Problematika Penegak Hukum Dalam Menegakan Hukum di Tengah Masyarakat


A.      PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Masalah

Semenjak dilahirkan ke dunia, manusia sudah mempunyai hasrat untuk hidup secara teratur. Hasrat untuk hidup secara taratur tersebut dipunyainya sejak lahir dan selalu berkembang dalam pergaulan hidupnya. Namun, apa yang dianggap teratur oleh seseorang, belum tentu dianggap teratur juga oleh pihak-pihak lainnya. Oleh karena itu, maka manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup bersama dengan sesamanya, memerlukan seperangkat patokan agar tidak terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai keteraturan tersebut. Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan pedoman untuk berperilaku secara pantas.[3] Patokan untuk berperilaku secara pantas tersebut kemudian dikenal dengan sebutan norma atau kaidah.[4]

Masyarakat modern yang menjadikan hukum sebagai mediator untuk memediasi kepentingannya ketika terjadi perbenturan antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya, secara sederhana dapat dipahami bahwa hukum merupakan sebagai solusi atas masalah yang muncul dalam masyarakat. Mengenai hal ini, mungkin senada dengan pendapat Roscou Pound yang mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia (law as tool of social engineering).[5] Selanjutnya jika kita meminjam istilah Aristoteles, manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dalam kehidupannya, ia sering terlibat kepentingan yang satu dengan yang lainnya,[6] sehingga memerlukan norma atau kaidah untuk mengatur kepentingannya, salah satu norma untuk mengatur kepentingan tersebut adalah norma hukum.[7]

Norma hukum berbeda dengan beberapa norma sosial lainnya yang berlaku dalam masyarakat, norma kesopanan misalnya, tidak memiliki sanksi tegas ketika dilanggar, hal yang sama juga terjadi pada norma kesusilaan dan norma agama. Berbeda dengan ketiga norma di atas, norma hukum mempunyai sanksi yang sifatnya imperative yaitu berupa paksaan fisik, dan penegakannya dilaksanakan oleh institusi yang telah ditunjuk untuk menjalankannya oleh Negara. Penegakan hukum dilakukan agar terlindunginya kepentingan rakyat pada setiap Negara, karena dalam kesehariannya masyarakat tidak akan pernah absen dengan konflik kepentingan yang selalu berujung kepada lahirnya perselisihan, maka hukum sebagai panglima menjadi solusi yang diharapkan guna memenuhi rasa keadilan masyarakat.[8]

Hukum merupakan pranata sosial yang hidup di masyarakat guna mengontrol kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Hal inilah yang kemudian memunculkan masyarakat madani yang tentram dan damai, namun ini semua bukan sebuah persoalan yang mudah karena banyaknya tindakan-tindakan yang mengotori hukum yang kemudian timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Negara ini. Ironisnya mereka adalah oknum dari para penegak hukum yang melakukan tindakan yang tidak terpuji di tengah-tengah masyarakat.

Secara konseptual, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar dalam kaidah-kaidah yang mantap, mengejewantah, dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.[9] Namun yang terjadi pada saat ini jika kita mengamati, melihat  dan  merasakan bahwa penegakan hukum di Negara ini berada  pada kondisi  yang  tidak menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan  kinerja  aparat penegak  hukum,[10] contohnya  dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam penelitian APBN dan APBD di kalangan birokrasi, dan lain sebagainya. Daftar ketidakpuasan masyarakat dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membuka kembali  lembaran-lembaran lama seperti kasus pengambilan tiga buah kakao oleh Minah, kasus pencurian dua buah semangka di Kediri, kasus pengambilan dua buah kapas di Jawa Timur, dan kasus Prita Mulyasari, serta masih banyak kasus-kasus lain. Beberapa fenomena inilah yang kemudian melahirkan pencitraan tidak baik oleh masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum. Bahkan lebih ekstrim lagi kenyataan tersebut sampai mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat kepada hukum itu sendiri.

Ketidak percayaan masyarakat terhadap aparatur Negara tersebut disebabkan para penegak hukum telah mempermainkan moralitas, aparatur Negara telah melakukan hipermoralitas. Masyarakat beranggapan bahwa yang dilakukan oleh peguasa dalam hal ini adalah para aparatur penegak hukum tidak lain hanyalah sebuah “permainan hukum” (justice game). Hukum cuman dianggap sebagai sebuah ajang “permainan bahasa” (language game). Ini merupakan sebuah gambaran yang kelam dan suram terhadap penegakan hukum di Indonesia yang diakibatkan oleh para aparatur penegak hukum itu sendiri. Masyarakat tidak lagi menutup sebelah mata dalam melihat kasus-kasus hukum yang sangat diskriminatif.

Masyarakat telah jenuh dan tidak percaya lagi dengan perlakuan para penegak hukum di Negara Indonesia yang katanya menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi. Ini terlihat dengan semakin meningkatnya pelanggaran masyarakat dewasa ini terhadap hukum. Masyarakat tidak lagi taat pada peraturan hukum, akan tapi masyarakat takut terhadap hukum. Dengan maraknya main hakim sendiri di tengah-tengah masyarakat adalah salah satu faktor dari sekian banyak penyabab ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Negara ini, selain dari buruknya citra dari aparat penegak hukum itu sendiri.

Bertitik tolak pada hal-hal tersebut di atas mengenai lemahnya penegakan hukum di Indonesia, menimbulkan pertanyaan yang mendasar, adakah yang salah dengan berhukum kita, khususnya dengan aparat penegak hukum itu sendiri, apakah permasalahan yang dihadapinya dalam menegakan hukum sehingga menyebabkan penegakan hukum yang jauh dari yang diharapkan masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis bermaksud untuk menulis sebuah makalah dengan judul “Problematika Penegak Hukum dalam Menegakan Hukum di Tengah Masyarakat”.

2.      Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka dapat di tarik beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain:

a.       Apakah yang dimaksud dengan penegak hukum?

b.      Apakah peranan dari penegak hukum tersebut?

c.       Problematika Apa saja yang dihadapi penegak hukum dalam menegakan hukum di tengah masyarakat?

3.      Tujuan dan Manfaat Makalah

Adapun tujuan yang hendak penulis capai dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:

a.       untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Sosiologi Hukum pada Prodi Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Andalas (UNAND) Padang;

b.      untuk mengetahui dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan penegak hukum;

c.       untuk mengetahui Apa sajakah yang menjadi peranan dari penegak hukum tersebut; dan

d.      untuk mengetahui problematika apa saja yang dihadapi penegak hukum dalam menegakan hukum di tengah masyarakat.

Adapun Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:

a.    pada tataran teoritis, makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemahaman terhadap akademisi mengenai problematika penegakan hukum di tengah masyarakat.

b.    Pada tataran praktis, makalah ini diharapkan agar dapat sebagai sumbangan pemikiran, dalam pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dibidang Sosiologi Hukum.

c.    Pada tataran akademis, makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis khususnya dan sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

B.       PEMBAHASAN

1.      Pengertian Penegak Hukum

Ruang lingkup istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum.[11] Penegak hukum merupakan warga masyarakat, yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yakni menegakan (dalam arti memperlancar hukum).[12] Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[13] para pe­ne­gak hukum dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga­nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri.

Penegak hukum merupakan salah satu komponen sistem hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Friedmann, yaitu struktural hukum. Adapun mengenai struktural hukum menurut Fredmann sebagaimana di kutip oleh Abdurrahman,[14] yaitu:

The moving parts, so to speak of the machine courts are simple and obvious….

Jika diterjemahkan secara bebas adalah: unsur penggerak, agar lembaga hukum dapat bekerja secara mudah dan jelas..

Dengan kata lain, Friedmann menggambarkan struktural hukum merupakan “motor penggerak” yang memungkinkan sistem hukum dapat bekerja secara nyata dalam masyarakat.

Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan secara keseluruhan.[15] Dengan demikian, struktur hukum[16] pada dasarnya menunjuk pada lembaga-lembaga (hukum) dan lembaga-lembaga itu meliputi lembaga pembuat undang-undang, pengadilan, polisi, advokat, termasuk jaksa (kejaksaan),[17] dan lembaga penegak hukum yang secara khusus diatur oleh undang-undang seperti KPK,[18] Lembaga-lembaga hukum tersebut mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum. Tujuan tersebut sering dirumuskan sebagai menciptakan tata tertib di dalam masyarakat. Dengan demikian, maka apa yang disebut sebagai lembaga itu adalah pengorganisasian kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan hukum tersebut. Pengadilan merupakan salah satu organisasi yang mengemban tugas sedemikian itu.[19]

Aparat penegak hukum memiliki fungsi yang sangat strategis dan signifikan dalam menegakan hukum. Hal ini tercermin dari para aparat penegak hukum itu merupakan salah satu unsur yang paling berpengaruh dalam penegakan hukum. Bahkan menurut Daniel S. Lev, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto:[20]

Yang menjadi hukum itu ialah praktik sehari-hari oleh pejapat hukum. Kalau pejabat-pejabat hukum termasuk hakim-hakim, jaksa-jaksa, advokat-advokat, pokrol bambu, polisi-polisi dan pegawai-pegawai pemerintah pada umumnya berubah ini berarti bahwa hukum sudah berubah, walaupun undang-undangnya sama saja seperti dulu.

Jadi, menurut penulis wajar jika pada dekade baru-baru ini berkembang asumsi dan spekulasi negatif di tengah masyarakat yang mengatakan bahwa hukum sekarang sudah berubah dan keluar dari koridor sebagaimana yang telah diatur undang-undang. Mungkin inilah salah satu penyebabnya, sebagaimana disebutkan oleh Daniel S. Lev di atas.

2.      Peranan Penegak hukum

Menurut Sudikno Mertokusumo[21] tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapakan kepentingan manusia akan terindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiaban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.

Hal tersebut di atas tidak mungkin terwujud dalam masyarakat jika aparat penegak hukum tidak memainkan perannya dengan maksimal sebagai penegak hukum. Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu merupakan peranan (role). Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan  tertentu, dapat dijabarkan dalam unsur-unsur sebagai berikut:[22]

a.    peranan yang ideal (ideal role),

b.    peranan yang seharusnya (expected role),

c.    peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role), dan

d.   peranan yang sebenarnya dilakukan (aktual role).

Seorang penegak hukum , sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict dan conflict of role). Kalau dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan (role-distace).[23]

Masalah peranan dianggap penting, oleh karena pembahasan menganai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi (pertimbangan). Sebagaimana dikatakan di muka, maka diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, di mana penilaian pribadi juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum diskresi sangat penting karena:[24]

a.    tidak ada peraturan perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia,

b.    adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian,

c.    kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang, dan

d.   adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus.

Penggunaan perspektif peranan dianggap mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu, oleh karena:[25]

1.    faktor utama adalah dinamika masyarakat,

2.    lebih mudah untuk membuat suatu proyeksi, karena pemusatan perhatian pada segi prosesual,

3.    lebih memperhatikan pelaksanaan hak dan kewajiban serta tanggung jawab, daripada kedudukan dengan lambang-lambangnya yang cenderung bersifat konsumtif.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai peranan yang ideal dan peranan yang seharusnya dari masing-masing penegak hukum (khususnya kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan advokat), akan dipaparkan sebagi berikut:

1.    Kepolisian

-       Peranan ideal

Adapun peranan ideal dari kepolisian adalah menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum Negara.[26]

-       Peranan yang seharusnya

Adapun peranan yang seharusnya dari kepolisian yaitu:[27] (1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) menegakkan hukum; dan (3) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

2.    Kejaksaan

-       Peranan yang ideal, yaitu sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.[28]

-       Peranan yang seharusnya

Adapun peranan yang seharusnya dari kejaksaan adalah[29] alat Negara yang bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

3. Kehakiman

-       Peranan yang ideal kekuasaan kehakiman adalah menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.[30]

-       Peranan yang seharusnya, yaitu[31] menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Berhubungan dengan hal ini, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan:

a)    Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan,

b)   Pengadilan dalam mengadili mengadili menurut hukum tanpa membeda-bedakan orang

c)    Pengadilan wajib untuk memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya meskipun undang-undang yang mengaturnya tidak ada atau kurang jelas.

3.    Adavokat

-       Peranan yang ideal advokat adalah memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Advokat.[32]

-       Peranan yang seharusnya yaitu memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.[33]

Setelah dipaparkan secara ringkas mengenai peranan yang ideal dan yang seharusnya, maka timbul pertanyaan bagaimanakah dengan peranan yang sebenarnya atau peranan aktual. Jelaslah bahwa hal itu menyangkut perilaku nyata dari para pelaksana peran, yakni para penegak hukum yang disatu pihak menerapkan perundang-undangan, dan dilain pihak melakukan diskresi di dalam keadaan-keadaan tertentu.[34]

Untuk mengetahui peranan yang aktual, sebagai contohnya dapat dilihat dari hasil survey Litbang Harian Kompas dalam polingnya pada hari Senin 29 November tahun 2004, di sana dikatakan bahwa penegakan hukum berada pada fase yang memburuk. Kondisi ini tercermin dari responden yang mengatakan bahwa 61 persen penegakan hukum di Indonesia masih mengalami keterpurukan, sementara hanya 30 persen lainnya mengatakan baik, sisanya tidak tahu. Hasil survey ini sudah pasti menjadi rapor merah bagi penegak hukum.

Selanjutnya untuk mengetahui lebih spesifik lagi hasil survey tersebut di atas secara detail berikut pemaparannya: Institusi Kepolisian oleh responden dikatakan 59.1 mempunyai kinerja buruk, 31.8 persen mengatakan baik, dan sisanya tidak tahu. Kehakiman mendapat 56.9 persen tanggapan buruk dari responden, 31.9 mengatakan baik, dan sisanya mengatakan tidak tahu. Responden berpendapat bahwa 54.8 persen kinerja Kejaksaan buruk, 31.4 persen mengatakan baik, sisanya tidak tahu. Advokat menurut responden mengatakan buruk 46.8 persen, 37.1 persen responden mengatakan baik, dan sisanya tidak tahu. Jadi, dapat disimpulkan secara keseluruhan kinerja aparat penegak hukum dianggap buruk oleh responden.[35] Kenyataan tersebut tidaklah janggal jika kemudian aparat penegak hukum mendapat vonis sebagai salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Negara ini. Secara umum identifikasi terhadap keterpurukan atas lemahnya penegakan hukum di Indonesia dapat digambarkan dalam bentuk tabel berikut ini:

No
   

Penegak                                                      Hukum           BaikBuruk      Tidak Tahu

1. Kepolisian                                                   31.8 %             59.1 %                9.1 %

2. Kehakiman                                                  31.9 %             56.2 %              11.9 %

3. Kejaksaan                                                    31.4 %            54.8 %               13.8 %

4. Advokat                                                        37.1 %           46.8 %               16.1 %

Sumber: Kompas

Berdasarkan data kuantitatif di atas dapat ditarik benang merahnya bahwa adanya indikasi ketidakserasian antara peranan yang seharusnya dengan peranan aktual atau peranan yang sebenarnya. Namun, untuk konteks kekinian kenyataan tersebut menurut penulis masih berlaku, bahkan jika diadakan survey kembali ada kemungkinan kinerja aparat penegak hukum dinilai bertambah buruk. Hal ini karena banyaknya persoalan hukum yang belum terselesaikan, serta ada ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dalam penegakan hukum.

Untuk melaksanakan peranan aktual, penegak hukum sebaiknya mampu mulat sarira atau mawas diri, hal ini akan tampak pada perilakunya yang merupakan pelaksanaan peranan aktualnya. Agar mampu untuk mawas diri penegak hukum harus berikhtiar untuk:[36]

1.    sabenare (logis), yaitu dapat membuktikan apa atau mana yang benar dan yang salah,

2.    samestine (etis), yaitu bersikap tidak maton atau berpatokan dan tidak waton ialah asal saja sehingga sembrono atau ngawur.

Ukuran maton itu ialah:

a.    sabutuhe yang maksudnya tidak serakah,

b.    sacukupe yaitu mampu tidak berkekurangan tetapi juga tidak serba berkelebihan, dan

c.    saperlune, artinya lugu, lugas tidak bertele-tele tanpa ujung pangkal.

3.    Sakapenake (estetis), yang harus diartikan: mencari yang enak tanpa menyebabkan tidak enak pada pribadi lain.

Hal-hal tersebut hanya mungkin, apabila dilandaskan pada paling sedikit dua asas, yakni:

1.    Apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya….

2.    Apa yang boleh anda perdapat, biarkanlah orang lain berikhtiar mendapatkannya…

Memang di dalam kenyataannya sakarang sukar untuk menerapkan hal-hal tersebut, karena sedikit banyaknya penegak hukum juga dipengaruhi oleh hal-hal lain, seperti misalnya kepentingan kelompok (interest groups) dan juga pendapat masyarakat (public opinion) yang mungkin mempunyai dampak negatif atau positif.

Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari penegak hukum dalam menerapkan hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut menurut Soerjono Soekanto adalah:[37]

1.    Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi,

2.    Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi,

3.    Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi,

4.    Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan serta kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel,

5.    Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

Selanjutnya dalam menjalankan perannya untuk menegakan hukum di tengah masyarakat, para penegak hukum juga harus memperhatikan norma-norma atau kaidah yang wajib ditaati oleh para penegak atau pemelihara hukum. Norma tersebut perlu ditaati terutama dalam menggembalakan hukum, menyusun serta memelihara hukum. Menurut O. Notohamidjojo sebagai mana dikutip oleh E. Sumaryono, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu:[38]

1.    Kemanusiaan

Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi.

2.    Keadilan

Keadilan adalah kehendak yang ajeg dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya.

3.    Kepatutan

Kepatutan atau equity adalah hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan undang-undang dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya. Kepatutan ini perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat.

4.    Kejujuran

Pemelihara hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus atau menangani hukum serta dalam melayani  ‘justitiable’ yang berupaya untuk mencari hukum dan keadilan. Atau dengan kata lain, setiap yurist diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara.

Jadi, norma-norma tersebut perlu ditekankan dan dituntut pada setiap pemelihara atau penegak hukum, terutama pada zaman atau kurun waktu di mana norma-norma etika melemah dalam masyarakat. Para yurist, melalui penyadaran atau norma-norma tersebut, diharapkan dapat menjaga moralitasnya yang setinggi-tingginya di dalam mengembalakan hukum.

3.      Problematika Penegak Hukum dalam Menegakan Hukum di Tengah Masyarakat

Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang khususnya Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.[39]

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru serta memberikan keteladanan yang baik.[40]

Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption yang sudah terlanjur  mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.[41]

Beberapa permasalahan mengenai penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya. Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya.[42]  Misalnya, kalau hukum tertulis yang mengatur suatu bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam kepincangan. Maka seluruh lapisan masyarakat akan merasakan akibat pahitnya.

Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, meliputi: petugas strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya adalah sampai sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam penegakkan hukum, menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal sebagai berikut:[43]

a).      Sampai sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada,

b).      Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,

c).      Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat,

d).     Sampai sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.

Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum.[44] Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.[45]

Kondisi riil yang terjadi saat ini di Indonesia mengindikasikan adanya kegagalan aparat-aparat penegak hukum dalam menegakan hukum. Kegagalan penegakan hukum secara keseluruhan dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum itu sendiri. Ketidakmampuan penegakan hukum diakibatkan profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidakmauan penegakan hukum berkait masalah KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) yang dilakukan oleh aparat hukum sudah menjadi rahasia umum.[46] Terlepas dari dua hal di atas lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga dapat kita lihat dari ketidakpuasan masyarakat karena hukum yang nota benenya sebagai wadah untuk mencari keadilan[47] bagi masyarakat, tetapi malah memberikan rasa ketidakadilan.

Lembaga hukum merupakan lembaga penegak keadilan dalam suatu masyarakat, lembaga di mana masyarakat memerlukan dan mencari suatu keadilan. Idealnya, lembaga hukum tidak boleh sedikitpun bergoyah dalam menerapkan keadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum dan syari’at yang telah disepakati bersama. Hukum menjamin agar keadilan dapat dijalankan secara murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa membedakan asal-usul, warna kulit, kedudukan, keyakinan dan lain sebagainya. Jika keadilan sudah tidak ada lagi maka masyarakat akan mengalami ketimpangan. Oleh karena itu, lembaga hukum dalam masyarakat madani harus menjadi tempat mencari keadilan. Hal ini bisa diciptakan jika lembaga hukum tersebut dihormati, dijaga dan dijamin integritasnya secara konsekuen.[48]

Jika kita berkaca kepada potret penegakan hukum di Indonesia saat ini (kembali penulis tegaskan) belumlah berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan buruk. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus besar yang belum tuntas salah satunya praktek korupsi yang menggurita, namun ironisnya para pelakunya sangat sedikit yang terjerat oleh hukum.[49] Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang melibatkan rakyat kecil, dalam hal ini aparat penegakkan hukum cepat tanggap, karena sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus korupsi merupakan kalangan berdasi alias para pejabat dan orang-orang berduit yang memiliki kekuatan (power) untuk menginterfensi efektifitas dari penegakan hukum itu sendiri.

Realita penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat kecil yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum, khususnya aparat penegak hukum itu sendiri.[50] Sebagaimana sama-sama kita ketahui para pencari keadilan yang note bene adalah masyarakat kecil sering dibuat frustasi oleh para penegak hukum yang nyatanya lebih memihak pada golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba.[51]

Problematika penegakan hukum yang mengandung unsur ketidakadilan tersebut mengakibatkan adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. (http://nalar-langit.blogspot.co.id/2015/12/hukum-adat-indonesia-asas-asas-sifat.html)

Penegakan hukum yang carut-marut, kacau, dan mengesampingkan keadilan tersebut bisa saja diminimalisir kalau seandainya hukum dikembalikan kepada fungsi aslinya, yaitu untuk untuk menciptakan keadilan, ketertiban serta kenyamanan. Selain itu sebagaimana menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dan hubungan antara empat faktor, yakni:[52]

1.    Hukum dan peraturan itu sendiri.

Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala ketidakserasian antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, dan seterusnya.

2.    Mentalitas Petugas yang menegakkan hukum.

Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, akan tetapi jika mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi pada sistem penegakkan hukum.

3.    Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.

Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.

4.    Kesadaran dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.

Namun dipihak lain perlu juga disadari bahwa penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya adalah keadilan. Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di antara dua kutub tersebut. Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang mendekati kutub Naminem Laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat netral. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.[53]

Penegakan hukum yang acap kali menciderai rasa keadilan, baik keadilan menurut pandangan yuridis maupun keadilan menurut masyarakat. Hal inilah salah satu pemicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam menegakan hukum di tengah masyarakat. Jika kita pandang dari kacamata sosiologi hukum, kita dapat mengasumsisikan bahwa ada dua faktor yang paling menonjol yang mempengaruhi aparat penegak hukum dalam menegakan hukum yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal (yang berasal dari penegak hukum itu sendiri) salah satu contoh, adanya kecenderungan dari aparat penegak hukum dalam menegakan hukum berpedoman pada undang-undang semata sehingga mengesampingkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya faktor eksternal (yang berasal dari luar penegak hukum itu sendiri) misalnya ketika terjadi peristiwa hukum adanya kecenderungan masyarakat yang menyelasaikan dengan caranya sendiri.

C.      PENUTUP

Berdasarkan paparan dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa pikaran konklusif, yaitu sebagai berikut:

v  Penegak hukum merupakan sebutan bagi mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum, baik berupa institusi maupun berupa badan atau orga­nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri (independen).

v  Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu merupakan peranan (role). Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Paling tidak bagi penegak itu ada tiga peranan yang diembannya dalam menjalankan tugas, yaitu: (1) peranan yang ideal (ideal role), (2) peranan yang seharusnya (expected role), dan (3) peranan yang sebenarnya dilakukan (aktual role).

v  Untuk menegakan hukum di tengah masyarakat bukanlah usaha yang mudah seperti membalikkan telapak tangan, tetapi para penegak hukum mengalami berbagi problematika, baik yang berasal dari aparat penegak hukum itu sendiri maupun yang berasal dari luar aparat penegak hukum itu. Seperti:

o  Sampai sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada,

o  Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,

o  Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat,

o  Sampai sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya, dan lain-lain. http://nalar-langit.blogspot.co.id/2015/12/hukum-adat-indonesia-asas-asas-sifat.html

[1] Makalah ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam Mata Kuliah Sosiologi Hukum pada Magister Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Andalas (UNAND) Padang.

[2] Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Andalas (UNAND) Padang.

[3] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,(Cet. Ke-10), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 1

[4] Ibid.

[5] H. Salim, HS, S.H, M.S, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 41

[6] Abdoel Jamali, Hukum Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 1993), hlm. 1

[7] Hukum merupakan salah satu norma sosial, karena keberadan hukum itu sendiri tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini senada dengan adanya ungkapan klasik ubi sociates ibi ius (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). (Lihat, Peter Mahmud Marzuki,  Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada Midia Group, 2009), hlm. 41)

[8] Lihat, Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, (Yogyakarta: antonyLip, 2009), hlm. 2

[9] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Op.Cit., hlm. 5

[10] Bahkan menurut Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. penegakan hukum di negeri ini sedang terancam memasuki kondisi darurat alias zona merah. Langkah menuju zona merah tersebut dapat dilacak dari performance penegakan hukum yang semakin bergerak menuju titik nol. Sepanjang semester pertama tahun ini misalnya sejumlah peristiwa cukup memberi gambaran betapa tidak banyak kemajuan yang dapat diraih dalam penegakan hukum. Pengalaman yang terjadi dalam beberapa waktu cukup untuk membuktikan bahwa penegakan hukum sedang menuju zona merah. (Saldi Isra dalam http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=434:zona-merah-penegakan-hukum&catid=3:seputarindonesia&Itemid=2, yang diakses Tanggal  23 Desember 2011)

[11] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor …, Op.Cit., hlm. 19

[12] Soerjono soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, cet. Ketiga, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hlm. 52

                [13] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. makalah Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia, Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari 2006, hlm. 14

[14] Abdurrahman, Tebaran Pikiran tentang Studi Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Media Sarana Press, 1987), hlm. 86

[15] Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya, Cetakan Kedua, (Ciawi-Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 1.

[16] Sehubungan dengan struktur hukum tersebut, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa “sosiologi hukum” diantaranya mempelajari “pengorganisasian hukum”. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hlm. 312

[17] Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 76

[18] Lihat, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

[19] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Cet. keempat, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1980), hlm. 65

[20] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cet. Kedua belas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 101

[21] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 71

[22] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor …, Op.Cit., hlm. 20

[23] Ibid., hlm. 21

[24] Ibid., hlm. 21-22

[25] Ibid., hlm. 22-23

[26] Lihat, Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 4

[27] Lihat kembali, Undang-undang 2 tahun 2002, Pasal 13

[28] Lihat, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (1)

[29] Lihat kembali, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004, Pasal 1 ayat (1)

[30] Lihat, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 ayat (1)

[31] Lihat kembali, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

[32] Lihat, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003  tentang Advokat, Pasal 1 ayat (1)

[33] Lihat kembali, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003  tentang Advokat, Pasal 1 ayat (2)

[34] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor …, Op.Cit., hlm. 27-28

[35] Lihat, Kompas, Senin 29 November 2004

[36] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor …, Op.Cit., hlm. 28-30

[37] Ibid., hlm. 34-35

[38] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma bagi Penegak Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 115-116

[39] Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika, Kajian Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005). hlm. 50

[40] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor …, Op.Cit., hlm. 34

[41] Penegakan hukum dinamisator peraturan perundang-undangan melalui putusan dalam rangka menegakkan hukum, peraturan perundang-undangan menjadi hidup dan diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang kurang baik  akan tetap mencapai sasaran atau tujuan di tangan penegak hukum yang baik. Lihat M. Afif Habullah, Politik Hukum Rativikasi Konvensi HAM Indonesia, Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demokratis, (Lamongan Jawa Timur: UNISDA, 2005). hlm. 14

[42] Soerjono soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum…., Op.Cit., hlm. 20

[43] Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 95.

[44] Berhasilnya hukum itu menggerakkan para warga masyarakat untuk bertindak sesuai dengan kemauan hukum itu tidak hanya tergantung dari peraturan itu sendiri berikut sanksi-sanksinya. Keberhasilan itu tergantung dari banyak faktor atau dapat dikatakan merupakan gabungan dari berbagai faktor, yaitu:

1)    aktivitas para pejabat hukum itu sendiri (polisi dan sebagainya),

2)    terdapatnya lembaga-lembaga lainnya di dalam masyarakat yang mendukung bekerjanya sistem hukum itu, dan

3)    terdapatnya kompleks kekuatan baik sosia, politik, ekonomi maupun lainnya yang bekerja atas diri para warga masyarakat itu. (Satjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Penerbit Alumni, 1977), hlm. 52-53)

[45] Soerjono soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum…., Op.Cit., hlm. 17

[46] Amir Syamsuddin (Salah seorang Praktisi Hukum di Jakarta), dalam http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=3980&coid=3&caid=21&gid=1 yang diakses Tanggal 23 Desember 2011

[47] Menurut Soekanto ada dua kutub citra keadilan yang harus melekat dalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagai tindakan adil. Pertama, Naminem Laedere, yakni "jangan merugikan orang lain", secara luas azas ini berarti " Apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya". Kedua, Suum Cuique Tribuere, yakni "bertindaklah sebanding". Secara luas azas ini berarti "Apa yang boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya". Azas pertama merupakan sendi equality yang ditujukan kepada umum sebagai azas pergaulan hidup. Sedangkan azas kedua merupakan azas equity yang diarahkan pada penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama. (Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006),  hlm. 51)

[48] Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 218-219

[49] Lihat, Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif …., hlm. 66

[50] Negara Indonesia adalah negara hukum, begitu yang dinyatakan dalam konstitusi kita UUD Negara RI 1945 pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam amandemennya yang ketiga, Agustus 2001 silam. Sehingga seharusnya seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara kita harus berdasarkan pada norma-norma hukum. Artinya hukum harus dijadikan panglima dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan individu, masyarakat dan Negara. Tetapi sampai saat ini dalam kenyataannya masyarakat seperti tidak percaya kepada hukum sebagai satu-satunya solusi atas permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Mungkin hal ini disebabkan karena sudah sangat kronisnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum, istilah ini tidak lazim dipakai dalam bahasa Indonesia dimana penyumbang terbesar krisis tersebut adalah dari para penegak hukumnya sendiri.(Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit., hlm. 155-156)

[51]Ibid., hlm. 156

[52] Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 83-84.

[53] Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit., hlm. 55-56
LihatTutupKomentar