Berikut saya kutip dari laman resmi Ditjen Bimas Kementerian Agama RI dengan laman :
https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/mui-dorong-kemenag-gandeng-tokoh-agama-sosialisasikan-vaksin
Tangerang Selatan, Bimas Islam ——— Vaksinasi atau imunisasi di dalam konteks pengobatan hukum Islam, yaitu preventif (pencegahan) dan Kuratif (penyembuhan), keduanya mengharuskan berobat hanya dengan yang halal. Adapun prinsip berobat merupakan bagian dari ikhtiar kepada Allah SWT.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh, saat menyampaikan materi di acara Lokakarya Qadhaya Fiqhiyah Mu’ashirah Vaksin dalam Tinjauan Maqashid Al-Syariah di Hotel Sahid Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Selasa, (16/2).
“Beberapa contoh langkah medis yang berupa preventif antara lain adalah menjaga pola makan, berolahraga, mencegah najis, menjaga kebersihan, dan mengkarantina penderita wabah, hal tersebut sejalan dengan adanya isolasi mandiri, karantina mandiri, dan lain sebagainya,” ujar Niam.
Satu peristiwa di zaman Rasululullah SAW pernah terjadi wabah yang menular dan mematikan, “Nabi mengingatkan umatnya untuk tidak dekat dengan wilayah yang sedang terkena wabah. Dan sebaliknya jika berada di dalam tempat yang terkena wabah dilarang untuk keluar. Maka konsep lockdown, atau PSBB itu sudah sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW,” paparnya.
Sedangkan upaya penyembuhannya ialah dengan berobat, dalam fikih Islam, berobat harus menggunakan barang yang halal. Seperti yang Nabi katakan, Allah tidak menjadikan obat pada barang yang haram,” (HR. Bukhari dan Baihaqi).
Akan tetapi untuk menghasilkan produk halal, di samping bahannya (dzat) harus halal, menurutnya proses produksinya juga harus terjaga dari kontaminasi bahan haram dan/atau najis.
“Atas dasar itulah kemudian Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait penggunaan yang diproduksi oleh Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dan PT. Bio Farma (Persero). Sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan dan mencegah terjadinya penularan Covid-19, tetapi dengan syarat harus menggunakan vaksin yang halal dan suci,” jelasnya.
Menurutnya, hal ini juga sejalan dengan tujuan yang disyariatkan ajaran Islam yakni Maqashid Al-Syariah yang memuat lima hal; menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga keturunan dan menjaga akal.
“Oleh karen itu pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, baik melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Dan pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat. Serta mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal seluruh vaksin, termasuk meminta produsen untuk segera mengajukan sertifikasi produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” paparnya.
Selain itu pemerintah bisa melibatkan tokoh agama dan masyarakat untuk melakukan sosialisasi pelaksanaan imunisasi, serta turut berpartisipasi menjaga kesehatan, termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi.
Selain Ketua MUI Asrorun Niam Sholeh, hadir juga sebagai narasumber Tim Pakar Satuan Tugas Penanggulangan Covid-19 dr. Hindra Irawan Satari, dan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan RI dr. Siti Nadia Tarmizi.
(Anty)
Editor: Sigit