ruang lingkup fiqih dan ushul fiqih



A.    Pengertian Fiqh

Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah.[1]

فالاصل لغة) هو ما بني عليه غيره – كاصل الجدار[2])
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal.[3] Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci. Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili.
Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau “aqidah” tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam uraian ini. penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh nash.
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik benang merah, bahwa fiqh dan syariah memiliki hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang disebut  syari’ah. Untuk mengetahui semua kehendak-Nya tentang amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang syari’ah, sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun dan bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang terinci. Ketentuan yang terinci tentang amaliah manusia mukalaf  yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syari’ah itu disebut fiqh.[4]

B.    Pengertian Ushul fiqh

(اصول الفقه) دليل الفقه علي سبيل الاجمال.[5]
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi berarti “sesuatu yang dasar bagi yang lainnya”.  Dengan demikian dapat diartikan bahwa ushul fiqh itu adalahilmu yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dlilnya yang terinci. Atau dalam artian sederhana : kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.[6] Sebagai contoh didalam kitab-kitab fiqh terdapat ungkapan bahwa “mengerjakan salat itu hukumnya wajib”. Wajibnya mengerjakan salat itulah yang disebut “hukum syara’.” Tidak pernah tersebut dalam Al-Qur;an maupun hadis bahwa salat itu hukumnya wajib. Yang ada hanyalah redaksi perintah mengerjakan salat. Ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah salat itulah yang dinamakan “Dalil syara’”. Dalam merumuskan kewajiban salat yang terdapat dalam dalil syara’ ada aturan yang harus menjadi pegangan. Kaidah dalam menentukannya, umpamanya “setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah merumuskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut dengan ‘Ilmu Ushul Fiqh”.  Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan ushul fiqh dan fiqh adalah, jika ushul fiqh itu pedoman yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya. Sedangkan fiqh itu hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil menurut aturan yang sudah ditentukanitu.[7]

C. Objek Kajian Ushul Fiqh
Dari definisi Ushul Fiqh menurut Abdullah bin Al-Baidlawi, dapat dipaparkan tiga masalah pokok yang akan dibahas dalam ushul fiqh, yaitu tentang sumber dan dalil hukum, tentang metode istinbat dan tentang ijtihad. Berpegang pada pendapat Al-Ghazali, objek pembahasan ushul fiqh ada 4 bagian:
1.Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkumfih, dan mahkum alaih.
2.Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum.
3.Pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dalil itu.
4.Pembahasan tentang ijtihad.
Meskipun yang menjadi objek bahasan ushul fiqh ada 4, namun wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa yang menjadi inti objek kajian ushul Fiqh adalah tentang dua hal yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam (hukum-hukum syara’) yang menjadi objek bahasan ushul fiqh adalah sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya dengan penetapan sebuah hukum dan sebaliknya segi sebagaimana tetapnya suatu hukum dengan dalil.



D.  Ruang Lingkup Ushul Fiqh
Berdasarkan kepada beberapa definisi di atas, terutama definisi yang dikemukakan oleh al-Baidhawi dalam kitab Nihayah al-Sul, yang menjadi ruang lingkup kajian (maudhu’). Ushul fiqh, secara global adalah sebagai berikut :[8]
1.Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
2.Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut.
3.Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.
4.Syarat – syarat orang yang berwenang melakukan istinbat ( mujtahid ) dengan berbagai permasalahannya.
Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ( tanpa tahun, 1 : 8 ) ruang lingkup kajian Ushul fiqh ada 4, yaitu :[9]
1.Hukum-hukum syara’, karena hukum syara’ adalah tsamarah (buah / hasil ) yang dicari oleh ushul fiqh.
2.Dalil-dalil hukum syara’, seperti al-kitab, sunnah dan ijma’, karena semuanya ini adalah mutsmir (pohon).
3.Sisi penunjukkan dalil-dalil ( wujuh dalalah al-adillah ), karena ini adalah thariq al-istitsmar ( jalan / proses pembuahan ). Penunjukkan dalil-dalil ini ada 4, yaitu dalalah bil manthuq ( tersurat ), dalalah bil mafhum ( tersirat ), dalalah bil dharurat ( kemadharatan ), dan dalalah bil ma’na al-ma’qul ( makna rasional ).
4.Mustamtsir (yang membuahkan) yaitu mujtahid yang menetapkan hukum berdasarkan dugaan kuatnya (zhan). Lawan mujtahid adalah muqallid yang wajib mengikuti mujtahid, sehingga harus menyebutkan syarat-syarat muqallid dan mujtahid serta sifat-sifat keduanya.

E. Tujuan dan Urgensi Ushul Fiqih
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa ushul fiqih merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah, muamalah, uqubah (hukuman) maupun akhlak. Dengan kata lain, ushul fiqih bukanlah sebagai tujuan melainkan hanya sebagai metode, sarana atau alat. (Syafe’i, 1999 : 24).
Tujuan ilmu ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah nya dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci untuk menghasilkan hukum syara’ yang ditunjukki dalil itu.
Jadi berdasarkan kaidah kaidahnya dan bahasan-bahasanya,maka nash-nash syara’ dapat dipahami dan hukum yang menjadi dalalahnya dapat diketahui, serta sesuatu yang dapat menghilangkan kesamaran lafal, yang samar dapat diketahui.
Bahkan tujuan utama dari ushul fiqih adalah untuk mencapai dan mewujudkan sesuatu yang dimaksud syara’. Ada ulama Yng berkata: ”Barang siapa yang memelihara ushul, tentulah dia akan sampai kepada maksud. Dan barang siapa memelihara Qawaid, tentulah dia akan mencapai maksud.
Menurut Khudhari Bek (1994:15) dalam kitab ushul fiqihnya merinci tujuan ushul fiqih sebagai berikut :
1.Mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat.
2.Sebagai acuan dalam menentukan dan menetapkan hukum syara’ melalui bermetode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehinggga dapat memecahkan berbagai persoalan baru yang muncul.
3.Memelihara agama dari penyimpangan penyalahgunaan sumber dan dalil hukum. Ushul fiqih menjadi tolak ukur validitas kebenaran sebuah ijtihad.
4.Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, dilihat dari dalil yang mereka gunakan.
5.Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat hukum Islam dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan pendapatnya.[10]

Studi ushul fiqih baru terasa penting bilamana dihadapkan kepada masalah-masalah baru yang hukumnya tidak terdapat dalam perbendaharaan fiqih lama. Disamping itu, dengan maraknya para peminat hukum islam melakukan perbandingan madzhab bahkan untuk mengetahui mana yang lebih kuat, serta adanya upaya untuk memperbaharui hukum islam, akan semakin terasa betapa pentingnya melakukan studi ushul fiqih.
Dibawah ini akan dikemukakan beberapa manfaat penting studi ushul fiqih.
Beberapa manfaat mempelajari ushul fiqih, yaitu :
1.Dengan mempelajari ushul fiqih akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat fiqihnya.
2.Dengan studi ushul fiqih seorang akan memperoleh kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al-qur’an dan hadits-hadits hukum dalam sunah Rasulullah, kemudian mengistinbatkan hukum dari dua sumber tersebut.
3.Dengan mendalami ushul fiqih seseorang akan mampu secara benar dan lebih baik melakukan muqaramat al mazahib al-fiqhiyah.







BAB III
PENUTUP
            Simpulan
Ushul fiqih mempunyai pengertian al-ushul berarti dalil-dalil fiqih, seperti Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma’, Qiyas, dan lain-lain. Al-Fiqih berarti pemahaman yang mendalam yang membutuhkan pengarahan potensi akal.
Objek Kajian Ushul Fiqih menurut Al-Ghazali membahas tentang hukum syara’, tentang sumber-sumber dalil hukum, tentang cara mengistinbatkan hukum dan sumber-sumber dalil itu serta pembahasan tentang ijtihad.
Ruang lingkup ushul fiqih secara global adalah sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya, bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut dan lain-lain.
Sejarah perkembangan ushul fiqih terlihat pada masa ushul fiqih sebelum dibukukan dan ushul fiqih sesudah dibukukan dan ushul fiqih pasca Syafi’i.
Tujuan dan urgensi ushul fiqih adalah mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat dan lain-lain.
ilmu ushul fiqh sangatlah penting dalam perumusan, penggalian dan penetapan hukum. Para mujtahid yang berkecipung dalam hal ini sudah mempelajari metode yang telah ditentukan, sehingga dalam mengistinbathkan hukum mereka tidak main-main. Meskipun dalam perjalanan terdapat perbedaan pendapat baik mengenai status hukum atau perbedaan dalam metode menentukan hukum yang mengakibatkan terjadinya beberapa aliran dalam ilmu ushul fiqh, namun itu semua merupakan suatu hal yang biasa dan perlu untk dicermati sehingga akan membuat umat semakin bijak dalam mengambil hukum.










DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin Amir, ushul fiqh, Jakarta; Kencana Perdana Media Group. 2011
hakim, abdul hamid, al-bayan.
Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN Press.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. jakarta : Logos Wacana Ilmu.



[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 1
[2] Abdul hamid hakim, al-bayan. Hal 3-4
[3] Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA.  Ilmu ushul fiqh. Hal. 18
[4] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 5
[5] Abdul hamid hakim, al-bayan. Hal 3-4
[6] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 41
[7] Ibid.. Hal. 42
[8] Ade Dedi rohayana,ilmu Ushul fiqih(pekalongan:STAIN Press,20060hal.10
[9] Ibid,hal.11
[10] H. Nasrun Haroen, M.A, Ushul Fiqih I (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 5-6.
LihatTutupKomentar