PERKEMBANGAN EMOSI DAN SOSIAL PESERTA DIDIK
A. Definisi Perkembangan Emosi dan Sosial Peserta Didik
Sebelum memulai pembelajaran pada kegiatan kali ini, silahkan Anda melakukan refleksi pada diri sendiri. Jenis emosi positif atau negatif apa yang paling sering Anda alami satu bulan terakhir? Kondisi/situasi seperti apa sehingga mengalami emosi tersebut? Apakah emosi itu Anda inginkan atau tidak inginkan? Hal/kegiatan apa yang Anda lakukan untuk mempertahankan atau menghilangkan emosi itu? Setelah selesai refleksi untuk diri sendiri, maka silahkan Anda refleksi terhadap peserta didik.
Jenis emosi apa yang paling sering dialami peserta didik Anda selama satu bulan terakhir? Kondisi/situasi seperti apa sehingga mereka mengalami emosi yang dimaksud? Apakah emosi itu yang mereka alami adalah hal yang diinginkan atau tidak inginkan terjadi? Hal/kegiatan seperti apa yang Anda lakukan sebagai seorang guru untuk mempertahankan atau menghilangkan emosi yang mereka alami? Jawaban dari pertanyaan di atas tentunya beragam.
Namun memiliki kesamaan dalam hal perasaan atau emosi yang dirasakan. Misalnya guru ataupun peserta didik akan gembira jika mendapatkan sesuatu yang menarik, atau akan merasa lucu jika melihat hal-hal yang menggelikan. Begitu pula akan sama-sama merasa sedih jika mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Kenapa bisa seperti itu? Jawabannya adalah baik guru maupun peserta didik sama-sama ciptaan Allah Swt yang dibekali hati yang berfungsi menyimpan segala bentuk perasaan manusia yang pernah dialaminya. Hatilah yang merespon rangsangan fisik yang diterima oleh manusia dalam bentuk emosi.
Emosi adalah perasaan yang ada dalam diri individu. Emosi dapat berupa perasaan senang atau tidak senang, perasaan baik atau buruk. Dalam World Book Dictionary (1994), emosi didefinisikan sebagai “berbagai perasaan yang kuat”. Perasaan benci, takut, marah, cinta, senang, dan kesedihan. Macam-macam perasaan tersebut adalah gambaran dari emosi. Goleman (1995) menyatakan bahwa “emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Menurut Soendjoyo (2002), emosi merupakan dasar dari perkembangan kepribadian dan sosial.
Emosi itu penting karena peserta didik memiliki kebutuhan untuk:
1. Mempertahankan diri. Emosi akan mengingatkan peserta didik jika ada kebutuhan alamiah yang tidak terpenuhi.
2. Membuat keputusan. Bayi menangis karena lapar dan baru berhenti setelah diberi ASI. Hal ini terjadi karena bayi bisa merasakan dan menginginkan ASI.
3. Menciptakan batasan. Ketika anak merasakan tidak nyaman dengan perilaku orang lain emosi akan mengingatkannya. Jika menyakini apa yang dirasakan dan mampu mengekpresikannya, orang akan tau apa yang kita rasakan.
4. Komunikasi. Emosi menjadikan peserta didik dapat berkomunikasi dengan orang lain. Ekspresi wajah yang beragam dapat menggambarkan keanekaragaman emosi.
5. Menciptakan kesatuan. Emosi menjadi sumber potensial yang terbesar untuk menyatukan umat manusia. Adanya emosi yang terbangun antara guru dan peserta didik akan menciptakan suatu rasa kesatuan dan kebersamaan. Syamsuddin (2000) mengemukakan bahwa “emosi merupakan suatu suasana yang kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa (stind up state)”.
Berdasarkan definisi diatas kita dapat memahami bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang kompleks, dapat berupa perasaan, ataupun getaran jiwa yang ditandai oleh perubahan biologis yang muncul menyertai terjadinya suatu perilaku. Menurut Papalia (2011) pondasi perkembangan psikososial mencakup emosi dan pengalaman awal anak bersama dengan orang tua. Anak memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Kebutuhan sebagai makhluk sosial ini telah aktif dikembangkan anak sejak lahir.
Pada usia 6 bulan, anak telah mampu mengenal ibu dan anggota keluarga yang sering berinteraksi dengannya. Pada tahapan ini, anak mulai membedakan sinyal- sinyal ekspresi sosial dari lingkungannya, seperti mengartikan senyum, marah, teriakan, kasih sayang dan sebagainya. Sikap anak, utamanya dalam kemampuan sosial dan emosi ini akan bersesuaian dengan pengalaman yang diperoleh dari interaksi meraka dengan orang lain.
Seiring dengan bertambahnya usia, anak mengembangkan kebutuhan dan hubungan sosial yang semakin kompleks dengan lingkungan. Ada fungsi atau peran yang beragam dari emosi terhadap perkembangan anak. Fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Merupakan bentuk komunikasi. Emosi sebagai bentuk komunikasi menjadikan anak dapat menyatakan segala kebutuhan dan perasaannya terhadap orang lain.
b. Emosi berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian diri anak dengan lingkungan sosialnya. Berikut adalah beberapa contohnya :
1) Tingkah laku emosi anak yang ditampilkan merupakan sumber penilaian lingkungan terhadap dirinya. Sebagai contoh, seorang anak mengekpresikan ketidaknyamanannya dengan menangis, lingkungan sosialnya akan menilai dia sebagai anak yang cengeng.
2) Emosi menyenangkan atau tidak menyenangkan dapat mempengaruhi interaksi sosial anak melalui reaksi- reaksi yang ditampilkan lingkungannya.
3) Emosi dapat mempengaruhi iklim psikologis lingkungan. Tingkah laku emosi anak yang ditampilkan dapat menentukan iklim psikologis lingkungan. Artinya apabila ada seorang anak yang pemarah dalam suatu kelompok maka dapat mempengaruhi kondisi psikologis lingkungannya saat itu, misalnya permainan menjadi tidak menyenangkan, timbul pertengkaran atau malah bubar.
4) Tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat menjadi suatu kebiasaan. Artinya, apabila seorang anak yang ramah dan suka menolong merasa senang dengan perilakunya tersebut dan lingkungan pun menyukainya maka anak akan melakukan perbuatan tersebut berulang – ulang hingga akhirnya menjadi kebiasaan .
5) Ketegangan emosi yang dimiliki anak dapat menghambat atau mengganggu aktivitas motorik dan mental anak. Bentuk- bentuk emosi positif dan emosi negatif, sebagaimana dikemukakan Reynold (1987), dipaparkan dalam table berikut ini:
Ditinjau dari perspektif psikologi perkembangan, manusia adalah makhluk yang senantiasa mengalami perubahan atau “change over time”. Sejak dari masa konsepsi hingga meninggal dunia, manusia secara bertahap mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Dalam proses tersebut, manusia tidak bisa dipisahkan dengan interaksi, baik dalam lingkungan keluarga, maupun dengan sesama anggota masyarakat.
Hurlock juga mengemukakan bahwa perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menurut Allen dan Marotz (Musyaroh, 2016) perkembangan sosial adalah area yang mencakup perasaan dan mengacu pada perilaku dan respon individu terhadap hubungan mereka dengan individu lain. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama. Jadi pekembangan sosial ini fokus pada relasi antara peserta didik dengan orang lain.
Sama halnya dalam Islam, Allah swt menegaskan tujuan penciptaan manusia yang majemuk adalah untuk saling kenal mengenal. Sebagaimana firman Allah “Hai manusia, sesungguhnya kami menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa, bersuku-suku supaya saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang mulia diantara kamu di sisini Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Q.S. ....................tulis ayatnya.
Jadi tolong menolong sangat diwajibkan sesama manusia, seperti firman Allah swt yang berbunyi “.... Dan bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam dosa dan pelanggaran” (Q.S. Al-Maidah (5): 2). “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” Q.S Al-Hujurat (49): 10). “.....Sesungguhnya kamu adalah ummat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku” Q.S. Al Anbiya (21): 92).
Dengan demikian, guru harus menanamkan rasa kebersamaan dan peserta dapat menyesuaikan diri baik sebagai individu maupun dalam kehidupan sosialnya. Perkembangan sosial peserta didik adalah tingkatan jalinan interaksi anak dengan orang lain, mulai dari orang tua, saudara, teman bermain, hingga masyarakat secara luas. Sedangkan perkembangan emosional adalah luapan perasaan ketika anak berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkembangan sosial-emosional tidak dapat dipisahkan.
B. Karakteristik Perkembangan Sosial Emosi dalam Kaitannya dengan Aspek Fisik dan Mental lainnya.
Lewis dan Rosenblam (Stewart, 1985) mengutarakan proses terjadinya emosi atau mekanisme emosi melalui lima tahapan, sebagai berikut:
1. Elicitors, yaitu adanya dorongan berupa situasi atau peristiwa.
2. Receptors, yaitu aktivitas dipusat system syaraf.
3. State, yaitu perubahan spesifik yang terjadi dalam aspek fisiologi.
4. Expression, yaitu terjadinya perubahan pada daerah yang diamati, seperti pada wajah, tubuh, suara atau tindakan yang terdorong oleh perubahan fisiologis.
5. Experience, yaitu persepsi dan interpretasi individu pada kondisi emosionalnya. Lebih lanjut, Syamsuddin (2000) menggambarkan mekanisme emosi dalam rumusan yang lebih ringkas.
Emosi adalah gabungan lima komponen (elicitors, receptors, state, expression, experience), yang kemudian dibagi dalam tiga variabel berikut :
a. Variabel stimulus Rangsangan yang menimbulkan emosi disebut sebagai variabel stimulus.
b. Variabel organismik Perubahan – perubahan fisiologis yang terjadi saat mengalami emosi disebut sebagai variabel organik.
c. Variabel respon Pola sambutan ekspresif atas terjadinya pengalaman emosi disebut sebagai variabel respons.
Perkembangan sosial emosianal anak memiliki keterkaitan dengan aspek perkembangan lainnya, baik fisik maupun mental. Keterkaitan tersebut dapat diketahui dari peningkatan kemampuan yang saling melengkapi.
Emosi juga mempengaruhi kegiatan mental seperti konsentrasi, pengingatan, penalaran. Mungkin anak akan menghasilkan prestasi di bawah kemampuan intelektualnya, apabila emosinya terganggu, sedangkan secara psikologis efek dari tekanan emosi akan berpengaruh pada sikap, minat, dan dampak psikologis lainnya. Berdasarkan pada paparan diatas, penting untuk orang dewasa lain yang ada di sekitar anak usia dini, mengetahui bahwa kondisi emosi mereka dapat diketahui dari perilaku yang dimunculkan anak.
Pada pembahasan sebelumnya, telah dipelajari mengenai tahapan terjadinya emosi dan dampaknya pada aspek perkembangan yang lainnya, maka begitu pula dengan perkembangan sosial. Proses pembentukannya melalui proses yang dimulai sejak bayi. Pondasi terbentuknya hubungan sosial dimulai ketika bayi baru dilahirkan sampai usia lansia. Jika tugas psikososial tidak tuntas di fase yang ditentukan maka itulah yang menjadi sumber masalah gangguan dalam perkembangan sosial.
Salah satu tokoh psikologi perkembangan yang merumuskan teori perkembangan sosial peserta didik adalah Erik Erikson. Erikson berpendapat bahwa sepanjang sejarah hidup manusia, setiap orang mengalami tahapan perkembangan dari bayi sampai dengan usia lanjut. Perkembangan sepanjang hayat tersebut diperhadapkan dengan delapan tahapan yang masing-masing mempunyai nilai kekuatan yang membentuk karakter positif atau sebaliknya, berkembang sisi kelemahan sehingga karakter negatif yang mendominasi pertumbuhan seseorang.
Erikson menyebut setiap tahapan tersebut sebagai krisis atau konflik yang mempunyai sifat sosial dan psikologis yang sangat berarti bagi kelangsungan perkembangan di masa depan. Adapun tahapan perkembangannya sebagai berikut: …………………..tambahkan gambar tahap ini …………………….
Ada tiga tahap penerimaan sosial. Hurlock (1995) mengemukakan beberapa tahapan (stage) dalam penerimaan oleh kelompok teman sebaya, adalah sebagai berikut :
1) A Reward – Cost stage Pada stage ini ditandai oleh adanya harapan yang sama, aktivitas yang sama dan kedekatan. Biasanya pada anak Kelas 2 dan 3, tetapi belum mendalam.
2) A Normative Stage Pada stage ini ditandai oleh dimilikinya nilai yang sama, sikap terhadap aturan, dan sanksi yang diberikan. Biasanya terjadi pada anak kelas 4 dan kelas 5.
3) An Emphatic Stage Pada tahapan ini dimilikinya pengertian, pembagian minat, self disclosure, adanya kedekatan yang mulai mendalam. Biasanya diatas kelas 6.
C. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi dan Sosial Peserta Didik
Perkembangan emosi yang muncul pada setiap anak pasti berbeda antara anak yang satu dengan anak yang lainnya. Ini disebabkan karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dari berbagai sumber (Setiawan, 1995; Hurlock dalam Susanto, 2011; Tirtayani, dkk, 2014; Patmonodewo dalam Susanto, 2011), dapat disimpulkan terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak, yakni:
1. Pengaruh keadaan individu sendiri. Keadaan diri individu seperti usia, keadaan fisik, inteligensi, peran seks dapat mempengaruhi perkembangan individu. Hal yang cukup menonjol saat anak mengalami gangguan atau cacat tubuh, maka akan sangat mempengaruhi perkembangan emosi peserta didik. Selain itu, faktor dalam diri yang lain berupa yang mempengaruhi emosi anak, yaitu peran kematangan dan peran belajar. Pertama Peran kematangan. Perkembangan kelenjar endoktrin dalam kematangan perilaku emosional. Bayi secara relatif kekurangan produksi endoktrin yang diperlukan untuk menopang reaksi fisiologis terhadap stres. Kelenjar adrenalin yang memainkan peran utama pada emosi mengecciil secara segera setelah bayi lahir. Tidak lama kemudian kelenjar ini mulai membesar lagi, dan membesar dengan pesat sampai anak berusiaa lima tahun pembesarannya melambat pada usia 5-11 tahun pada usia 16 tahun, kelenjar ini mencapai ukuran semula kembali, seperti pada saat anak lahir. Hanya sedikit adrenalin yang diproduksi dan dikeluarkan, sampai saat kelenjar ini membesar. Pengaruhnya penting terhadaap keadaan emosional pada masa anak-anak. Kedua Peran belajar. Dari segi perkembangan,anak harus siap untuk belajar sebelum tiba saatnya masa belajar. Sebagai contoh, bayi yang baru lahir tidak mampu mengekspresikan kemarahan kecuali dengan menangis. Dengan adanya pematangan sistem saraf dan otot, anak-anak mengembangkan potensi untuk berbagai macam reaksi. Pengalaman belajar mereka akan menentukan reaksi potensial mana yang akan mereka gunakan untuk menyatakan kemarahan. Ada lima jenis kegiatan belajar turut menunjang pola perkembangan emosi anak yaitu:
a. Belajar secara coba dan ralat (trial and error learning), anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan
b. Belajar dengan cara meniru (learning by imitation), dngan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi tertentu pada orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
c. Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification), hampir sama dengan belajar secara meniru perbedaanya terdapat pada dua segi yaitu anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya dan motivasi untuk menirukan orang yang dikagumi lebih kuat dibandingkan dengan motivasi untuk menirukan sembarang orang.
d. Belajar melalui pengkondisian (conditioning) berarti belajar dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan, karena anak kecil kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka.
e. Pelatihan (training), atau belajar dibawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi. Dengan pelatihan, anak-anak diransang untuk bereaksi terhadap ransangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap ransangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan. Hal ini dilakukan dengan cara mengendalikan lingkungan apabila memungkinkan.
2. Konflik-konflik dalam proses perkembangan. Dalam menjalani fase perkembangan, tiap anak ahrus melalui berbagai macam konflik perkembangan. Jika peserta didik tersebut tidak mampu menjalani maka akan mempengaruhi perkembangan emosinya. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan perkembangan emosi anak adalah sebagai berikut:
a. Kesadaaran kognitifnya yang telah meningkat memungkinkan pemahaman terhadap lingkungan berbeda dari tahap semula,
b. Imajinasi atau daya khayalnya lebih berkembang,
c. Berkembangnya wawasan sosial anak. Perlu diketahui bahwa setiap anak usia dini menjalin kelekatan dengan pengasuh pertamanya yang kemudian perlu diperluas hubungan ini apabila dunia hubungan dengan lingkungannya berkembang. Anak-anak perlu dibantu dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya agar mereka secara emosional dapat menyesuaikan diri, menemukan kepuasan dalam hidupnya, dan sehat secara mental dan fisik.
3. Faktor lingkungan. Emosi anak akan positif jika lingkungan juga positif dan sebaliknya. Faktor lingkungan ini terbagi tiga, yakni:
a. Lingkungan Keluarga. Keluarga berfungsi sebagai dalam menanamkan dasardasar pengalaman emosi anak. Dasar-dasar pengelolaan emosi yang dimiliki anak dimulai dari keluarga. Diantara factor yang banyak berpengaruh yakni status ekonomi keluarga, keutuhan keluarga, sikap dan kebiasaan orang tua.
b. Lingkungan tempat tinggal, berupa kepadatan penduduk, angka kejahatan, fasilitas rekreasi dan bermain anak.
c. Lingkungan sekolah, berupa keharmonisan antara guru dan peserta didik, atau antara peserta didik dengan teman sebayanya.
Sama halnya dengan perkembangan emosi, perkembangan sosial peserta didik juga pun dipengaruhi beberapa faktor (Mayar, 2013; Tirtayani, dkk, 2014), yaitu :
1) Faktor individu Faktor individu ini termasuk kematangan. Bersosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis. Untuk mampu mempertimbangan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Disamping itu, kemampuan berbahasa ikut pula menentukan. Faktor yang lainnya berupa kapasitas mental yang terdiri dari emosi dan intelegensi. Kemampuan berpikir dapat banyak mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi perpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik.
Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak. Selain itu, factor yang berpengaruh terhadap perkembangan social yakni factor agama dan moral. Hal ini telah di temukan dalam beberapa hasil penelitian, dalam penelitian ditemukan bahwa aturan agama dan moral kebanyakan masyarakat menekankan kewajiban untuk menolong orang lain. Penelitian lain menyatakan bahwa kadar keagamaan dapat meramalkan perilaku sosial dalam proyek jangka panjang seperti organisasi. Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa pengaruh pada perilaku sosial bukanlah seberapa kuatnya ketaatan beragam itu sendiri, melainkan bagaimana kepercayaan atau keyakinan orang yang bersangkutan.
2) Faktor Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menempatkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan oleh keluarga. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya, baik orang tua, saudara, teman sebaya ataupun orang dewasa lainnya.
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenal berbagai aspek kehidupan sosial, atau normanorma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan seharihari.proses bimbingan orang tua ini lazim disebut sosialisasi. Perkembangan sosial di lingkungan keluarga juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:
a) Status di keluarga Sosialisasi seorang anak akan dipengaruhi oleh statusnya. Siapakah ia di dalam keluarga tersebut? Apakah seorang kakak,adik,anak dan lainnya. Hal ini akan memengaruhi proses sosialisasinya, seperti bagaimana ia harus berperan ketika menjadi adek, dan ketika menjadi kakak.
b) Keutuhan keluarga Jika sebuah keluarga yang keutuhannya bagus, jarang terdengar konflik di dalamnya,maka sosialisasi anak dapat berjalan dengan lancar, karena tidak ada faktor yang menganggu berjalan proses sosialisasi anak tersebut.
c) Sikap dan kebiasaan orang tua Sikap dan kebiasaan orang tua akan menurun juga kepada anaknya. Jika orang tua yang mempunyai sikap ramah dan memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang sekitar, maka dapat dipastikan sosial anak juga akan bagus.
3) Faktor Dari Luar Rumah Faktor di luar rumah adalah wadah bagi anak untuk bersosialisasi di luar rumah anak akan bertemu dengan orang yang lebih banyak, seperti teman sebaya, orang yang lebih kecil darinya,orang dewasa, sehingga sosialnya akan berjalan sesuai dengan perannya di lingkungan tersebut. Faktor dari luar ini meliputi pengaruh dari teman sebaya dan media massa. Ketika anak bertumbuh dewasa, kelompok social menjadi sumber utama dalam perolehan informasi termasuk tingkah laku yang diinginkan. Begitu pula dengan media massa, seperti televisi bukan hanya sekedar hiburan, tetapi juga merupakan agen sosialisasi yang penting. Meskipin banyak penelitian tentang pengaruh televisi difokuskan pada pengamatan tentang agresif lebih dari model tingkah laku., namun sekarang ini orang mulai mengamati pengaruh televisi terhadap perkembangan tingkah laku sosial. Dengan melihat program televisi, anak-anak juga dapat mempelajari tingkah laku yang tepat dalam situasi tertentu. Peserta didik mudah sekali belajar melalui media ini
4) Faktor Pengaruh Pengalaman Sosial Anak Jika seorang anak memiliki pengalaman sosial yang buruk, seperti tidak diperbolehkan main keluar rumah oleh orang tuanya, maka hal itu, akan berpengaruh bagi proses sosialisasinya kepada lingkungan sekitarnya yang berbeda di luar rumah. Hal ini akan menyebabkan anak menjadi tidak tahu dan kurang bersosialisasi dengan lingkungan di luar rumah. Dalam pembelajaran anak melalui interaksi sosial baik dengan orang dewasa maupun dengan teman sebaya yang ada dilingkungannya. Salah satu cara anak belajar adalah dengan cara mengamati, meniru, dan melakukan. Selain itu, kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya. Faktor lainnya yang berpengaruh terhadap perkembangan social anak yakni pendidikan, semakin tinggi dan semakin baik pendidikan, maka perkembangan social semakin terarah, semakin santun dan semakin sesuai harapan normative masyarakat pada umumnya.
D. Implikasi Perkembangan Emosi dan Sosial dalam Pembelajaran
Emosi selalu berhubungan dengan perasaan. Setiap peserta didik memiliki emosi yang beragam. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh orang dewasa di sekitar untuk pengembangan emosi peserta didik, yakni.
1. Guru dan orang tua tidak boleh membuat jarak social, tapi harus lebih dekat dengan peseta didik. Kemampuan mendekati anak dalam keadaan apapun, maksudnya adalah orang tua atau guru hendaklah dapat melakukan gerak yang cukup dekat bahkan menyatu dengan lingkungan anak sehingga gerak, dinamika, dan berbagai ekspresi anak berada dalam wilayah dan jangkauan guru / orang tua.
2. Guru atau orang tua harus terampil dalam mengamati atau mengobservasi berbagai karakter emosi dan perilaku sosial anak, terutama yang diekspresikan melalui tampilan fisik, mental, dan psikologis. Apalagi saat ini di era millennial ekspresi emosi jarang bisa ditemukan pada peserta didik karena mereka terbiasa mengekspresikan emosi mereka berdasarkan symbol-simbol yang ada di handphone sehingga saat mereka marah di dunia nyata, maka ekspresi emosi mereka menjadi berlebihan dan kadang kurang tepat.
3. Guru dan orang tua harus memiliki kemampuan dan keterampilan dalam merekam, mencatat, dan membuat prediksi – prediksi tentang perbuatan apa yang akan menyertai peserta didik. Bila memungkinkan pencatatan, perekaman, bahkan termasuk penanganannya tidak mengalami penundaan. Untuk itu, ada baiknya setiap observer, terutama guru, senantiasa menyimpan kertas kecil dan alat tulis dalam sakunya apabila sewaktu- waktu harus mencatat ekspresi emosi dan sosial peserta didik. Perlunya kesegaran dalam menangani anak, didasarkan atas pertimbangan bahwa pada usia taman kanak- kanak berbagai ekspresinya dominan bersifat spontan.
4. Untuk mendukung kemampuan diatas, sebaiknya guru atau orang tua bersifat objektif, bertindak sesuai kadar dan tingkatan ekspresi yang ditampilkan anak. Guru atau orang tua harus mampu menjaga perlakuan yang adil dan bijaksana terhadap semua anak sehingga tidak menimbulkan masalah perilaku emosi dan sosial yang kompleks pada anak- anak.
Bukan hanya peserta didik, namun gurupun juga harus memiliki keterampilan dalam mengelola emosi. Menurut Golemen (1995) terdapat cara-cara yang dapat dilakukan untuk dapat memiliki kecerdasan emosi, yakni belajar mengembangkan kesadaran diri, belajar mengambil keputusan pribadi, belajar mengelola perasaan, belajar menangani stress, belajar berempati, belajar berkomunikasi, belajar membuka diri, belajar mengembangkan pemahaman, belajar menerima diri sendiri, belajar mengembangkan tanggung jawab pribadi, belajar mengembangkan ketegasan, mempelajari dinamika kelompok, belajar menyelesaikan konflik.
Menurut Desmita (2012) sekolah merupakan salah satu konteks yang memberikan peranan penting dalam pengembangan keterampilan sosial peserta didik. Berikut ini akan di kemukakan beberapa strategi yang dapat digunakan guru di sekolah dalam upaya membantu peserta didik dalam membantu peserta didik dalam memperoleh tingkah laku interpersonal yang efektif yaitu:
a. Mengajarkan keterampilan-keterampilan sosial dan strategi pemecahan masalah sosial. Guru dapat mengajarkan sejumlah tingkah laku interpersoanl yang efektif melalui instruksi verbal serta melalui dorongan dan tingkah laku pemodelan. Instruksi demikian kemungkinan akan menjadi sangat efektif ketika siswa memperoleh kesempatan untuk mempraktikkan keterampilan-keterampilan baru yang dipelajari (mungkin melalui bermain peran), dan ketika mereka menerima umpan balik tentang apa yang telah mereka lakukan.
b. Menggunakan strategi pembelajaran kooperatif. Ketika siswa berpartisipasi dalam permainan kooperatif, tingkah laku agresif mereka terhadap anak-anak lain cenderung menurun. Apalagi biasanya generasi millenial, lebih sibuk otak atik pesan di Handphone ketimbang bertegur sapa dengan teman yang duduk disampingnya. Dalam aktivitas belajar kooperatif, siswa dapat belajar dan mempraktikkan bagaimana memberi pertolongan, mencari pertolongan, dan ketermpilan resolusi konflik, serta mengembangkan pemahaman yang baik tentang keadilan terhadap teman-teman sekelasnya. Mereka juga bisa mengemukakan isi pikiran dan perasaan, serta memahami apa yang diucapkan temannya.
c. Memberikan label perilaku yang pantas. Guru dapat meningkatkan kesadaran diri siswa terhadap efektivitas keterampilan sosial dengan mengidentifikasi dan memberi pujian atas perilaku yang mencerminkan keterampilan-keterampilan sosial tersebut.
d. Meminta siswa untuk memikirkan dampak dari perilaku-perilaku yang mereka miliki. Peserta didik sangat mungkin memiliki tingkah laku prososial ketika mereka diberi pengertian mengapa tingakah laku tertentu tidak dapat diterima. Artinya, peserta didik lebih mungkin untuk memperlihatkan tingkah laku interpersonal yang efektif dan menahan tingkah diri dari tingkah laku interpersonal yang tidak efektif ketika mereka berpikir tentang konsekuensi dari tingkah laku mereka. Misalnya, guru dapat mengatakn: “mengapa kamu tidak memikirkan tentang apa yang mungkin kamu lakukan atau katakan, sehingga dapat membuat kamu merasa lebih baik?”.
e. Mengembangkan program mediasi teman sebaya. Siswa SD dan SMP sama-sama mengambil manfaat dari training mediasi, dimana mereka belajar bagaimana melakukan intervensi terhadap perselisihan interpersonal yang terjadi di dalam kelas secara efektif. Memberikan penjelasan bahwa tingkah laku agresif yang merugikan baik fisik maupun psikologis orang lain tidak dibenarkan di sekolah. Hal itu juga bisa membantu peserta didik dalam mengembangkan sikap social yang toleran terhadap orang lain, mengembangkan interaksi yang komunikatif, kolaboratif, adaptif dan fleksibel dalam menghadapi situasi.
SUMBER : PPGSIAGAPENDIS.COM