PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, Demos dan Cratein. Demosberarti rakyat, dan Cratein berarti pemerintahan. Jadi, menurut bahasa asalnya, Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat. Pemerintahan dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam demokrasi, suara rakyat sangat diperhitungkan dan menjadi bagian dalam pemerintahan itu sendiri.
Negara kita, Indonesia juga menganut paham demokrasi. Rakyat sangat berperan penting dalam pemerintahan, banyak sekali keputusan pemerintah yang berdasarkan keinginan ataupun pendapat rakyat. Mahasiswa, dalam hal ini termasuk juga dalam kategori rakyat tersebut. Bisa kita lihat bahwa beberapa keputusan penting pemerintahan, diambil karena tuntutan mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Misalnya, turunnya mantan presiden Soeharto pada era reformasi, itu terjadi karena mahasiswa yang menuntut agar orde baru berakhir dan diganti dengan reformasi. Turunnya almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pun, juga terjadi karena mahasiswa melakukan demonstrasi demi perbaikan bangsa Indonesia tercinta ini.
Demonstrasi adalah hak demokrasi yang dapat dilaksanakan dengan tertib, damai, dan intelek. Sebuah contoh yang sangat bagus, yang mestinya juga ditiru oleh mereka yang gemar unjuk rasa, yang senang turun ke jalan
Unjuk rasa atau demonstrasi (demo) adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secarapolitikolehkepentingan kelompok.
Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah, atau para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lainnya.
Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan pengrusakan terhadap benda-benda. Hal ini dapat terjadi akibat keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan.
Namun, yang menjadi titik permasalahannya saat ini kadang mahasiswa melakukan unjuk rasa dengan anarkis dan meresahkan warga disekitar tempat demo tersebut. Tidak jarang juga ada mahasiswa yang sampai meninggal akibat bentrok dengan polisi ataupun warga sekitar. Sampai sekarang juga demo tersebut sudah turun temurun dari generasi ke generasi sehingga menjadi budaya yang patut dilakukan sebagai aspirasi suara. Maka dalam pembahasan kali ini, penulis akan menjelaskan lebih lanjut mengenai Budaya Demonstrasi Mahasiswa.
B. Rumusan Masalah
Melihat latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengertian dari Budaya Demokrasi?
2. Bagaimana Prinsip-prinsip Demokrasi?
3. Bagaimana Budaya Demonstrasi Mahasiswa?
4. Bagaimana Demonstrasi dalam pandangan Perspektif Sosiologi?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui bagaimana pengertian budaya demokrasi.
2. Untuk mengetahui bagaimana prinsip-prinsip demokrasi.
3. Untuk mengetahui bagaimana budaya demonstrasi mahasiswa.
4. Untuk mengetahui bagaimana demonstrasi dalam pandangan perspektif sosiologi.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Budaya Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti memerintah. Demokrasi adalah suatu negara yang dipimpin atau kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Demokrasi bangkit kembali dengan pertimbangan sebagai berikut :
a) Perasaan tidak senang dengan oligarki, pemerintah, segolongan kecil rakyat yang senantiasa bertindak menurut kemauannya.
b) Pengaruh aliran politik dan sosial yang menghendaki persamaan.
c) Perkembangan beberapa teori yang menghendaki perlu dan baiknya demokrasi
C.F Strong berpendapat bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan pada mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik yang ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya mempertanggung jawabkan tindakan kepada mayoritas.
Sedangkan Joseph A. Schmeter berpendapat bahwa demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mancapai keputusan politik ketika individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
Sidney Hook berpendapat bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintah ketika keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl berpendapat bahwa demokrasi sebagai suatu sistem pemerintah ketika pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.
Budaya demokrasi adalah kemampuan manusia yang berupa sikap dan kegiatan yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi seperti menghargai persamaan, kebebasan dan peraturan.
B. Prinsip-prinsip Demokrasi
Robert A. Dahl berpendapat bahwa terdapat tujuh prinsip yang harus ada dalam sistem demokrasi yaitu kontrol atas keputusan presiden, pemilihan yang teliti dan jujur, hak memilih, hak dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman, kebebasan mengakses informasi, dan kebebasan berserikat.
Sedangkan Franz Magnis dan Susenoberpendapat bahwa prinsip-prinsip budaya demokrasi terdiri atas negara hukum, pemerintah berbeda di bawah kontrol nyata masyarakat, pemilihan umum yang bebas, prinsip mayoritas, dan adanya jaminan terdahadap hak-hak demokratis.
Masykuri Abdillah berpendapat bahwa prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas prinsip persamaan, kebebasan, dan pluralisme.
Sedangkan Miriam Budiardjo, seorang pakar ilmu politik berpendapat bahwa prinsip-prinsip budaya demokrasi sebagai berikut:
1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula prosedur untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang menjamin.
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Pemilihan umum yang bebas.
4. Kebebasan umum untuk menyatakan pendapat.
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroprasi.
6. Pendidikan kewarganegaraan
Beberapa prinsip demokrasi yang berlaku secara universal:
a) Keterlibatan Warga Negara dalam Pembentukan Keputusan Politik
Dalam pembentukan keputusan politik, rakyat atau warga negara selalu dilibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam pelaksanaan prinsip ini, pemilihan umum dipercaya sebagai salah satu istrumen penting guna memungkinkan berlangsungnya suatu proses pembentukan pemerintahan yang baik (demokratis).
b) Tingkat Persamaan (Kesetaraan) di antara warga Negara
Dengan prinsip persamaan, setiap orang dianggap sama, tanpa dibeda-bedakan dan memperoleh akses serta kesempatan sama untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensinya. Pada umumnya tingkat persamaan yang dituju antara lain persamaan politik, persamaan di hadapan hukum, persamaan kesempatan, persamaan ekonomi, dan persamaan sosial atau persamaan hak.
c) Kebebasan atau Kemerdekaan yang Diakui dan Dipakai warga Negara
Kebebasan dan persamaan adalah fondasi, demokrasi. Kebebasan dianggap sebagai sarana mencapai kemajuan dengan memberikan hasil maksimal dari usaha orang tanpa adanya pembatasan dari pengusaha. Demokrasi adalah sitem politik yang melindungi kebebasan warganya sekaligus memberi tugas kepada pemerintah untuk menjamin kebasan tersebut. Contoh kebebasan warga negara yang diakui oleh negara seperti berikut:
1) Kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul atau berkelompok, dan berserikat.
2) Kebebasan yang menyangkut hak-hak asasi manusia (seperti hak politik, ekonomi, kesetaraan di depan hukum dan pemerintah, ekspresi kebudayaan, dan dak pribadi).
d) Supremasi Hukum
Prinsip supremasi hukum adalah semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Penguasa maupun warga negara harus mengedepankan hukum. Artinya, penguasa dan rakyat pemerintah mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, tanpa kecuali. Dengan demikian, keadilan dan ketaatan terhadap hukum merupakan salah satu syarat mendasar bagi terwujudnya masyarakat yang demokratis.
e) Pemilu Berkala
Pemilu merupakan salah satu instrumen penting guna memungkinkan berlangsungnya suatu proses pembentukan pemerintah yang baik (demokratis). Dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pemilu mencerminkan adanya sistem budaya demokrasi.
C. Budaya Demonstrasi Mahasiswa
Demonstrasi adalah sebuah hal yang tidak mungkin terjadi pada sebuah negara yang memiliki good governance. Good governance disini saya artikan sebagai sebuah pemerintahan yang membagi kekuasaannya secara jelas serta masing-masing bagian melakukan tugas dan fungsinya dengan baik. Demonstrasi sebenarnya bukanlah gejala wajar. Demonstrasi adalah sebuah gerakan ekstra- parlementer. Gerakan ini muncul apabila ada ketidakberesan pada kinerja jajaran pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat tidak menjalankan fungsinya dengan baik serta saluran-saluran kritik kepada pemerintah (media massa dan LSM) lainnya mengalami kemacetan. Lalu demonstrasi pun akhirnya muncul sebagai gerakan ekstra-parlementer yang ingin menyampaikan keinginan rakyat melalui cara mereka sendiri, baik dengan berorasi, drama teatrikal, sampai membuat rusuh dan hingga bentrok dengan aparat. Demonstrasi sebenarnya bukanlah hal yang buruk karena itu adalah sebuah bentuk corong aspirasi masyarakat. Namun, apabila gerakan tersebut dilakukan dengan anarki maka akan menjadi sebuah hal yang sangat buruk, apalagi jika demonstrasi yang anarkis itu dilakukan oleh kaum intelektual.
Mengapa mahasiswa berdemonstrasi? Jawabannya pernah diutarakan oleh almarhum Soe Hok-gie. Soe Hok-gie adalah salah seorang pelopor demonstrasi mahasiswa angkatan ’66 dalam rangka penyampaian Tritura dan tuntutan agar presiden saat itu, Soekarno, turun dari tahtanya. Ketika Gie (Soe Hok-gie) ditanya mengapa mahasiswa yang harus berdemonstrasi, dia menjawab bahwa mahasiswa sebagai kaum intelektual tidak seharusnya berada di menara gading dan hanya mencari ilmu saja, tapi mahasiswa juga harus bisa dan mau turun ke tengah-tengah masyarakat, mendengarkan jeritan mereka, dan kalau perlu menjadi garda terdepan dalam penyampaian jeritan masyarakat. Mahasiswa tidak ingin melihat masyarakat yang harus berdemo karena jika itu terjadi maka akan tejadi chaos. Karena itulah agar jangan sampai terjadi chaos lebih baik kaum mahasiswa yang turun ke jalan dan menyampaikan inspirasi mereka. Demikianlah kira-kira pemikiran seorang Gie dan pemikiran itu memang logis adanya. Jadi jangan salahkan mahasiswa jika mereka berdemo.
Inti dari demonstrasi dan tulisan ini sendiri adalah gerakan demonstrasi muncul sebagai akibat dari macetnya saluran aspirasi masyarakat lain, termasuk juga lembaga perwakilan rakyat. Dan mahasiswa adalah sebagai garda depan laskar masyarakat, sebagai pejuang revolusi yang sesungguhnya, karena di Indonesia sudah terbukti, demonstrasi mahasiswa bisa menumbangkan kekuasaan dua orang tiran pada tahun 1966 dan 1998. Dan satu hal yang paling penting yaitu hendaknya demonstrasi ditempatkan pada prioritas yang terakhir dalam usaha penyampaian aspirasi dan kritik kepada pemerintah. Sebelum demonstrasi dilakukan kritik bisa dilakukan melalui tulisan dan media lain. Jika itu tidak diperhatikan, maka silakan berdemo dengan sehat dan tertib. Apabila pemerintah sudah bebal dan sudah kebal serta tuli terhadap kritik. Maka berdemolah dengan keras dan teriakkanlah: REVOLUSI seperti yang pendahulu kalian lakukan dan berikan kepada negeri ini.
Sejarah pun menggoreskan bahwa mahasiswa telah menumbangkan rezim besar melalui kekuatan maha-nya. Perubahan demi perubahan di negeri ini diakui atau tidak sedikit banyak dipengaruhi oleh gerakan mahasiswa. Negeri bisa langsung dibuat heboh oleh satu tindakan mahasiswa. Salah satu tindakannya adalah demonstrasi.
Demonstrasi sendiri adalah sebuah gerakan protes sekumpulan orang di hadapan umum yang dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penantang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula penekanan sebagai sebuah upaya secara politik oleh kepentingan umum. Setelah rezim suharto tahun 1998, demonstrasi menjadi marak dan telah dijadikan sebagai upaya pembebasan pendapat di Indonesia.
Sekarang ini, demonstrasi dirasa sebagai sebuah kegiatan yang efektif untuk menyampaikan pendapat atau aspirasi kepada para petinggi negeri. Cara- cara formal seperti audiensi atau jajak pendapat, mulai ditinggalkan lantaran dinilai kurang efektif. Penyebab ketidak efektifannya adalah kegiatan formal tersebut sulit dilakukan dan dampaknya memakan waktu lama.
Kadang kala, kegiatan tersebut tak mendapat tanggapan lantaran tidak semua petinggi negeri kita mau duduk bersama rakyatnya untuk tahu aspirasi dan kebutuhan rakyatnya. Hal ini menjadi salah satu sebab kekecewaan mahasiswa terhadap orang- orang atas negeri. Mahasiswa menganggap orang atasnya sebagai orang yang tak mau ditegur dengan cara halus, tetapi harus dengan cara agak keras. Dan alhasil, demonstrasi menjadi jalan pintas bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi rakyat.
Pada dasarnya, demonstrasi digunakan karena mampu menarik perhatian, baik itu perhatian dari rakyat, aparat sampai pada pejabat. Saat mahasiswa harus melakukan kegiatan yang tidak mampu menarik perhatian tiga elemen tersebut, tentu kegiatan yang dialakukannya menjadi kegiatan yang mentah dan tidak ada aspirasi ataupun opini publik yang bisa dibangun.
Mahasiswa Sebagai Agent Of Change
Mahasiswa sama sekali tidak bisa dipisahkan dari kegiatan demonstrasi. Terlepas termasuk ke dalam kategori apa si mahasiswa bersangkutan. Yang jelas, sebagai kaum intelektual mahasiswa punya tugas menjadi penyambung lidah rakyat. Suara mahasiswa adalah suara rakyat. Kalimat itu tergaung dalam dunia pergerakan mahasiswa. Mahasiswa terdengar gaungnya karena kegiatan demonstrasinya. Tentu saja bukan sembarang gaung tanpa dilandasi intelektualitas. Gaung tersebut yang bisa mengguncang negeri dan melahirkan perubahan. Kita patut menghargai pendapat orang lain dan caranya menyampaikan pendapat. Artinya kita pun patut menghargai mahasiswa dengan dinamika kegiatan demonstrasinya.
Belakangan ini berdasarkan pemberitaan media massa maupun elektronik memosisikan mahasiswa pada garda paling depan dalam setiap aksi demonstrasi yang teraktualisasi dalam sebuah gerakan massal mahasiswa yang menginginkan adanya perubahan atau pembaharuan yang meliputi aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya atau biasa disebit demonstrasi.
Idealnya adalah bahwa setiap gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa memang semata-mata hanya dan untuk kepentingan rakyat dengan kata lain mahasiswa sebagai ‘pembela rakyat’ ditengah hegemoni kekuasaan yang mengkooptasi rakyat. Mahasiswa sebagai kaum intelektual yang sarat dengan ‘budaya ilmiah’ dan senantiasa menjadikan ‘saintifik-rasional’ sebagai ukuran setiap tindakan ternyata harus berlawanan dengan fakta dilapangan. Ketimpangan antara ‘yang senyatanya’ dan ‘yang seharusnya’ bermunculan tidak hanya terfragmentasi dari perbedaan ideologi tetapi juga stigmaisasi negatif dari masyarakat terhadap mahasiswa yang notabene adalah ‘yang diperjuangkan’.
Pencitraan negatif ini tentu sangat beralasan dan berangkat dari fakta dilapangan yaitu aksi anarkis mahasiswa dalam demonstrasinya di jalan, mulai dari pengrusakan terhadap fasilitas umum, memblokir jalan, membakar ban yang tentunya sangat merugikan masyarakat. Lalu dimanakah idealisme mahasiswa sebagai aktor intelektual yang di gadang-gadang menjadi ‘motor perubahan bangsa ini’?
Demonstrasi Sebagai Bagian Dari Krisis Identitas Mahasiswa
Anarkisme, tawuran, dan kekerasan-kekerasan lainnya jelas sama sekali tidak lekat dengan nilai-nilai luhur yang tersemat pada mahasiswa sebagai agen perubahan. Gerakan mahasiswa yang berbasis pada kekuatan moral (moral force) yang diembannya sebagai cermin dari orang yang berpendidikan (educated person). Menurut penulis, saat ini yang ditonjolkan oleh mahasiswa dalam demonstrasinya lebih kepada tindakan anarkisme dibandingkan dengan tawaran solutif yang diajukan atas sebuah ketidakadilan. Jika mahasiswa belum mampu bersikap cerdas dalam setiap demonstrasinya dengan masih bertindak amoral keluar dari ciri mahasiswa ideal sebenarnya, maka mahasiswa tak ubahnya seorang preman berpendidikan.
Dengan merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mendefinisikan Demonstrasi sebagai bentuk pernyataan protes yang dilakukan secara massal. Protes terhadap sebuah kondisi yang dianggap melanggar hak-hak rakyat kemudian menggugah hati nurani mahasiswa sebagai kaum yang dianggap memiliki kelebihan di atas rata-rata masyarakat awam untuk mengambil peran sebagai penyambung lidah rakyat. Dalam konteks ini, secara historis mahasiswa Indonesia pernah memberikan kontribusi bagi kemerdekaan negeri ini.
Gerakan mahasiswa pra-kemerdekaan semisal Boedi Oetomoe, sebuah pergerakan nasional dengan wadah perjuangan yang memiliki struktur pengorganisasian yang dimotori oleh mahasiswa dan pemuda dari lembaga pendidikan STOVIA, sebuah sekolah kedokteran di Jakarta pada saat itu. Pada tahun 1908, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda juga membentuk sebuah organisasi perhimpunan yang dinamakan Indische Vereeniging yang merupakan pusat kegiatan mahasiswa tentang perkembangan situasi Tanah Air, namun kemudian menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1992 yang kemudian berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia pada tahun 1925. Berdasarkan sejumlah masalah yang diinventarisasikan oleh pengurus Perhimpoenan Indonesia waktu itu, muncul sikap menentang terhadap penjajah, tidak mau berdamai serta tidak kenal kerja sama. Semangat itu terlihat dalam dasar-dasar Perhimpoenan Indonesia, yang intinya adalah sebagai berikut:
1. Masa depan bangsa Indonesia semata-mata tergantung pada susunan pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat;
2. Untuk mencapai itu, setiap orang Indonesia berjuang sesuai kemampuan serta bakatnya, dengan tenaga dan kekuatan sendiri;
3. Untuk tujuan bersama itu, semua unsur atau lapisan rakyat bekerja sama seerat-eratnya.
Saat ini, ditengah citra buruk mahasiswa di mata masyarakat, selain belajar dari sejarah yang de facto memberikan kontribusi berarti besar bagi bangsa, kita juga harus berani melakukan auto-kritik dengan bersikap dewasa dalam setiap aksi dan tindakan, jika kita sebagai mahasiswa benar-benar ingin menjadi representasi dari rakyat dan masih ingin menyurakan penentangan terhadap ketidakadilan yang terjadi di negeri ini.
Masalah lain yang juga penting adalah perihal idealisme mahasiswa, karena idealisme dan mahasiswa adalah bagian yang tak seharusnya terpisahkan karenaidealisme merupakan identitas yang melekat pada mahasiswa. Karena idealisme sangat dimungkinkan luntur manakala mahasiswa berada dalam kubangan hegemoni kekuasaan. Berdasarkan alasan ini maka idealisme mahasiswa harus tergambar baik dalam orasi demonstrasi secara teori maupun dalam praktiknya. Jika selama ini ada image bahwa oposisi yang dilakukan oleh mahasiswa terkesan acuh tak acuh terhadap pemerintahan, maka image ini harus dirubah dengan menggerakan mahasiswa melalui demonstrasi yang mampu mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah terkait masalah politik, ekonomi dan sebagainya lagi-lagi dan hanya untuk kepentingan rakyat tidak karena kepentingan-kepentingan sesaat dengan kata lain idealisme mahasiswa dengan kekuatan berbasis moral (moral force) yang menjadi tulang punggung rakyat harus tetap menyala, terbebas dan independen.
Jika hal ini benar-benar terlaksana maka pada gilirannya demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa-mahasiswa bukan hanya sekedar ritual demokasi kosong belaka yang kekerasan lebih ditonjolkan daripada ‘unjuk perasaan’ terhadap ketimpangan sosial, politik, ekonomi serta kebijakan-kebijakan tidak populis pemerintah. Hal ini tentunya hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap mahasiswa sebagai agen perubahan, alih-alih mensejahterakan rakyat, tindakan demonstrasi bar-bar semacam ini sudah pasti menyusahkan rakyat yang juga berarti tidak sinkronnya antara tujuan demonstrasi dengan hasil yang dicapai dari demonstrasi itu sendiri.
Demonstrasi Mahasiswa sebuah Gelaran Moral kaum Intelektual
Edward W. Said (1995) dalam bukunya Representation of The Intellectual merumuskan intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan pesan, pandangan, sikap kepada publik yang tujuan dari aktualisasi tersebut melahirkan kebebasan untuk memotivasi dan menggugah rasa kritis orang lain agar berani menghadapi ortodoksi, dogma, serta tidak mudah dikooptasi kuasa tertentu, sehingga intelektual harus selalu aktif bergerak dan berbuat dengan ketajaman nalarnya.
Dalam konteks ini, mahasiswa sebagai representasi dari kaum intelektual berdasar pada pertimbangan-pertimbangan ilmiahnya sudah seharusnya mampu mengelaborasi antara teori dan praktik. Demonstrasi sebagai sebuah gelaran demokrasi hanya akan menjadi ‘garang’ dan ‘menyeramkan’ manakala mahasiswa sebagai kaum intelektual belum mampu memfungsikan intelektualitas yang dimilikinya secara maksimal, karena intelektualisme yang hampa dari agenda humanisasi adalah sebuah pengkhianatan terhadap nurani kemanusiaan.
Kekuasaan yang menghegemoni rakyat terimplementasi dalam bentuk-bentuk ketidakadilan, penindasan serta bergulirnya kebijakan-kebijakan tidak populis adalah sangat wajar jika membuat mahasiswa ‘marah’, kooptasi yang dilakukan pemerintah sama halnya menabuh ‘genderang perang’ kepada mahasiswa. Namun perlu diingat demonstrasi sebagai salah satu saluran dialog antara rakyat dan pemerintah tidak harus diselesaikan secara anarki sebagai konsekuensi logis dari pemilik ‘nurani intelektual’ yang dimiliki mahasiswa terkandung nilai-nilai ideologis keutuhan kemanusiaan dan keadilan universal yang selama ini disuarakan oleh mahasiswa. Paradoks jika mahasiswa sebagai kaum intelektual melakukan demonstrasi anarkis atau ‘tidak bernurani intelektual’ yang berarti tidak ramah terhadap tatanan sosial.
D. Demonstrasi dalam pandangan perspektif sosiologi
1. Perspektif Struktural Fungsional
Ciri pokok perspektif ini adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat (societal needs). Masyarakat sangat serupa dengan organisme simbolik biologis, karena mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat melangsungkan keberadaannya atau setidaknya berfungsi dengan baik. Ciri dasar kehidupan sosial , struktur sosial muncul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan merespon terhadap permintaan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Asumsinya adalah ciri-ciri sosial yang ada memberikan kontribusi yang penting dalam mempertahankan hidup dan kesejahteraan seluruh masyarakat atau subsistem utama dari masyarakat tersebut.
Anggapan dasar perspektif struktural fungsional yaitu perubahan-perubahan dalam sistem sosial yang bersifat gradual dan melalui penyesuaian, serta tidak bersifat revolusioner. Perubahan terjadi melalui tiga macam kemungkinan, antara lain :
1) Penyesuaian sistem sosial terhadap perubahan dari luar.
2) Pertumbuhan melalui proses diferensia struktual dan fungsionalis.
3) Penemuan baru oleh anggota masyarakat.
Kenyataan yang diabaikan dalam pendekatan struktual fungsional:
1. Setiap struktur sosial mengandung konflik dan kontradiksi yang bersifat internal dan menjadi penyebab perubahan.
2. Reaksi suatu sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar tidak selalu bersifat tampak.
3. Suatu sistem sosial dalam waktu yang panjang dapat mengalami konflik sosial.
4. Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian, tapi juga terjadi secara revolusioner.
Analisis Kasus:
Bila dilihat dari paradigma Struktural Fungsional, kasus budaya demo yang terjadi di lingkungan kita merupakan salah satu contohnya. Dimana dalam teori struktural fungsional menekankan pada keteraturan dan mengabaikan konflik serta perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, turut menjalin struktur fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya.
Pada awalmya, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa ini bertujuan sebagai pemersatu suara agar pendapatnya tersampaikan kepada yang dituju. Seiring waktu, demonstrasi ini bukan hanya dalam pendidikan, namun juga dalam ekonomi, politik dan lain sebagainya. Hal ini menampakkan jelas bahwa terjadi perubahan terstruktur yang tadinya demonstrasi hanya di bidang pendidikan saja, sekarang sudah mencapai semua aspek kehidupan.
Jika dilihat dari sudut pandang perubahan fungsional, kasus demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa juga berubah fungsi. Dari sekedar apresiasi mahasiswa terhadap aspek kehidupan, kini banyak disalah gunakan oleh provokator-provokator tertentu untuk mengalihkan tujuan demonstrasi yang baik menjadi anarkis.
2. Perspektif Interaksionis Simbolik
Perspektif ini mengemukakan bahwa orang-orang berinteraksi terutama dengan menggunakan simbol-simbol yang mencakup tanda, isyarat, dan yang paling penting, melalui kata-kata secara tertulis dan lisan. Perspektif interaksionis simbolik memusatkan perhatiannya pada arti-arti apa yang ditemukan orang pada prilaku orang lain, bagaimana arti ini diturunkan dan bagaimana orang lain menanggapinya.
Analisis Kasus:
Menurut perspektif interaksionis simbolik ini, demontrasi yang dilakukan mahasiswa pasti menggunakan atribut-atribut tertentu dalam melaksakan aksinya seperti Spanduk, bendera dan lain-lain. Atribut-atribut yang mereka kenankan ini sebenarnya merupakan simbol bahwa mereka ingin didengarkan sesuai dengan keadaan mereka. Bahkan ketika ada demonstrasi, sering terjadi aksi jahit bibir, hal ini juga merupakan bentuk pengungkapan dengan simbol yang dilakukan karena dengan perkataan mungkin pendapat mereka kurang didengarkan.
3. Perspektif Konflik
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Analisis Kasus:
Dalam kasus demonstrasi banyak terjadi konflik-konflik, baik antara masyarakat dengan pemerintah, mahasiswa dengan aparat dan lain-lain. Contoh, fasilitas yang didapatkan mahasiswa tidak sesuai dengan harapan, hal ini menimbulkan konflik antara pihak kampus dengan mahasiswa tersebut. Ketika pihak kampus tidak bergerak untuk memperbaiki fasilitas yang ada, maka muncullah demo yang dilakukan mahasiswa tadi untuk menuntut hak tersebut. Namun, hal ini bisa dibendung apabila pihak kampus sudah bernegosiasi dengan mahasiswa mengenai perubahan-perubahan yang akan dilakukan oleh pihak kampus tersebut kedepannya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia merupakan negara demokrasi. Bentuk-bentuk demokrasi ini seperti Pemilu dan sebagainya. Sebagai negara yang berbudaya demokrasi, Indonesia harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi seperti menghargai persamaan, kebebasan dan peraturan. ketika nilai-nilai demokrasi tidak terpenuhi, maka muncullah tindakan demonstrasi yang menuntut hal tersebut. Dimana demonstrasi tersebut paling banyak terjadi di kalangan mahasiswa.
Namun, permasalahan demonstrasi oleh mahasiswa ini bisa diatasi dengan menganalisa mengapa melakukan hal tersebut dengan menggunakan perspektif-perspektif sosiologi misalnya struktural fungsional, interaksionis simbolik, teori konflik. Dan diharapkan bisa mengambil jalan tengah setelah mengetahui pokok permasalahan hal tersebut.
demonstrasi bertujuan untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan yang tidak sesuai atau sudah merugikan rakyat Indonesia. Demo yang dilakukan mahasiswa harus damai dan tidak anarkis agar tidak terjadi perkelahian antara mahasiswa dan warga sekitar. Supaya kepentingan umum tidak terganggu oleh kegiatan demonstrasi. Mahasiswa harus bijaksana dan dewasa dalam berdemonstrasi agar aspirasi itu sampai ke pihak pemerintah.
B. Saran
1) Pemerintah harus mendengarkan semua keluhan dan aspirasi mahasiswa yang mewakili rakyat Indonesia.
2) Pihak berwajib harus menangani demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dengan benar. Tidak anarkis dan tidak dengan kekerasan yang akan menyulut kemarahan mahasiswa.
3) Pemerintahan harus bersih dari korupsi.
4) Para demonstran harus mengikuti peraturan demonstrasi yang sudah diberitahu oleh koordinator lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Imam M.,et,all (ed). 1993. Agama, Demokrasi dan Keadilan cet ke-1., Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama..
George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Klasik Sampai Perkembangan Teori Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacang.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
P. J. Bouman. 1976. Sosiologi “Pengertian-pengertian Dan Masalah-masalah”. Yogyakarta: Penerbit Kansius.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RayaGrafindo Persada.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (ed). 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sztoanka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial (alih bahasa oleh Alimandan). Jakarta: Prenada Media.
Ubaidillah, A.,et.all (ed). 2003. Demokrasi, Ham Dan Masyarakat Madani.Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.