif dan Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan,  (Malang: Universitas Negeri Malang, 2003), 233. 
[18]W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi. 2 Cetakan 4 (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 1012.
[19] J. Winardi, Entrepreneur, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 27-28.
[20] Nor Aishah Buang dan Isteti Murni, Prinsip-Prinsip Kewirausahaan Konsep, Teori, Model Pembentukan Wirausaha (Bangi: Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia: 2006), hlm. 13.
[21] A. Halim, Menggali Potensi Ekonomi Pondok Pesantren, dalam A. Halim, et. al. (ed), Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 223.
[22] Ibid., hlm. 223.
[23] Ibid., hlm. 224.
[24] Tim Penyusun, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 94-95.
[25] Ibid., hlm. 95.
[26] Suhartini, Problem Kelembagaan Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren dalam A. Halim, et. al. (ed), Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 241.
[27] Mahmud Ali Zein, Model-Model Perkembangan Pondok Pesantren: Pengalaman Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, dalam A. Halim, et. al. (ed), Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005),  hlm. 305-307.
[28] Lailatu Rohmah, Manajemen Kewirausahaan Pesantren (Studi di Pesantren Putri al-Mawaddah Coper Jetis Ponorogo), Tesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009. Tidak dipublikasikan, hlm. 119-133.
[29] M. Isnaini “Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi Modern Studi terhadap Peran Santri di Pesantren Roudhotul Ulum dan Al-Ittifaqiyah Ogan Ilir”, dalam Irwan Abdullah, et. al (eds) Agama, Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 186.
[30] Ibid., hlm. 238-239.
LihatTutupKomentar